AYAT DAN HADITS TENTANG PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

 

Oleh :

Itsna Ilmiana Ulfa

M. Ilham Fikriyanto

Zumrotun Nafsus S.

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksi antar individu. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh yakni Hak Asasi Manusia yang merupakan Hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka Hak Asasi Manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak Asasi Manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.

Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain. Dalam sudut pandang Islam Hak Asasi Manusia sudah diatur berdasarkan atau berpedoman pada Al-Qur’an dan hadits. Karena Al-Qur’an dan hadits merupakan pedoman hidup bagi seluruh manusia yang ada dibumi ini. Oleh karena itu apabila tidak ingin hak-hak kita dirampas oleh orang lain, maka hendaklah kita saling menjaga dan menghormati hak asasi masing-masing individu.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Hak Asasi Manusia?

2.      Apa pengertian Hak Asasi Manusia dalam perspektif Islam?

3.      Bagaimana dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadist mengenai Hak Asasi Manusia?

4.      Bagaimana pengaturan Hak Asasi Manusia dalam hukum Islam?

5.      Bagaimanakah perbedaan Hak Asasi Manusia dalam sudut pandang Islam dan Barat?

 

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian Hak Asasi Manusia.

2.      Untuk mengetahui pengertian Hak Asasi Manusia dalam perspektif Islam.

3.      Untuk mengetahui perspektif Al-Qur’an dan Hadist mengenai Hak Asasi Manusia.

4.      Untuk mengetahui pengaturan Hak Asasi Manusia dalam hukum Islam.

5.      Untuk mengetahui perbedaan Hak Asasi Manusia dalam sudut pandang Islam dan Barat.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Hak Asasi Manusia

Manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kesempurnaannya. Salah satu kesempurnaan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah akal dan pikiran yang membedakannya dengan mahluk lain sejak diciptakan dan dilahirkan manusia telah dianugrahi hak-hak yang melekat pada dirinya dan harus dihormati oleh manusia lain. Hak tersebut disebut dengan hak asasi manusia (HAM).

Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat pada diri manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Hak yang dimiliki setiap orang tentunya tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya, karena ia berhadapan langsung dan harus menghormati hak yang dimiliki orang lain. HAM terdiri dari dua hal yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Tanpa adanya kedua hak ini maka sangat sulit untuk menegakkan hak asasi lainnya.[1]

Pengakuan terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri manusia menurut kodratnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak hanya mengundang hak untuk menikmati kehidupan secara kodrati. Sebab dalam hakikat kodrati itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut, Tuhan memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan menyempurnakannya.

Selanjutnya, John Locke seorang ahli ilmu Negara menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun didunia yang dapat mencabutnya. Hak sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dalam kehidupan manusia.

Selain John Locke, terdapat pula tokoh nasional yang memberikan batasan tentang hak asasi manusia. Beliau adalah Prof.Mr.Koentjoro Poerbapratono, menjelaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.[2]

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 menyebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[3]

Berdasarkan rumusan-rumusan hak asasi manusia tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa HAM tersebut merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau Negara.

Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan. Keseimbangannya adalah antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati melindungi, dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah dan Negara. Jadi, dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan, kepentingan tersebut tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum).

B.     Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

Hak asasi manusia dalam Islam telah ada dalam Al-Quran dan masyarakat pada zaman nabi Muhammad saw. Yang mana Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan manusia, yaitu lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu.

Menurut syari’ah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut : “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.”

Sedangkan kebebasan merupakan elemen penting dalam ajaran islam. Kehadiran islam memberikan jaminan pada kebebasan manusia agara terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik dan ideologi. Pada dasarnya HAM dalam islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam islam). Konsep itu mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu yaitu hifdzu al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdza al-mal (penghormatan atas harta benda), hifdzu al-nafs wa al-ird (penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan Negara dan komunitas agama dengan komunitas agama yang lainnya.[4]

C.    Perspektif Al-Qur’an dan Hadist Mengenai Hak Asasi Manusia

Para ulama’ dan intelektual Islam telah merespons konsep HAM. Hal ini terbukti dengan berkumpulnya negara-negara Islam yang tergabung dalam The Organization of The Islamic Conference (OIC/OKI). Pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syari’at Islam sebagai satu-satunya sumber acuan yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.

1.      Perspektif Al-Qur’an terhadap Hak Asasi Manusia

HAM (Hak Asasi Manusia) dalam perspektif Islam dikenal dengan sebutan Al-Adl (Keadilan). Al-‘Adl berarti keseimbangan, harmoni dan keselarasan. Esensi agama Islam adalah terciptanya keadilan. Sebagaimana Al-Qur’an surat An-Nahl (16): 90 sebagai berikut:

 

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَنِ وَإِيْتَاࣤءِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاࣤءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ الْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. (90)

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah swt menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,  dan Allah swt melarang dari perbuatan keji kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl (16): 90).

Dalam ayat tersebut menganjurkan tiga hal:

a.       Keadilan, yaitu merupakan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Kata adil pada ayat ini bersifat umum, yang mencakup keadilan dalam hukum, mu’amalah, perkara wajib dan fardhu, keadilan terhadap anak laki-laki dan perempuan, keadilan terhadap teman dan lawan, keadilan terhadap kaum kerabat dan orang lain, keadilan terhadap istri, serta segala sesuatu yang kalimat adil bisa masuk di dalamnya.

b.      Ihsan (berbuat baik) dalam segala situasi dan kondisi. Ihsan yang diperintahkan

c.       Alah swt juga bersifat umum, yaitu mencakup ihsan kepada manusia, tumbuhan, hewan, orang lemah dan fakir, bahkan kepada orang gembel sekalipun.

d.      Berbuat baik kepada kaum kerabat dengan pemberian sedekah dan infak.

Dalam ayat ini juga, dilarang oleh Allah swt dalam tiga hal pula, yaitu:

a.       Perbuatan keji adalah segala perbuatan buruk yang dapat mengarahkan kepada kejeleka dan kekejian.

b.      Kemunkaran adalah segala sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’/agama dan tabi’at yang benar, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang baik dan benar.

c.       Permusuhan adalah permusuan dengan manusia yang dapat menumpahkan darah dan merusak harta benda. [5]  

Selain itu, ada beberapa hak mendasar yang ada pada setiap insan, di Negara manapun ia berada, baik beriman atau tidak, hidup di hutan atau di padang sahara. Hak-hak ini menjadi pengakuan dasar bagi setiap muslim. Hak yang dimaksud adalah hak untuk hidup. Hak mendasar ini disebutkan dalam al-Qur’an, yang berbunyi:

مِنْ أَجْلِ ذٰلِكَ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِىࣤ إِسْرَاࣤئِلَ أَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًا وَ مَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَاࣤ أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۚ وَلَقَدْ جَاࣤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْأَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ. (32) 

Artinya: “Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa siapa yang membunuh seorang muslim, bukan karena  orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. Al-Maidah (5): 32)

Beratnya konsekuensi pembunuhan sebagai sebuah kedzaliman yang berdampak buruk dalam kehidupan dunia dan akherat, hingga Allah mengumpamakan seperti membunuh semua manusia. Perumpamaan ini sebagai rad’ (menyentak) dan tarhib (memberikan rasa takut) terhadap pembunuhan.

Membunuh satu individu yang tidak dibenarkan syara’ menyebabkan seseorang dimasukkan ke dalam api neraka, sebagaimana ganjaran orang yang membunuh semua manusia. Al-Hasan dan Ibnu Zayd berpendapat mengharuskan qishash bagi pelakunya, seperti halnya ia membunuh semua manusia.

Hak hidup yang diberikan Islam kepada manusia menempati posisi yang luar biasa. Tidak boleh ada individu yang mencoba menghilangkan hak hidup orang lain. Perbuatan itu dianggap jarimah (pidana) dan akan diberlakukan hukum qishash sebagai balasan atas pelanggaran HAM yang berat. [6]

2.       Perspektif Hadits tentang Hak Asasi Manusia

Rasulullah saw bersabda:

... اتَّقُوْا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ الْبَرَازَ فِى الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيْقِ وَالظِّلِّ. (روية أبو دوود)

Artinya: “Jauhilah tiga macam perbuatan yang dilaknat; buang air besar di sumber air, ditengah jalan, dan dibawah pohon yang teduh.” (HR. Daud).

Rasulullah juga bersabda:

لَا يَبُلَنَّ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّئِمِ الَّذِى لَا يَجْرِى ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيْهِ. (روية بخرى)

Artinya: “Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir, kemudian mandi disana.” (HR. Al-Bukhari).

Hadits diatas menjelaskan mengenai hak menggunakan air. Air harus dijaga  dan tidak boleh dicemari, dengan kata lain bahwa mencemari air adalah pelanggaran HAM. Sebab, sumber air adalah kekayaan yang sangat penting untuk dijaga dan merupakan sumber kehidupan bagi manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Allah swt telah menyediakan air di laut, sungai bahkan air hujan secara gratis, manusia seringkali tidak menghargai air sebagaimana mestinya, dan hal tersebut juga termasuk dalam pelanggaran HAM.

Jika makhluk hidup terutama manusia tidak bisa hidup tanpa air, sementara kuantitas air terbatas, maka manusia wajib menjaga dan melestarikan kekayaan yang amat berharga ini. Jangan sekali-kali melakukan tindakan-tindakan kontra produktif, yaitu dengan cara mencemarinya, merusak sumbernya dan lain-lain. Termasuk pula dengan tidak menggunakan air secara berlebih-lebihan (israf), menurut ukuran yang wajar. [7]

D.    Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam

Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam Islam berbeda dengan undang-undang yang bersumber dari akal pikiran manusia. Sumber undang-undang Islam adalah Allah sang khalik. Dialah yang mengetahui benar maslahat dan mudarat semua perbuatan serta kaitan dengan urusan. Dia membuat undang-undang untuk kepentingan universal (kebahagiaan) bukan untuk kepentingan personal dan keberpihakan pada yang satu, tidak pada yang lain. Karena dia maha kaya dari segala sesuatu dan dia diatas segalanya. Dengan demikian hanya dialah satu-satuunya yang berhak membuat undang-undang.[8]

Hukum Islam, sebagai bagian dari agama Islam melindungi hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat pada tujuan hukum Islam yang akan dibahas dibawah. Kalau hukum Islam dibandingkan dengan pandangan atau pemikiran hukum barat (Eropa terutama Amerika) tentang HAM akan kelihatan perbedaanya. Perbedaan itu terjadi karena pemikiran hukum barat memandang HAM semata-mata antroposentris, artinya berpusat pada manusia. Dengan pemikiran itu manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya pandangan hukum Islam yang bersifat teosentris. Artinya segala sesuatu berpusat pada Allah. Manusia adalah penting tetapi yang lebih utama adalah Allah sebagai pusat segala sesuatu.[9]

Ada empat sumber kompeten di dalam memahami hukum undang-undang Allah. Empat sumber ini layak menjadi sumber rujukan hak-hak asasi dalam Islam di masa kini, diantaranya:

1.      Al-Quran

Ini sebagai rujukan utama perundang-undangan Islam. Kitab suci yang memuat 4.342 ayat, 114 surah, 77.934 kata dan 3.303.670 huruf ini, turun kepada Nabi Muhammad melalui wahyu malaikat Jibril disepanjang dua puluh tiga tahun sesuai tuntutan dan kebutuhan, dan atas perintahnya Al-Qur’an disusun dan ditulis. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan langsung dengan hukum dan undang-undang dengan jumlah sekitar 500 ayat, disebut “ayat-ayat hukum”.

Sejak masa hidup Nabi saw hingga sekarang Al-Qur’an menjadi sumber terbesar bagi undang-undang. Umat muslim merujuk kepadanya dan mengambil manfaat dari sumber yang deras ini dalam memahami ilmu-ilmu yang benar, akhlak yang mulia dan undang-undang kehidupan.

Imam Ali berkata, “ Aku mendengar dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Sebentar lagi fitnah-fitnah akan bermunculan”.

Pada saat itu, apakah yang menyelamatkan?” tanyaku.

                        Beliau menjawab, ‘Kitabullah. Termuat didalamnya sejarah para pendahulu dan berita para pendatang serta undang-undang kehidupan kalian. Inilah kitab yang memisahkan kebenaran dari kebatilan. Kandungan-kandunganya tiada yang tak berarti. Ia tidak dapat dikuasai oleh segala hawa nafsu dan tidak akan usang dengan berlalunya waktu. Kandungan-kandunganya menakjubkan, masa yang berlalu tidak mampu menjadikan usang. Allah akan membinasakan siapa saja yang meninggalkan Al-Qur’an demi satu kesewenang-wenangan, dan akan tersesat orang yang mencari petunjuk dari selain Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah tali kokok Allah dan jalan yang lurus. Barang siapa yang beramal sesuai dengannya akan beruntung. Barang siapa yang memutuskan perkara berdasarkan atasnya, ia telah berlaku adil. Barang siapa yang mengjak orang-orang kepadanya, ia melangkah dijalan yang lurus.

2.      Sunnah

Undang-undang-kehidupan manusia lebih banyak dari jumlah semua masalah partikularnya yang dijelaskan dengan 500 ayat Al-Qur’an. Mengenai salat, puasa, haji ,jihad, waris, nikah dan lain sebagainya, masing-masing memiliki banyak masalah partikular. Semua ini tidak dapat terkaji dalam 500 ayat, yang masalah-masalah partikularnya dijelaskan oleh sunnah.

Al-Qur’an sebagai undang-undang fundamental, yang kebanyakan menyampaikan masalah-masalah umumnya (universal dan mendasar, tidak menjelaskan masalah-masalah partikular hukum. Nabi saw dan para imamlah yang menjelaskan sesuai tuntunan dan kondisi ruang dan waktu. Dalam hal undang-undang kehidupan, mereka memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sunnah dalam arti demikian ialah men-taqlid (melegitimasikan) kemutlakan Al-Qur’an (ayat-ayat yang bermakna mutlak), men-takhshish (mengkhususkan) keumumanya (ayat-ayat yang bermakna umum, dan menjelaskan keglobalanya (ayat-ayat yang bermakna global) dan masalah-masalah yang tidak direrangkan dalam Al-Qur’an .

Pentingnya sumber besar perundang-undangan ini telah disampaikan oleh Nabi saw dalam hadist yang dikenal dengan hadist Tsaqalain bahwa Al-Qur’an dan Itrah Nabi yang menjelaskan akidah Islam dan undang-undang , tidak akanterpisah satu sama lain. Perihal memisahkan keduanya, yang satu dari yang lain, menyebabkan kesesatan dan menyimpang dari jalan yang lurus.

Nabi saw bersabda “sesungguhnya aku tinggalkan dua pusaka (yang paling berharga) pada kalian, yang jika kalian berpegangan pada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya sepeninggalanku., yaitu kitabullah sebagai tali penghubung dari langit ke bumi, dan itrah (keluarha)ku. Keduanya tidak akan terpisah selamanya, hingga keduanya datang kepadaku di telaga surga. Maka lihatlah nanti, bagaimana kalian menyikapi keduanya sepeninggalanku nanti.

3.      Ijmak

Setelah Al-Qur’an dan sunnah, sumber ketiga perundang-undangan Islam adalah Ijmak. Yang dimaksud ijmak ialah segenap ulama bersepakat dan bersatu pandangan tentang suatu hukum syar’i.

Ahlusunnah memandang kesepakatan dan satu pandangan ini sebagai dasar yang independen seperti Al-Qur’an dan sunnah. Sebagaimana Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber hak HAM dalam Islam, ijmak atau kesepakatan umat dan ahl al-halli wa al-‘aqd (ulama ahli dalam hukum dan urusan umat) juga merupakan sumber lainnya bagi perundang-undangan Islam.

Dengan pertimbangan ini, mengenai suatu masalah, selama tidak ada dalil yang terang dari Al-Qur’an dan sunnah serta ulama bersepakat dan satu pandangan mengenainya, maka seorang faqih akan berfatwa atas dasar semua itu (Al-Qur’an, sunnah) dan ijmak (kesepakatan ulama).

4.      Akal

Bagimana akal menjadi sumber-undang-undang Islam dan seberapa jauh intervensinya dalam menetapkan undang-undang dalam hal ini Syiah dan Ahlusunnah berbeda pandangan.

Ahlusunnah meyakini, sebagaimana Al-Qur’an dan sunnah serta ijmak merupakan sumber-sumber HAM dalam Islam, maka pandangan, ijtihad dan qiyas sebagai kesimpulan akal dalam istilah mereka merupakan sumber lainnya bagi undang-undang Islam.

Mereka mengatakan, dengan menyebarluaskan universitas Islam dan munculnya masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang baru, tiada lainsolusinya adalah pemanfaatan akal untuk mewujudkan suatu tatanan yang benar terkait HAM. Dalam sunnah dan ijmak, akal dipandang menjadi sumber ke empat bagi perundang-undangan.

Di hadapan hadapan kelompok ini, sekelompok ahli hadist  (ahkbariyun) meyakini bahwa akal manusia tidak sempurna dan bisa salah. Karena akal tidak berwenang menghukumi haram dan halal terkait masalah HAM. Fungsi akal ialah membantu manusia di dalam pelaksanaan tugas dan menunjukinya dalam melaksanakan undang-undang yang benar bagi kehidupan dan memilih jalan yang lurus dari yang tidak lurus. Keyakinan mereka sumber HAM dama Islam hanyalah Al-Qur’an dan sunnah. Sedangkan ijmak dan akal bukan bagian dari sumber-sumber hak asasi dalam islam

Di samping dua kelompok tersebut, yang satu tidak membatasi akal dalam masalah perundang-undangan yakni menilai akal dapat digunakan dalam menyusun aturan kehidupan, yang satunya menutup akal dan tidak memberlakukan petunjuknya yang pasti dengan segala alasannya, melainkan petunjuknya hanya sebatas pada pelaksanaan tugas. Kelompok ketiga meyakini bahwa akal mempunyai penilaian yang pasti dalam masalah-masalah tertentu, yang mana maslahat dan mudaratnya dapat diketahui oleh akal secara pasti. Dalam hal ini akal dipandang sebagai satu sumber perundang-undangan.

Bagi Fuqoha, antara akal dan syariah adalah hubunga yang tak terpisahkan. Mereka mengatakan,  “semua yang dinilai akal itu dihukumi syariat, sedankan semua yang dihukumi syariat itu dinilai akal.” Dalam hal ini berkaitan dengan perkara yang dinilai secara meyakinkan  oleh akal bukan segala macam pengetahuan zhanni dan filosofis. Level penilaian dokmatis akal dalam fiqih dapat menyingkap dan men-taqyid (melegitimasi) sebuah aturan atau men-ta’mim-nya (menggeneralkannya). Juga bisa menjadi pendukung yang kuat dalam penyimpulan dari sumber-sumber dan bukti (lisensi).

Sejumlah riwayat seperti “Sesungguhnya Allah mempunyai dua hujah bagi manusia: hujah lahiriyah (eksternal) dan hujah batiniyah (internal). Hujah lahiriyah adalah para rasul, nabi dan imam. Sedangkan hujah batiniyah adalah akal, adalah predikat bagi perkara penilaian dogmatis akal. Jika menyangkut fiqih didapati masalah yang tidak ditemukan bukti terkaitnya dari Al-Qur’an dan sunnah (sekalipun dalam bentuk umum dan mutlak atau indikasi konskuensi), akal dan penilaian dogmatisnya berperan di dalamnya. Termasuk mengenai ushul’amaliah (antara lain kaidah: bara’ah, takhyir, ihtiyath, dan istishab), akal memberikan penilaian bagi bukti-bukti lisensi yang ada dari Al-Qur’an dan sunnah. Pada saat yang sama, demikian pula dalam penerapan kaidan atau konsep universal pada objek-objek luar (mishdag)-nya dan masalah-masalah partikular, maupun dalam masalah yang si penyusun undang-undang tidak mampu mengelurakan perintah, seperti seruan pada orang bawahan agar mematuhi perintah dengan melihat kondisi mukalaf (orang yang diperintah) mengetahui atau tidak dalam taklif. Demikian dalam masalah-masalah lainnya yang serupa, akal menjadi sumber yang layak dirujuk.

Akal yang memiliki kaidah-kaidah universal, perkara-perkara generalitas (umum) dan absolut (mutlak) mampu mengeluarkan hukum dari Al-Qur’an  dan sunnah bagi satu masalah yang muncul atas tuntutan zaman dan kebutuhan hehidupan serta kemajuan mayarakat manusia, serta mencegah umat manusia dari stagnasi dan kepasifan. Itulah akal dari fitrah manusia. Ia mampu menunjukkan jalan dan gambaran  kebutuhan-kebituhan yang tidak tetap bagi kehidupan dengan demikian dapat memenuhi apa yang dibutuhkan masyarakat. Dengan pertimbangan ini, akal yang sehat disamping merupakan pembimbing yang baik dalam hal melaksanakan tugas dan menetapkan aturan kehidupan, juga sebagai duta agung  dalam perundang-undangan dan hukum bagi masalah-masalah baru dalam kehidupan.[10]

Dari uraian diatas saya akan memberikan beberapa uraian lebih lanjut bagaimana hak asasi manusia menurut ajaran Islam, yang dirangkum menjadi 15 hak, yaitu:

1.      Hak Hidup

Dan jangan lah kamu membunuh jiwa yang di haramkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan)yang benar..” (Al-Isra: 33)

2.      Hak Milik Serta Penjagaan Atas Harta Benda

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil..” (Al-Baqarah: 188)

5.      Hak Keamanan dan Kesucian Kehidupan Pribadi

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu, lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat..” (An-Nur: 27)

6.      Hak Keamanan dan Kemerdekaan Pribadi

“.. dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-Nisa:58)

7.      Hak Penjagaan Jiwa

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 179)

8.      Hak Untuk Memproses Kezaliman (tirani)

Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya..” (An-Nisa:148)

Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksa yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Al-A’raf:165)

9.      Kebebasan Ekspresi

Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah:71)

10.  Kebebasan Hati Nurani dan Keyakinan

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)..” (Al-Baqarah: 256)

11.  Kebebasan Berpindah

Dan ingatlah, ketika kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudara sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersilahkannya. Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudara sebangsa) dan mengusir segolongan dari pada kamu dari kampung halaman-nya..” (Al-Baqarah: 84-85)

12.  Hak Penjagaan Akal

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panahadalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamr dan berjudi itu, menghalangi kamu dari mengingat Allah (sholat). Maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu.” (Al-Maidah: 90-91)

13.  Hak mendapat keadilan

“..dan aku diperintahkan supaya supaya berlaku adil diantara kamu,,” (Asy-Syura: 15)

Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadid: 25)

14.  Hak Mendapat Pendidikan

Katakanlah: Perhatikan apa yang ada di langit dan di bumi..” (Yunus: 101)

15.  Hak Dalam Penjagaan Negara

Islam mewajibkan kepada pemimpin negara untuk menjalankan tugasnya melihat kepentingan umat karena dialah yang bertanggung jawab atas urusan mereka. Rasulullah saw bersabda: “Seorang Imam adalah pemimpin (pemelihara) dan dia bertanggung jawab atas rakyat (yang dipimpin)nya..” (HR. Bukhari dan Muslim).[11]

Hak Asasi Manusia menempati posisi yang paling penting dalam konsepsi hukum pidana Islam. Ancaman pidana yang tegas terhadap pelaku yang melanggar syari’at Islam tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu pelanggaran HAM. Adanya tuduhan bahwa sanksi tersebut melanggar HAM perlu diperjelas dan dilihat secara jernih. Penting untuk dicatat, bahwa ancaman keras bagi para pelaku mengandung hikmah yang besar. Secara substansi bagi si terpidana sendiri adalah membangkitkan kesadaran bahwa tindakanya salah. Bahkan, jatuhnya pidana jinayat tersebut bisa menghapus saksi yang jauh lebih keras di akhirat. Tentu saja, konsepsi ini tidak bisa dipahami oleh barat yang sekuler.

Bagi umat Islam, setiap hak harus dikembalikan kepada dua sember rujukannya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. Jadi HAM menemukan landasan yang kuat di dalam hukum Islam. Ajaran Islam mengatur bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antar sesama manusia dan hubungan kepada sesama makhluk hidup lainnya. Melaksanakan hubungan dengan Tuhan ditandai dengan menunaikan kewajiban-kewajiban ibadah dalam agama, hubungan sesama manusia dijunjung saling menolong sesama manusia dan hubungan dengan makhluk hidup lainnya ialah tidak menyakiti, membinasakan atau memudharatkannya tanpa ada alasan yang syar’i, namun bila ingin menikmati atau menggunakannya mestilah menempuh jalan yang baik dan seadil-adilnya. Filosofinya adalah semakin manusia tunduk kepada Allah dan hanya mengabdi kepadanya, semakin bebas ia dari penghambaan kepada manusia lain atau mahkluk tuhan lainnya. Ia merupakan penegas dirinya makhluk yang merdeka. Bebas dalam makna hanya menjadi sebagai hamba Tuhan bukan menghambakan diri kepada lainnya.

Didalam hukum jinayat, beberapa hukuman mungkin terlihat berat atau bahkan keras. Hukuman berat diancamkan bagi beberapa jenis jinayat seperti perzinahan. Sekalipun kenyataan tersebut, tidak bisa di fahami oleh masyarakat modern yang menggunakan seks diluar nikah (free sex) sebagai perlaku yang tidak bertentangan dengan moral. Baginya perilaku demikian merupakan bagian dari hak pribadi yang tidak bisa diganggu gugat apalagi diintervensi oleh pihak manapun. Contoh lainnya adalah pencurian yang diancam dengan hukuman (jarimah) hudud. Dimana kejahatan ini dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Sekalipun terdengar keras namun dijatuhkannya hukuman demikian, jika pencuri telah terpenuhi kriteria tertentu dan itu tidak serta-merta.

Mengenai penghukuman yang dianggap kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, merupakan sesuatu yang masih didiskusikan, karena pada dasarnya semua hukuman ialah kejam dan tidak manusiawi. Perbuatan yang bengis, sadis atau menimbulkan penderitaan terhadap orang lain, maka sepatutnya dijatuhi hukuman yang setimpal. Sehingga patut dipertanyakan kembali apakah hukum penjara itu lebih manusiawi atau hukuman cambuk itu tidak manusiawi, tidak bisa dipastikan mana hukum yang dianggap tidak kejam, sangat manusiawi maupun meninggikan martabat.

Islam memandang setiap kejahatan sebagai bentuk penyimpangan moral , perilaku keji dan berimplikasi luas kepada masyarakat serta menyakitkan apabila secara nyata tetap dilakukan. Maka Islam menuntun setiap pemeluknya bahwa mencegah kejahatan sejak dini  (prefentif) lebih baik daripada terlibat untuk melakukan (in action) berkaca pada pengalaman tersebut, menjadikan alasan kuat bagi Aceh untuk memberlakukan syari’at Islam secara menyeluruh demi menjaga moral dan kepribadian masyarakat Islamnya.

Mashood A. Baderin menjelaskan bahwa adanya upaya untuk harmonisasi konstruktif antara sistem HAM dan sistem hukum Islam melalui doktrin Marjin Apresiasi. Doktrin ini membenarkan adanya garis batas dimana penerapan Hukum Internasional HAM harus mempertimbangkan pihak suatu negara dalam menjalankan hukumnya. Marjin Apresiasi dapat dibenarkan penerapanya demi kelangsungan nilai-nilai moral yang dapat dibenarkan dari beragam masyarakat melalui perolehan keseimbangan antara hak yang dijamin dan pengurangan atau pembatasan yang diizinkan.

Dialog antara HAM dan hukum Islam perlu terus menerus diupayakan di Indonesia khususnya di Aceh, dengan beberapa pertimbangan yaitu: Pertama, Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia dan syari’at Islam itu menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari walaupun tidak dipositifkan dalam bentuk perundang-undangan hukum negara secara nasional.

Kedua, sistem hukum Islam hidup berdampingan dengan sistem hukum Negara, sistem hukum adat dan terakhir sistem Hukum Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia. Empat sistem hukum tersebut hidup berdampingan dan saling mempengaruhi  sekaligus berpengaruh pada kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup masyarakat Indonesia.

Ketiga, Indonesai sebagai negara Muslim terbesar dunia selama hampir satu dekade ini selain banyak memproduksi Hukum HAM, seperti Undang-undang HAM, Undang-undang pengadilan HAM, dan juga meratifikasi Hukum Internasional HAM seperti Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Konvean Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) melalui Undang-Undang nomor 11 dan 12 tahun 2005.

Keempat, sebagai negara-negara hukum yang demokratis, dimana kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat menjadi tujuannya, Indonesia tak terletakkan wajib membudayakan HAM dikalangan masyarakat luas, dimana mayoritas subjek hukumnya adalah kaum Muslim. Membudayakan HAM hanya dapat berjalan bila ada ruang dialog yang terbuka lebar dalam suasana demokratis, toleran dan jauh dari perasangka serta menghilangkan semangat parokialisme, kekerasan dan rivalitas di antara sistem-sistem hukum yang hidup dalam masyarakat Negara Indonesia.[12]

E.     Perbedaan Hak Asasi Manusia dalam Sudut Pandang Islam dan Barat

Ide HAM memiliki asal usulnya di Barat, sebagaimana sudah kita lihat, tidak dapat disangkal. Klaim Islam bahwa ia mengenal dan mempraktekkan HAM jauh lebih dulu dari Barat mengacu tidak pada pemahaman konseptual yang sama. Sementara HAM berarti hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena kemanusiaan, pemahaman Islam mengacu pada hukum Allah yang diwajibkan kepada kaum beriman. Namun, titik-titik acuan yang berbeda ini menyembunyikan entrosentrisme dan chauvinisme mereka masing-masing, walaupun mereka berbicara tentang hak-hak untuk semua manusia yang sahih secara universal. Bahwa pemahaman Islam itu Islamsentris dan bahkan melukiskan semacam pax Islamica sudah sangat jelas dalam ulasan diatas. Sebaliknya, pada ide Barat sulitlah memperlihatkan bahwa hak-hak asasi manusia (Menschen-Rechte) yang berlaku untuk semua manusia secara sama itu berciri Barat. Namun universalisme humanistis ini secara diam-diam justru merupakan tempat persembunyian gambaran manusia Barat.[13]

Dari perbedaan cara pandang antara Islam dan Barat terhadap makna konsep HAM, hal ini ber implikasi terhadap perbedaan cara pandang perbedaan dalam menyikapi makna hak untuk hidup (righ to life) itu sendiri, khususnya terkait hukuman mati dan perbedaan tersebut berdampak luas kepada kritikan dan tuduhan negatif terhadap hukum pidana Islam, yang mana hukum pidana Islam sendiri bersumber dari Tuhan atau Al-Qur’an  dan Hadist yang jelas membolehkan atau mengesahkan terhadap hukuman mati terhadap manusia.

Hukuman mati inilah yang menjadi perdebatan, di satu sisi hukuman mati dianggap sebagai salah satu instrumen untuk menimbulkan efek jera dan pembalasan. Namun di sisi lain hukuman mati dianggap sebagai pidana yang paling kejam dan tidak manusiawi bahkan secara ekstrem dianggap sebgai pidana yang menyebabkan hilangnya hak asasi manusia (HAM) yang paling pokok bagi manusia yakni hak untuk hidup. Pro dan kontra terhadap hukuman mati disebabkan cara pandang konsep HAM yang berbeda.[14]

Ada beberapa kasus di dunia Internasional seperti contoh kasus di sebagai berikut. Secara sosial ekonomi dan politik para perempuan telah mempunyai posisi yang menyamai bahwa lebih tinggi dari sebagian laki-laki. Namun tidak sedikit pula yang menilai bahwa perempuan masih mengalami marginalisasi dikalangan laki-laki. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang mengalami perlakuan kurang baik terkait dengan status mereka sebagai perempuan, berbagai kasus ini dinilai paling banyak terjadi di delahan dunia Islam.

Di Bosnia misalnya, pada tahun 1990 diperkirakan lebih dari 100 ribu atau 10% dari perempuan Bosnia ditahan dan diperlakukan seperti binatang dan mengalami kekerasan seksual pada masa perang. Bahkan lebih dari 35 ribu anak dilahirkan diwilayah pengungsian pada tahun 1993. Mereka merupakan korban dari para tentara Serbia dan tentara Internasional yang terlibat dalam perang. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang diperjual belikan. Kasus serupa juga terjadi di Kosovo pada tahun 1999 dalam rangka pembersihan etnis Albania oleh para tentara Serbia dan Yugoslavia

Dengan kekerasan yang terjadi pada dua kasus diatas, dunia Internasional banyak diam dan tidak mengangkat kasus ini sebagai pelanggaran HAM. Namun masalah menjadi rumut jika hal hal tersebut dilakukan oleh umat Islam, atau muncul penafsiran yang berbeda dalam Islam dengan yang dikenal dengan konsep HAM kontemporer. Beberapa kasus kasus menerapkan syariat Islam merupakan di antara beberapa contoh isu ini.

Ketika Afganistan ingin menerapkan syariat Islam di era pemerintahan Thaliban, muncul pandangan bahwa mereka telah telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Perempuan di Afganistan di gambarkan sebagai kelompok yang kehilangan hak sosial dan publik mereka, termasuk dalam mengakses pendidikan dikarenakan penafsiran syariat Islam yang dilakukan dinegri ini. Bagi Barat, ketika perempuan juga diminta untuk menutup wajah mereka maka hal tersebut sama dengan pembatasan ekspresi kebebasan perempuan.

Demikian dengan isu pernikahan di Kuwait ketika proses mencari suami mempunyai batasan yang tidak sama dengan pergaulan yang tidak sama dengan pergaulan bebas yang berlangsung di Barat, maka muncul pandangan negatif terhadap Islam. Apalagi Islam juga mengenal konsep iddah bagi perempuan dimana mereka tidak bisa langsung menikah dengan laki-laki pasca menjadi janda karena perceraian atau ditinggal mati suami sampai masa iddah mereka selesai, menurut Barat, yang terjadi di Kuwait dan belahan dunia Islam lainnya menunjukkan bukti tidak adilnya Islam dalam memperlakukan perempuan karena faktanya lelaki bisa menikah lagi dengan wanita yang lain tanpa adanya batasan masa iddah. Belum lagi beberapa isu publik wanita di Kuwait yang melarang mereka terlibat dalam politik, mempunyai hak milik anak atau menjadi hakim negara.

Penerapan hukum rajam bagi pelaku zinah termasuk perempuan di Nigeria juga menjadi penentangan Barat terhadap isu gender di dunia Islam. Dalam perspektif Barat, hubungan yang dilakukan oleh mereka yang tidak terkait dalam pernikahan di legalkan karena merupakan hak asasi manusia. Artinya agama seharusnya seharusnya tidak memberikan batasan yang menghalangi kebebasan manusia. Adapun dalam Islam masalah zinah mendapatkan perhatian yang sangat penting karena terkait dengan masalah silsilah keturunan yang harus selalu dijaga.

Isu perempuan di Saudi Arabia juga menjadi sorotan karena berbagai keterbatasan posisi perempuan pada isu publik. Urusan pakaian perempuan diatur dengan ketat. Dalam isu politik, tidak ada satu orang pun wanita yang menjadi anggota dari 120 orang di parlemen Saudi. Hanya saja pada beberapa dekade terakhir. Gerakan feminisme sudah mulai berkembang di negri kaya minyak ini. Bahkan pada tahun 2017, Saudi Arabia sudah merubah kebijakan yang selama ini melarang wanita untuk menyetir mobil sendiri.

Kejadian serupa juga terjadi di Sudan yang dinilai sangat konservatif karena memisahkan tempat kerja antara laki-laki dan perempuan. Di negri ini perempuan hanya diizinkan untuk bekerja disektr yang memang di dominasi oleh perempuan disebabkan oleh fundamentalisme agama.[15]

Menurut Abdul Manan, kajian tentang demokrasi dam HAM dalam perspektif politik hukum Islam dan Barat dapat di rumuskan sejumlah kesimpulan yaitu:

1.      Ciri utama demokrasi adalah civil society (masyarkat madani). Civil society bertujuan untuk melindungi individu terhadap kesewenangan negara dan berfungsi sebagai kekuasaan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Konsep civil society tersebut sesuai dengan khazanah Islam. Civil society sudah dipraktikkan oleh Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw, khulafaur rasyidin, dan Islam pada masa klasik dan pertengahan. Pada masa inilah civil society dijadikan akar bagi pengembangan selanjutnya pada zaman modern ini. Beberapa ayat Al-Qur’an yang sejalan dengan konsep civil society di antaranya: QS. Ali Imran ayat 104 dan ayat 110, an-Nisa ayat 58, al-Hujuraar ayat 9-13, at-Taubah ayat 119, al-Ahzab ayat 23, al-Maidah ayat 1, al-Hasyr ayat 7, at-Taubah ayat 60, dan al-Maun ayat 1-7.

2.      Konsep demokrasi sesuai dengan konsep Islam yaitu syura. Demokrasi dan syura sama-sama menekankan pentingnya keputusan secara musyawarah dan mufakat dan juga sama-sama menolak segala bentuk kediktatoran, sewenang-wenangan, dan sikap eksploritatif pemerintah yang berkuasa. Jadi, antara demokrasi dan syura tidak ada perbedaan yang prinsip, kalaupun ada perbedaan hanya pada penerapanya, sebab berkaitan erat dengan adat istiadat dalam suatu negara.

3.      Konsep HAM dalam Islam merupakan tuntunan fitrah manusia. Manusia dimata Allah swt. Adalah sama, yang membedakan hanyalah taqwa yang dimiliki oleh manusia tersebut. Hak-hak yang ada di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia bukanlah hal yang baru dan semuanya ada dalam konsep Islam tentang HAM. Prinsip hak untuk hidup, persamaan dimuka hukum, penghormatan atas kesucian wanita, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak individu dan kebebasan, hak-hak politik dan ekonomi, hak atas keadilan, dan lain sebagainya, semuanya termuat di dalam Al-Qur’an dan Assunnah.[16]

 

 

BAB III

SIMPULAN

 

A.    Pengertian HAM dan Pengertian HAM dalam Perspektif Islam

Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat pada diri manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dalam Islam telah ada dalam Al-Quran dan masyarakat pada zaman nabi Muhammad saw. Yang mana Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan manusia, yaitu lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu.

B.     Perpektif Al-Quran dan Hadits mengenai HAM

HAM (Hak Asasi Manusia) dalam perspektif Islam dikenal dengan sebutan Al-Adl (Keadilan). Al-‘Adl berarti keseimbangan, harmoni dan keselarasan. Esensi agama Islam adalah terciptanya keadilan. Sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an QS. An-Nahl (16) ayat 90, QS. Al-Maidah (5) ayat 32 dan Hadits Nabi.

C.    Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam

Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam Islam berbeda dengan undang-undang yang bersumber dari akal pikiran manusia. Sumber undang-undang Islam adalah Allah sang khalik. Dialah yang mengetahui benar maslahat dan mudarat semua perbuatan serta kaitan dengan urusan. Dia membuat undang-undang untuk kepentingan universal (kebahagiaan) bukan untuk kepentingan personal dan keberpihakan pada yang satu, tidak pada yang lain. Karena dia maha kaya dari segala sesuatu dan dia diatas segalanya. Dengan demikian hanya dialah satu-satuunya yang berhak membuat undang-undang.

Ada empat sumber kompeten di dalam memahami hukum undang-undang Allah. Empat sumber ini layak menjadi sumber rujukan hak-hak asasi dalam Islam di masa kini, diantaranya:

1.      Al-Qur’an

2.      Sunnah

3.      Ijmak

4.      Akal

D.    Perbedaan Hak Asasi Manusia dalam Sudut Pandang Islam dan Barat

Ide HAM memiliki asal usulnya di Barat, sebagaimana sudah kita lihat, tidak dapat disangkal. Klaim Islam bahwa ia mengenal dan mempraktekkan HAM jauh lebih dulu dari Barat mengacu tidak pada pemahaman konseptual yang sama. Sementara HAM berarti hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena kemanusiaan, pemahaman Islam mengacu pada hukum Allah yang diwajibkan kepada kaum beriman. Namun, titik-titik acuan yang berbeda ini menyembunyikan entrosentrisme dan chauvinisme mereka masing-masing, walaupun mereka berbicara tentang hak-hak untuk semua manusia yang sahih secara universal.

  

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainul. Islam dan Hak Asasi Manusia: Sebuah Kajian Komperhensi. Jakarta. Citra. 2016.

Aminah, Siti. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Hukum Diktum. 8, (2) 168, 2010.

Fauzi. Hak Asasi Manusia dalam Fikih Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group. 2017. 60.

Hook, Sidney. dkk. Hak Azazi Manusia dalam Islam. Jakarta. Pustaka Firdaus. 1987.

Ikhwan, M dkk. Pelembagaan Hukum Jinayat di Aceh Sebagai Bagian Sistem Hukum Pidana Indonesia. Vol 1, No. 2 : 2019.

Jenggis, Akhmad. 10 Isu Global di Dunia Islam. Yogyakarta. NFP Publishing. 2012.

Kaelan, Zubaidi Achmad. Pendidikan Kewarganegaraan.Yogyakarta. Paradigma. 2012.

Latupono, Barzah dkk. Hukum Islam. Yogyakarta. CV. Budi Utama. 2017.

Suadi, Amran. Abdul Manan Ilmuan dan Praktisi Hukum. Jakarta. Kencana. 2016.

Suseno. Sesudah Filsafat Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno. Yogyakarta. Kanisius. 2006.

Ubaedillah, A, Abdul Rozak. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta. Prenadamedia. 2014.

Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2014.

Undang-Undang RI. Undang-Undang Nomor 39 pasal 1 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia”. 1 Mei 2020.

Yumitro, Gonda. Masalah Politik Dunia Islam. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang. 2018.

 

 



[1] A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), 208.

[2] Kaelan, Achmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Paradigma, 2012), 32.

[3] Undang-Undang RI, “Undang-Undang Nomor 39 pasal 1 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 1 Mei 2020.

[4] Sidney Hook, dkk, Hak Azazi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 141.

[5] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), 376-378.

[6] Fauzi, Hak Asasi Manusia dalam Fikih Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2017), 60.

[7] Siti Aminah, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Hukum Diktum, Vol. 8, No. 2, Juli 2010, 168.

[8] Zainul Abidin, Islam Dan Hak Asasi Manusia: Sebuah Kajian Komperhensif  (Jakarta: Citra, 2016), 57-58.

[9] Barzah Latupono, dkk, Hukum Islam (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2017), 26.

[10] Barzah Latupono, dkk, Hukum Islam (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2017), 58-69.

[11] Akhmad Jenggis, 10 Isu Global Di Dunia Islam (Yogyakarta: NFP Publishing, 2012), 297-318.

[12] M Ikhwan, dkk, Pelembagaan Hukum Jinayat Di Aceh Sebagai Bagian Sistem Hukum Pidana Indonesia, (Vol 1, No. 2 :2019, E-ISSN 2684-8139), 204-208.

[13] Suseno, Sesudah Filsafat Esai-Esai Untuk Franz Magnis-Suseno  (Yogyakarta: Kanisius: 2006), 228-229

[14] Amran Suadi, Abdul Manan Ilmuan Dan Praktisi Hukum (Jakarta: Kencana, 2016), 115-116.

[15] Gonda Yumitro, Masalah Politik Dunia Islam (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2018), 56-57.

[16] Gonda Yumitro, Masalah Politik Dunia Islam (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2018), 116.