KONSEP ULUMUL QUR’AN DAN ULUMUL HADITS SECARA KOMPREHENSIF
Disusun Oleh:
1.
M. Mihtarul
Qawim |
(
1710110131 ) |
2. M. Masyaril
Haram |
(
1710110142 ) |
3. Siti
Nikmatun Kholifah |
(
1710110155 ) |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada Umumnya, umat islam diwajibkan
untuk selalu menjadikan kitab suci Al-Quran sebagai landasan dalam hidup, untuk
itu, pengetahuan sejarah perkembangan maupun pengertian dari Al-Qur’an itu
sendiri harus benar-benar dimengerti. Selain merupakan sumber utama bagi ajaran
islam, Al-Qur’an juga sebagai pedoman, sumber rujukan bagi umat islam
yang universal, baik meyangkut kehidupan dunia maupun akhirat.
Ulumul qur’an atau juga di sebut
ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan
Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Quran maupun dari segi
pemahaman terhadap apa yang terkandung di dalamnya.
Selain Ulumul Qur’an ada juga Ulumul Hadits yang dimana pada masa permulaan Islam, umat Islam belum mengenal adanya Ulumul Hadits atau Ilmu Hadits. Hal ini mungkin dikarenakan fokus perhatian umat Islam pada waktu itu masih terpecah antar dakwah, jihad dan pendalaman Al-Qur’an, sehingga perhatian terhadap hadits walaupun sudah cukup intens namun belum segencar pada masa-masa berikutnya. Maka dari itu pemakalah akan membahan lebih lanjut mengenai Konsep Ulumul Qur’an Dan Ulumul Hadits Secara Komprehensif. Sebelum kita mempelajari Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, ada baiknya kita mengerti terlebih dahulu pengertian dan sejarah adanya Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits beserta cabang- cabangnya.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
ulumul qur’an dan ulumul hadits secara komprehensif ?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan konsep ulumul qur’an dan ulumul hadits ?
3.
Apa saja cabang-
cabang ulumul qur’an dan ulumul hadits secara komprehensif?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengertian ulumul qur’an dan ulumul hadits secara komprehensif
2.
Untuk mengetahui
sejarah perkembangan konsep ulumul qur’an dan ulumul hadits
3.
Untuk mengetahui
cabang- cabang ulumul qur’an dan ulumul hadits secara komprehensif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ulumul Qur’an Dan Ulumul Hadits
Pengertian
Ulumul Quran
Kata ulum Qur’an tersusun dari dua kata secara idhofi,
yaitu terdiri dari mudhof dan mudhof ilaih, kata ulum
diidhofahkan pada Al-Qur’an. Dari dua unsur kata tersebut maka didapat makna
ulum dan al-Qur’an dan menjadi kalimat ulumul-Qur’an.[1]
1. Arti kata ulum
Kata ulum secara etimologi adalah merupakan jamak dari
ilmu, kata ilmu itu sendiri adalah mashdar yang mempunyai arti
pengetahuan atau pemahaman.
2. Arti kata Al-Qur’an
Secara etimologi kata al-Qur’an merupakan mashdar dari
kata qaraa yang maknanya sama dengan kata qiraah yang berarti
bacaan, kemudian diberi makna sebagai isim maful yaitu maqru yang
artinya ‘yang dibaca’. Pemaknaan ini sebagaimana diisyaratkan dari QS.
al-‘Alaq yang merupakan perintah kepada umat manusia untuk membaca (iqra),
penamaannya termasuk katagori ‘tasmiyah al-maful bil mashdar’ (penamaan
isim maful dengan mashdar). Penamaan ini merujuk pada QS al-Qiyamah (75) ayat
17-18 yang artinya: 17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya
(di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.[2]
Dari segi terminologinya al-Qur’an di definisikan para
pakar ushul fiqih, fiqih dan bahasa Arab adalah sebagai : ‘Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang lapazh-lafazhnya mengandung mukjijat,
membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang
ditulis pada mushaf, mulai dari surat al-Fatihah (1) sampai akhir surat an-Nas
(114)
Definisi al-Quran yang dikemukakan para ulama yang
maknanya mampu membedakan dengan definisi yang lain adalah :
القرآن
هو كلام الله المنزل على محمد عليه السلام المتعبد بتلاوته
Artinya : Quran adalah kalam atau firman Allah
yang diturunkan kepada Muhamad saw. Yang pembacanya merupakan suatu ibadah`.
[3]
3. Arti Ulumul
Qur’an
Kata u`lum jamak dari kata i`lmu. i`lmu
berarti al-fahmu wal idraak (faham dan menguasai). Kemudian arti
kata ini berubah menjadi permasalahan yang beraneka ragam yang disusun secara
ilmiah.
Ulumul Qur’an secara etimologi adalah ilmu-ilmu
tentang al-Qur’an, ilmu dengan pengertian pembahasan-pembahasan yang berkaitan
dengan al-Quran, adapun definisi al-Qur’an secara terminologi menurut Abu
Syahbah, adalah : ‘Sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan yang
berhubungan dengan al-Qur’an, mulai proses penurunan, urutan penulisan,
penulisan, kodifikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan, nasikh-mansukh,
muhkam-mutayabih, sampai pembahasan-pembahasan lain.[4]
Jadi, yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an ialah ilmu
yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Quran dari segi
asbaabu nuzuul."sebab-sebab turunnya al-Qur`an", pengumpulan dan
penertiban Qur`an, pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah, An-Nasikh
wal mansukh, Al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan Qur`an.
Terkadang ilmu ini dinamakan juga ushuulu tafsir
(dasar-dasar tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang
harus diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan
Qur`an.[5]
Pengertian Ulumul Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.[6] Hadits menurut bahasa artinya
baru. Hadits juga secara bahasa berarti “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”,
juga “sesuatu yang sedikit dan banyak”. Bentuk jamaknya adalah ahadits.
Adapun firman Allah Ta’ala, “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh
dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak
beriman kepada hadits ini” (Al-Kahfi [18] : 6). Maksud hadits dalam ayat
ini adalah Al-Qur’an. Dan juga firman Allah“Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka
sampaikanlah.” (Adh-Dhuha [93] : 11). Maksudnya: sampaikan risalahmu, wahai
Muhammad.
Haditst menurut
istilah ahli, hadits adalah: Apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan sifat, atau sirah
beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.
Sedangkan menurut
ahli ushul fisih, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang
disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah kenabiannya.
Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud
dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi setelah kenabian.[7]
Kata “al
hadits” dapat juga dipandang sebagai istilah yang lebih umum dari kata “as
sunnah”. Yang mencakup seluruh yang berhubungan dan disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan istilah “as sunnah” digunakan untuk perbuatan (‘amal)
dari Nabi SAW saja.[8]
Ulumul Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam
tradisi Ulama Hadits (Arabnya : ‘Ulum al Hadits). ‘Ulum al Hadits terdiri
atas dua kata yaitu ‘Ulumu dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa
Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm jadi berarti “ilmu-imu”. sedangkan al
Hadits di kalangan Ulama’ Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqri atau sifat”. Dengan demikian ‘Ulum
al Hadits mengandung pengertian
ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi”.
Secara umum para ulama Hadits membagi Ilmu Hadits
kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadits Riwayah (‘ilm al Hadits Riwayah)
dan Hadits Dirayah (‘ilm al Hadits Dirayah):
a.
Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung
pembicaraan tentang penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau,
hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail
dan dapat dipertanggungjawabkan.[9]
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip
oleh Al-Suyuthi, yaitu Ilmu Hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah
adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan
perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian
lafaz-lafznya.
Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathib, yaitu Ilmu yang
membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang di sandarkan
kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau
pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti
dan terperinci.
Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani
al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah adalah
ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW
serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW
serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa
Ilmu Hadits Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara
periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Hadits Nabi
SAW dari segi periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
Cara periwayatan Hadits, baik dari segi cara
penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada
perawi yang lainnya; Cara pemeliharaan Hadits, Yaitu dalam bentuk penghafalan,
penulisan dan pembukuannya. Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah:
pemeliharaan terhadap Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta
terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam
penulisan dan pembukuannya.
b. Pengertian Ilmu
Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang mempunyai
beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui
keadaan perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy) dari segi diterima atau
ditolaknya.[10]
Para ulama memberikan definisi yang bervariasi
terhadap Ilmu Hadits Dirayah ini. Akan tetapi, apabila di cermati
definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara
satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
Menurut ibnu al-Akfani, ilmu hadits yang khusus
tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat,
syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya.
Menurut Imam al-Suyuti merupakan uraian dan
elaborasi dari definisi diatas, yaitu Hakikat Riwayat adalah kegiatan
periwayatan sunnah (Hadits) dan penyandarannya kepada orang yang
meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang
perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si
fulan), atau ikhbar, seperti perkataannya“akhbarana
fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si fulan).
Menurut M. `Ajjaj al-Khatib dengan definisi yang
lebih ringkas dan komprehensif, yaitu Ilmu Hadits Dirayah adalah kumpulan
kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari
segi di terima atau ditolaknya. Al-rawi atau perawi adalah
orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadits dari satu orang kepada yang
lainnya. Al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu
yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau
Tabi`in.
Keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya
adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh danta`dil ketika tahammul dan adda`
al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam
kaitannya dengan periwayatan Hadits.
Keadaan marwi adalah segala
sesuatu yang berhubungan denganittishal al-sanad (persambungan sanad)
atau terputusnya, adanya `illat atau tidak, yang menentukan
diterima atau ditolaknya suatu Hadits.
- Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an Dan Ulumul Hadits
Sejarah Perkembangan
Ulumul Quran
Sejarah
perkembangan ulumul-Quran dimulai menjadi beberapa fase, dimana tiap-tiap fase menjadi
dasar bagi perkembangan menuju fase selanjutnya, hingga ulumul-Quran menjadi
sebuah ilmu khusus yang dipelajari dan dibahas secara khusus pula. Berikut
beberapa fase / tahapan perkembangan ulumul-Quran.
a.
Ulumul-Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW.
Embrio awal ulumul
quran pada masa ini berupa penafsiran ayat Al-Quran langsung dari Rasulullah
SAW kepada para sahabat, begitu pula dengan antusiasime para sahabat dalam
bertanya tentang makna suatu ayat, menghafalkan dan mempelajari hukum-hukumnya.
1) Rasulullah SAW menafsirkan kepada
sahabat beberapa ayat.
Dari Uqbah bin Amir ia
berkata : " aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata diatas mimbar,
"dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal
:60 ), ingatlah bahwa kekuatan disini adalah memanah" (HR Muslim).
2)
Antusiasme sahabat dalam menghafal dan mempelajari Al-Quran.
Diriwayatkan dari Abu
Abdurrrahman as-sulami, ia mengatakan : " mereka yang membacakan qur'an
kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud serta yang lain
menceritakan, bahwa mereka bila belajar dari Nabi sepuluh ayat mereka tidak
melanjutkannya, sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada didalamnya, mereka
berkata 'kami mempelajari qur'an berikut ilmu dan amalnya sekaligus.'"
3)
Larangan Rasulullah SAW untuk menulis selain qur'an, sebagai upaya menjaga
kemurnian AlQuran.
Dari Abu Saad al-
Khudri, bahwa Rasulullah SAW berkata: Janganlah kamu tulis dari aku; barang
siapa menuliskan aku selain qur'an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang
dariku, dan itu tiada halangan baginya, dan barang siapa sengaja berdusta atas
namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka."(HR Muslim)
b.
Ulumul-Qur’an Pada Masa Khalifah
Pada masa khalifah,
tahapan perkembangan awal (embrio) ulumul-Quran mulai berkembang pesat, di
antaranya dengan kebijakan-kebijakan para khalifah sebagaimana berikut:
1) Khalifah Abu Bakar :dengan
Kebijakan Pengumpulan/Penulisan Al-Quran yg pertama yang diprakarsai oleh
Umar bin Khottob dan dipegang oleh Zaid bin Tsabit.
2) Kekhalifahan Usman Ra : dengan kebijakan
menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf
itu disebut mushaf Imam. Salinan-salinan mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa
propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-Rosmul 'Usmani yaitu
dinisbahkan kepada Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu
Rasmil Qur'an.
3) Kekalifahan Ali Ra :dengan
kebijakan perintahnya kepada Abu 'aswad Ad-Du'ali meletakkan
kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan memberikan
ketentuan harakat pada qur'an. Ini juga disebut sebagai permulaan Ilmu
I'rabil Qur'an.
c.
Ulumul-Qur’an pada masa sahabat dan tabi’in.
Para sahabat senantiasa
melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna al-qur'an dan
penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan
mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan
tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW , hal demikian diteruskan oleh
murid-murid mereka , yaitu para tabi'in.
Diantara para Mufasir yang termashur dari para sahabat adalah: Empat orang
Khalifah ( Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Ali ). Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Masud dan Ubai bin Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka
tidak berarti merupakan sudah tafsir al-Quran yang sempurna. Tetapi terbatas
hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran apa yang masih samar dan
penjelasan apa yang masih global.
Peranan Tabi'in dalam penafsiran
Al-Quran dan Tokoh-tokohnya
Mengenai para tabi'in,
diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para
sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad
dalam menafsirkan ayat, yang terkenal di antara mereka , masing-masing sebagai
berikut:
a. Murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal
ialah, Sa'id bin Jubair, Mujahid, 'iKrimah bekas sahaya ( maula ) Ibnu Abbas,
Tawus bin kisan al Yamani dan 'Ata' bin abu Rabah.
b. Murid Ubai bin Kaab, di Madinah : Zaid
bin Aslam, abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka'b al Qurazi.
c. Abdullah bin Masud di Iraq yang terkenal
: 'Alqamah bin Qais, Masruq al Aswad bin Yazid, 'Amir as Sya'bi, Hasan Al
Basyri dan Qatadah bin Di'amah as Sadusi.
Dan yang diriwayatkan
mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu Gharibil Qur'an, ilmu Asbabun
Nuzul, ilmu Makki wal madani dan imu Nasikh dan Mansukh, tetapi semua ini tetap
didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan (imla).
d.
Masa Pembukuan (tadwin)
Perkembangan
selanjutnya dalam ulumul-Quran adalah masa pembukuan ulumul- Quran, pembukuan
ini melewati beberapa perkembangan sebagai berikut:
1)
Pembukuan tafsir Al-Quran menurut riwayat dari hadits, Sahabat dan tabi'in
Pada abad kedua hijriah
tiba masa pembukuan ( tadwin ) yang dumulai dengan pembukuan hadist denga
segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan
dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir al-Qur'an yang
diriwayatkan dari Rasulullah SAW dari para sahabat atau dari para tabi'in.
Diantara mereka yang
terkenal adalah Yazid bin Harun as Sulami, ( wafat 117 H ), Syu'bah bin Hajjaj
( wafat 160 H ), Waqi' bin Jarrah ( wafat 197 H ), Sufyan bin 'uyainah ( wafat
198 H), dan Aburrazaq bin Hammam ( wafat 112 H ).
Mereka semua adalah
para ahli hadits, sedangkan tafsir yang mereka susun merupakan salah satu
bagiannya, namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ketangan
kita.
2)
Pembukuan tafsir berdasarkan susunan ayat
Kemudian langkah mereka
itu diikuti oleh para ulama'. Mereka menyusun tafsir Qur'an yang lebih sempurna
berdasarkan susunan ayat. Dan yang terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at
Tabari ( wafat 310 H ).
Demikianlah tafsir pada
awal permulaanya dinukil (dipindahkan) melalui penerimaan (dari mulut ke
mulut) melalui riwatyat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadits,
selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses
kelahiran at-Tafsir bil Ma'tsur (berdasarkan riwayat), lalu
diikuti oleh at-Tafsir bir Ra'yi (berdasarkan penalaran).
e. Ulumul-Qur’an pada masa modern
(kontemporer)
Sebagaimana pada
periode sebelumnya, perkembangan ulumul-Quran pada masa kontemporer ini juga
berlanjut seputar penulisan sebuah metode atau cabang ilmu al-Quran secara
khusus dan terpisah, sebagaimana ada pula yang kembali membali menyusun atau
menyatukan cabang-cabang ulumul-Quran dalam kitab tersendiri dengan penulisan
yang lebih sederhana dan sistematis dari kitab-kitab klasik terdahulu.
Embrio awal ulumul
quran pada masa ini berupa penafsiran ayat Al-Quran langsung dari Rasulullah
SAW kepada para sahabat, begitu pula dengan antusiasime para sahabat dalam
bertanya tentang makna suatu ayat, menghafalkan dan mempelajari hukum-hukumnya. Rasulullah SAW
menafsirkan kepada sahabat beberapa ayat. Dari Uqbah bin Amir ia berkata : " aku pernah
mendengar Rasulullah SAW berkata diatas mimbar, "dan siapkan untuk
menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal :60 ), ingatlah bahwa
kekuatan disini adalah memanah" (HR Muslim). Antusiasme sahabat dalam menghafal dan mempelajari Al-Quran. Diriwayatkan dari Abu
Abdurrrahman as-sulami, ia mengatakan : " mereka yang membacakan qur'an
kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud serta yang lain
menceritakan, bahwa mereka bila belajar dari Nabi sepuluh ayat mereka tidak
melanjutkannya, sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada didalamnya, mereka
berkata 'kami mempelajari qur'an berikut ilmu dan amalnya sekaligus.' Larangan Rasulullah SAW
untuk menulis selain qur'an, sebagai upaya menjaga kemurnian AlQuran.
Dari Abu Saad al- Khudri, bahwa Rasulullah SAW berkata: Janganlah
kamu tulis
dari aku; barang siapa menuliskan
aku selain qur'an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu
tiada halangan baginya, dan barang siapa sengaja berdusta atas namaku, ia akan
menempati tempatnya di api neraka."(HR Muslim) Pada masa khalifah,
tahapan perkembangan awal (embrio) ulumul-Quran mulai berkembang pesat, di
antaranya dengan kebijakan-kebijakan para khalifah sebagaimana berikut: Khalifah
Abu Bakar :dengan Kebijakan Pengumpulan/Penulisan Al-Quran yg
pertama yang diprakarsai oleh Umar bin Khottob dan dipegang oleh Zaid bin
Tsabit. Kekhalifahan Usman Ra : dengan kebijakan menyatukan kaum
muslimin pada satu mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf
Imam. Salinan-salinan mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa propinsi.
Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-Rosmul 'Usmani yaitu dinisbahkan kepada
Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu Rasmil Qur'an. Kekalifahan
Ali Ra :dengan kebijakan perintahnya kepada Abu 'aswad Ad-Du'ali
meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan
memberikan ketentuan harakat pada qur'an. Ini juga disebut sebagai permulaan Ilmu
I'rabil Qur'an. Ulumul-Qur’an pada masa sahabat dan tabi’in. Peranan Sahabat dalam Penafsiran Al-Quran dan Tokoh-tokohnya.
Para sahabat senantiasa
melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna al-qur'an dan
penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan
mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan
tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW , hal demikian diteruskan oleh
murid-murid mereka , yaitu para tabi'in.
Diantara para Mufasir
yang termashur dari para sahabat adalah: Empat orang Khalifah ( Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali )
1.
Ibnu Masud,
2.
Ibnu Abbas,
3.
Ubai bin Kaab,
4.
Zaid bin sabit,
5.
Abu Musa al-Asy'ari dan
6.
Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai
tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud dan Ubai bin
Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti merupakan sudah tafsir
al-Quran yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan
penafsiran apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global.
Mengenai para
tabi'in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini
dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan
ijtihad dalam menafsirkan ayat, yang terkenal di antara mereka , masing-masing
sebagai berikut: Murid Ibnu Abbas di
Mekah yang terkenal ialah, Sa'id bin Jubair, Mujahid, 'iKrimah bekas sahaya (
maula ) Ibnu Abbas, Tawus bin kisan al Yamani dan 'Ata' bin abu Rabah. Murid
Ubai bin Kaab, di Madinah : Zaid bin Aslam, abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka'b
al Qurazi. Abdullah bin Masud di Iraq yang terkenal : 'Alqamah bin Qais,
Masruq al Aswad bin Yazid, 'Amir as Sya'bi, Hasan Al Basyri dan Qatadah bin
Di'amah as Sadusi. Dan yang diriwayatkan mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu Gharibil
Qur'an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Makki wal madani dan imu Nasikh dan Mansukh,
tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan (imla).
Masa Pembukuan (tadwin). Perkembangan
selanjutnya dalam ulumul-Quran adalah masa pembukuan ulumul- Quran, pembukuan
ini melewati beberapa perkembangan sebagai berikut, Pada abad kedua hijriah
tiba masa pembukuan ( tadwin ) yang dumulai dengan pembukuan hadist denga
segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan
dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir al-Qur'an yang
diriwayatkan dari Rasulullah SAW dari para sahabat atau dari para tabi'in.
Diantara mereka yang
terkenal adalah Yazid bin Harun as Sulami, ( wafat 117 H ), Syu'bah bin Hajjaj
( wafat 160 H ), Waqi' bin Jarrah ( wafat 197 H ), Sufyan bin 'uyainah ( wafat
198 H), dan Aburrazaq bin Hammam ( wafat 112 H ).
Mereka semua adalah
para ahli hadits, sedangkan tafsir yang mereka susun merupakan salah satu
bagiannya, namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ketangan
kita.Kemudian langkah mereka itu diikuti oleh para ulama'. Mereka menyusun
tafsir Qur'an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang terkenal
diantara mereka ada Ibn Jarir at Tabari ( wafat 310 H ). Demikianlah
tafsir pada awal permulaanya dinukil (dipindahkan) melalui penerimaan
(dari mulut ke mulut) melalui riwatyat, kemudian dibukukan sebagai salah satu
bagian hadits, selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka
berlangsunglah proses kelahiran at-Tafsir bil Ma'tsur
(berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-Tafsir bir Ra'yi
(berdasarkan penalaran ). Disamping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang
berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan
dengan al-Quran, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir, di
antaranya :Ali bin al Madini (wafat 234 H) guru Bukhari, menyusun karangannya
mengenai asbabun nuzul, Abu 'Ubaid al Qasim bin Salam (wafat 224 H) menulis
tentang Nasikh Mansukhdan qira'at. Ibn Qutaibah (wafat 276 H) menyusun tentang
problematika al-Quran (musykilatul quran). Muhammad bin Khalaf bin
Marzaban (wafat 309 H) menyusun al- Hawi fa 'Ulumil Qur'an. Abu muhammad bin
Qasim al Anbari (wafat 751 H) juga menulis tentang ilmu-ilmu al-Qur'an. Abu Bakar As
Sijistani (wafat 330 H) menyusun Garibul Qur'an. Muhammad bin Ali bin al-Adfawi (wafat 388 H) menyusun al Istigna' fi
'Ulumil Qur'an. Abu Bakar al Baqalani (wafat 403 H) menyusun i'jazul-Qur'an,
Ali bin Ibrahim bin Sa'id al Hufi (wafat 430 H) menulis mengenai i'rabul-Qur'an.
Al Mawardi (wafat 450 H) menegenai tamsil-tamsil dalam al-Qur'an (amsalul-Qur'an).
Al Izz bin Abdussalam ( wafat 660 H ) tentang majaz dalam al-Qur'an. Alamuddin
Askhawi ( wafat 643 H ) menulis mengenai ilmu qra'at (cara membaca al-Qur'an )
dan aqsamul-Qur'an. Pada masa sebelumnya, ilmu-ilmu al-Quran dengan
berbagai pembahasannya di tulis secara khusus dan terserak, masing-masing
dengan judul kitab tersendiri, kemudian, mulailah masa pengumpulan dan
penulisan ilmu-ilmu tersebut dalam pembahasan khusus yang lengkap, yang dikenal
kemudian dengan ulumul-Qur'an. Di antara ulama-ulama yang menyusun secara
khusus ulumul-Quran adalah sebagai berikut Ali bin Ibrohim Said (330 H) yang
dikenal dengan al Hufi dianggap sebagai orang pertama yang membukukan
ulumul-Qur'an. Ibnul Jauzi (wafat 597 H) mengikutinya dengan menulis sebuah kitab berjudul
fununul Afnan fi 'Aja'ibi 'ulumil Qur'an. Badruddin az-Zarkasyi (wafat
794 H) menulis sebuah kitab lengkap dengan judul Al-Burhan fii ulumilQur`an
. Jalaluddin Al-Balqini (wafat 824 H) memberikan beberapa tambahan atas
Al-Burhan di dalam kitabnya Mawaaqi`ul u`luum min mawaaqi`innujuum. Jalaluddin
As-Suyuti (wafat 911 H) juga kemudian menyusun sebuah kitab yang terkenal al-itqaan
fii u`luumil qur`an. Kitab Al-Burhan
(Zarkasyi) dan Al-Itqon (As-Suyuti) hingga hari ini masih dikenal sebagai
referensi induk / terlengkap dalam masalah ulumul-Qur'an. Tidak ada peneliti
tentang ulumul-Quran, kecuali pasti akan banyak menyandarkan tulisannya pada
kedua kitab tersebut. Sebagaimana pada periode sebelumnya, perkembangan
ulumul-Quran pada masa kontemporer ini juga berlanjut seputar penulisan sebuah
metode atau cabang ilmu al-Quran secara khusus dan terpisah, sebagaimana ada
pula yang kembali membali menyusun atau menyatukan cabang-cabang ulumul-Quran
dalam kitab tersendiri dengan penulisan yang lebih sederhana dan sistematis
dari kitab-kitab klasik terdahulu. Kitab yang terbit membahas khusus tentang
cabang-cabang ilmu Quran atau pembahasan khusus tentang metode penafsiran
Al-Quran di antaranya : Kitab i`jaazul quran yang ditulis oleh Musthafa Shadiq
Ar-Rafi`i, Kitab At-Tashwirul fanni fiil qu`an dan masyaahidul qiyaamah fil
qur`an oleh Sayyid Qutb Tarjamatul qur`an oleh syaikh Muhammad Musthafa
Al-Maraghi yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-hatib, Masalatu
tarjamatil qur`an oleh Musthafa Sabri, An-naba`ul adziim oleh DR
Muhammad Abdullah Daraz dan Muqaddimah tafsir Mahaasilu ta`wil oleh
Jamaluddin Al-qasimi. Kitab yang membahas secara umum ulumul quran dengan
sistematis, diantaranya :Syaikh Thahir Al-jazaairy menyusun sebuah kitab dengan
judul At-tibyaan fii u`luumil qur`an. Syaikh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhajul
furqan fii u`luumil qur`an yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan
untuk fakultas ushuluddin di Mesir dengan spesialisasi da`wah dan bimbingan
masyarakat dan diikuti oleh muridnya, Muhammad Abdul a`dzim az-zarqani yang menyusun Manaahilul i`rfaan fii
u`lumil qur`an. Syaikh Ahmad Ali
menulis muzakkiraat u`lumil qur`an yang disampaikan kepada mahasiswanya
di fakultas ushuluddin jurusan dakwah dan bimbingan masyarakat. Kitab Mahaabisu fii u`lumil qur`an oleh DR Subhi
As-Shalih.Pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan u`luumul qur`an,
dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu
tersebut. Kitab Mabahitsul Quran yang ditulis Manna'ul Qattan ini
juga termasuk kitab ulumul quran kontemporer yang banyak mendapat sambutan di
universitas-universitas di Timur Tengah dan Dunia Islam pada umumnya. Kitab ini
juga dijadikan modul untuk perkuliahan Ulumul Quran semester 1 di Universitas
International Afrika, Khartoum Sudan, sebagai mata kuliah umum untuk semua
mahasiswa di berbagai jurusannya.
Perkembangan Ulumul Hadits
Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah SAW mencurahkan
segala aktifitasnya untuk mendakwahkan Islam kepada umat manusia sehingga
belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.[11]
Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan
pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai
suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah SAW masih hidup
ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk
prinsip-prinsip dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits
dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap
setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan
sebagainya. Firman Allah dalam (Al-Hujurat [49] : 6) menyatakan:“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”
Demikian pula dalam (Al-Thalaq [65] : 2)
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ
مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مَخْرَجًا
Artinya:“.......persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar.”
Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum
muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya
berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti
diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika
pembawanya orang terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya,
jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.
Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat Nabi
sangat hati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih
banyak tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman
khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi
Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu
munculnya firqah di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan
pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan
dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga
kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang
periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang
dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara lain
oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpun hadits dari para ulama.
Ketika
para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya ingat para perawi
(dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang
dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana cara menyelesaikan hadits
yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya,
maka perkembangan ilmu hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (wafat
204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah mengalami
perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas
kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah
ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula
kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang
bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada
saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu
lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sesudah
generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits,
misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah
(wafat 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam
Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad
bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis
tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya ulama
yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini,
maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu
Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan
sempurna.
Penulisan
ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad
al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (wafat 360 H) menulis buku
Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim
al-Naisaburi (wafat 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu
Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’,
al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.
C. Cabang-Cabang
Ulumul Qur’an Dan Ulumul Hadits
Cabang Ulumul Qur’an
Diantara cabang-cabang yangdibahas dalam Ulumul Quran masih menurut
Ash-Shiddiqy (102 -107) adalah sebagai berikut :
a.
llmu Adab Tilawat al-Quran, yaitu
ilmu-ilmu yang menerangkan aturan pembacaan al-Quran.
b.
llmu Tajwid,
yaitu ilmu yang menerangkan cara membaca al-Quran, tempat memulai, atau tempat
berhenti (waqaf).
c.
llmu Mawathin
al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan tempat, musim, awal dan akhir turunnya
ayat.
d.
llmu Tawan'kh
al-Nuzul, yaitu ilmu yang menjelaskan dan menerangkan masa dan urutan turunnya
ayat, satu demi satu dari awal hingga yang nerakhir tumn.
e.
llmu Asbab
al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat.
f.
llmu Qim 'at,
yaitu ilmu yang menerangkan mgam qira’at (pembacaan al-Quran) yang telah
diten‘ma Rasulullah SAW. Apabila dikumpulkan, qira'at ini teridiri atas sepuluh
macam, ada yang shahih dan ada pula yang deak shahih.
g.
llmu Gharib a1
Quran, yaitu ilmu konvensional, atau tidak terdapat dalam percakapan
sehari-hari. llmu ini menerangkan kata~kat yang halus, tinggi dan pelik.
h.
llmu l'rab
al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan harakat al-Quran dan kedudukan sebuah
kata dalam kalimat.
i.
llmu wujuh wa
al-Nazha’ir, yaitu ilmu yang menemngkan kata-kata al-Quran yang mempunyai makna
lebih dan‘ satu.
j.
llmu Ma’rifat al-Muhkam
wa alMutasyabih, yairu ilmu yang menexangkan ayat-ayat yang dipandang muhkam
dan yang dipandang mutasyabih.
k.
llmu Nasikh wa
al-Mansukh, yajtu ilmu yang menemngkan ayatayat yang nasikh dan ayat-ayat yang
mansukh oleh sebagian mufassir.
l.
llmu Badai’u
al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan keindahan susunan bahasa al-Quran.
m.
llmu
I’jazal-Quran,yaitu ilmu yang menerangkan segi-segi kekuatan al-Quran sehingga
dipandang sebagai suatu mukjizat dan dapat melemahkan penantang-penantangnya.
n.
llmu Tanasub
Ayat al-Quran, yaitu ilmu menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan ayat
sebelumnya dan sesudahnya.
o.
llmu Aqsam
al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan ani dan maksud sumpah Allah yang terdapat
didalam al-Quran.
p.
IlmuAmtsal
aI-Quran, yaitu ilmu yang menemngkan perumpamaan al-Quran, yakni menerangkan
ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan al-Quran.
q.
Ilmu Jada!
aLQumn, yaitu ilmu yangmenerangkan berbagai perdebatan yang telah dihadapkan
al-Quran kepada segenap kaum musyrikin dan kelompok lainnya. [12]
Cabang Ulumul Hadits
Diantara
cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:
a. Ilmu Rijalul Hadits
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari
sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang
terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh
tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana
saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja
mereka memperoleh hadits dan kepada siapa saja mereka menyampaikan hadits.
Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang
mempelajari persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada
yang menyebut Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu
Tarikh al-Ruwat.
Ilmu Rijalul Hadits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh
Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketaui dengannya keadaan
setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang
yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain itu yang
ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.[13]
b. Ilmu Tarikh Rijal
Al-Hadits
Adalah ilmu yang sangat membantu untuk mengetahui
derajat hadits dan sanad (apakah sanadnya muttashil atau munqathi’).
c. Ilmu al-Jarh wa
al-Ta`dil
Secara bahasa, Al-Jarh adalah ism masdhar yang berarti
luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke ‘adalahan
seseorang.
Menurut istilah, Al-Jarh yaitu terlihatnya sifat
seseorang perawi yang dapat menjatuhkan ke ‘adalahannya, dan merusak
hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau
melemahkannya hingga kemudan ditolak.
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seseorang perawi dengan sifat yang
menyebabkan pendhaifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
Secara bahasa, Al-‘Adlu adalah apa yang lurus
dalam jiwa, lawan dari durhaka, dan seorang yang ‘adil artinya
kesaksiannya diterima, dan At-ta’dil artinya mensucikannya dan
membersihkannya.
Menurut istilah, Al ‘Adlu adalah orang yang
tidak nampak padanya apa yang dapat meruak agamanya dan perangainya, maka oleh
sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat
menyampaikannya hadits.
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat sifat yang mensucikannya, sehingga
nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu ilmu yang
menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.[14]
d. Ilmu Mukhtalif
al-Hadits
Adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
tampaknya saling bertentangan. Lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya, disamping membahas hadits-hadits yang sulit difahami atau
dimengerti. Kemudian menghilangkan kesulitan tersebut serta menjelaskan
hakikatnya.
Oleh karena itu sebagian ulama menamai ilmu ini dengan
ilmu musykilul Hadits, ada juga yang menamainya ilmu Ikhtilaful
hadits, ilmu Ta’wilul Hadits dan ilmu Talfiqul Hadits. Seangkan
obyek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang tampaknya berlawanan, untuk
kemudian dikompromikan kandungan dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya,
mengkhususkan (takhshish) keumumannya dan lain sebagainya. Atau
mentakwilkan hadits-hadits yang musykil hinga hilang kemusykilannya.[15]
e. Ilmu `Ilalil Hadits
‘Ilal adalah
jamak dari ‘illah, artinya penyakit. ‘Illah menurut istilah ahli
hadits adalah suatu sebab yang tersembunnyi yang dapat mengurangi status
keshahihan hadits padahal zhahirnya tidak nampak ada cacat.[16]
Ilmu ‘Illal hadits yaitu ilmu yang membahas
tentang sebab-sebab tersembunyi dari segi keberadaannya mencacatkan hadits, me-muttasil-kan
(menyambung hadits) yang munqathi’ (terputus sanadnya), me-marfu’-kan
(menyandarkan kepada Nabi SAW) hadits yang mauquf (tidak sampai kepada
Nabi SAW atau terhenti pada sahabat), memasukkan suatu hadits kedalam hadits
lain, mencampuradukkan sanad dengan matan atau yang lainnya.
f. Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu (pengetahuan) untuk mengetahui
lafadz-lafadz dalam matan-matan hadits yang sulit lagi sukar difahami
disebabkan karena jarang sekali digunakan.
Dari
ta’rif (definisi) diatas, nyata bagi kita bahwa obyek dari ilmu gharibul
hadits adalah kata-kata yang musykil (sukar) dan susunan kalimat
yang sulit difahami maksudnya. Hal ini dimaksudkan agar orang tidak menafsirkan
secara menduga-duga dan mentaqlidi pendapat orang yang bukan ahlinya.[17]
g. Ilmu Nasikh dan
Mansukh Hadits
Nasikh artinya
menghapus atau menghilangkan, sedangkan masukh adalah yang dihapus atau
dihilangkan. Menurut ulama ushul Naskh adalah penghapusan oleh syari’ (pembuat
hukum dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya SAW) terhadap suatu hukum syara’
dengan dalil syar’iy yang datang kemudian.[18]
Ilmu
nasikh dan mansukh hadits yaitu ilmu yang membahas Hadits-hadits yang
bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadits yang satu
menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh). Yang
datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan
dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.
h. Ilmu Asbab Wurud
al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits)
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi
menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al
Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu hadits ada Ilmu Asbab
wurud al-Hadits. Terkadang ada hadits yang apabila tidak di ketahui sebab
turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di
amalkan.
i.
Ilmu Mushthalah
Hadits
Ilmu musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan
kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi
diterima dan ditolaknya. Obyeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan
ditolaknya. Manfaat ilmu ini adalah membedakan hadits shahih dari yang tidak
shahih.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
1.
Pengertian
Ulumul Qur’an Dan Ulumul Hadits
Kata ulum Qur’an
tersusun dari dua kata secara idhofi, yaitu terdiri dari mudhof dan
mudhof ilaih, kata ulum diidhofahkan pada Al-Qur’an. Dari dua unsur kata
tersebut maka didapat makna ulum dan al-Qur’an dan menjadi kalimat
ulumul-Qur’an.
Kata ulum secara etimologi adalah merupakan jamak dari
ilmu, kata ilmu itu sendiri adalah mashdar yang mempunyai arti
pengetahuan atau pemahaman.
Arti kata
Al-Qur’an secara etimologi kata al-Qur’an merupakan mashdar dari kata qaraa
yang maknanya sama dengan kata qiraah yang berarti bacaan, kemudian
diberi makna sebagai isim maful yaitu maqru yang artinya ‘yang
dibaca’.
Arti Ulumul Qur’an Kata u`lum jamak dari kata i`lmu.
i`lmu berarti al-fahmu wal idraak (faham dan menguasai). Kemudian
arti kata ini berubah menjadi permasalahan yang beraneka ragam yang disusun
secara ilmiah.
Ulumul Qur’an
secara etimologi adalah ilmu-ilmu tentang al-Qur’an, ilmu dengan pengertian
pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan al-Quran.
Jadi, yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an ialah ilmu
yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Quran dari segi
asbaabu nuzuul."sebab-sebab turunnya al-Qur`an", pengumpulan dan
penertiban Qur`an, pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah, An-Nasikh
wal mansukh, Al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan Qur`an.
Terkadang ilmu ini dinamakan juga ushuulu tafsir
(dasar-dasar tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang
harus diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan
Qur`an.
Sedangkan Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau
sifat.
Ulumul Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam
tradisi Ulama Hadits (Arabnya : ‘Ulum al Hadits). ‘Ulum al Hadits terdiri
atas dua kata yaitu ‘Ulumu dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa
Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm jadi berarti “ilmu-imu”. sedangkan al
Hadits di kalangan Ulama’ Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqri atau sifat”.
Secara umum para ulama Hadits membagi Ilmu Hadits
kepada dua bagian, yaitu:
1. Ilmu
Hadits Riwayah (‘ilm al Hadits Riwayah) dan
2. Hadits
Dirayah (‘ilm al Hadits Dirayah):
Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung
pembicaraan tentang penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau,
hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pengertian Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang mempunyai
beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui
keadaan perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy) dari segi diterima atau
ditolaknya.
Para ulama memberikan definisi yang bervariasi
terhadap Ilmu Hadits Dirayah ini. Akan tetapi, apabila di cermati
definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara
satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
Menurut ibnu al-Akfani, ilmu hadits yang khusus
tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat,
syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya.
Menurut Imam al-Suyuti merupakan uraian dan
elaborasi dari definisi diatas, yaitu Hakikat Riwayat adalah kegiatan
periwayatan sunnah (Hadits) dan penyandarannya kepada orang yang
meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang
perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si
fulan), atau ikhbar, seperti perkataannya“akhbarana
fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si fulan).
Menurut M. `Ajjaj al-Khatib dengan definisi yang
lebih ringkas dan komprehensif, yaitu Ilmu Hadits Dirayah adalah kumpulan
kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari
segi di terima atau ditolaknya. Al-rawi atau perawi adalah
orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadits dari satu orang kepada yang
lainnya. Al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu
yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau
Tabi`in.
Keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya
adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh danta`dil ketika tahammul dan adda`
al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam
kaitannya dengan periwayatan Hadits.
Keadaan marwi adalah segala
sesuatu yang berhubungan denganittishal al-sanad (persambungan sanad)
atau terputusnya, adanya `illat atau tidak, yang menentukan
diterima atau ditolaknya suatu Hadits.
Menurut M. `Ajjaj al-Khatib dengan definisi yang
lebih ringkas dan komprehensif, yaitu Ilmu Hadits Dirayah adalah kumpulan
kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari
segi di terima atau ditolaknya. Al-rawi atau perawi adalah
orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadits dari satu orang kepada yang
lainnya. Al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu
yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau
Tabi`in.
Keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya
adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh danta`dil ketika tahammul dan adda`
al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam
kaitannya dengan periwayatan Hadits.
2.
Sejarah Perkembangan
Ulumul Qur’an Dan Ulumul Hadits
Sejarah
perkembangan ulumul-Quran dimulai menjadi beberapa fase, dimana tiap-tiap fase
menjadi dasar bagi perkembangan menuju fase selanjutnya, hingga ulumul-Quran
menjadi sebuah ilmu khusus yang dipelajari dan dibahas secara khusus pula.
Berikut beberapa fase / tahapan perkembangan ulumul-Quran.
a. Ulumul-Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW.
b. Ulumul-Qur’an Pada Masa Khalifah
c. Ulumul-Qur’an pada masa sahabat
dan tabi’in.
d. Masa Pembukuan (tadwin)
e. Ulumul-Qur’an pada masa modern
(kontemporer)
Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah SAW mencurahkan segala aktifitasnya
untuk mendakwahkan Islam kepada umat manusia sehingga belahan dunia (Arab)
tersinari oleh agama yang hanif ini. Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan
dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud
sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan
yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa
abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada
belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.
Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru
terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi
(wafat 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i.
Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (wafat 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum
al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab
al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq
al-Rawi wa Adab al-Sami’.
3. Cabang-Cabang
Ulumul Qur’an Dan Ulumul Hadits
Cabang
Ulumul Qur’an
Diantara cabang-cabang yang dibahas dalam Ulumul Quran masih menurut Ash-Shiddiqy
(102 -107) adalah
sebagai berikut :
a.
llmu Adab Tilawat al-Quran, yaitu
ilmu-ilmu yang menerangkan aturan pembacaan al-Quran.
b. llmu
Tajwid, yaitu ilmu yang menerangkan cara membaca al-Quran, tempat memulai, atau
tempat berhenti (waqaf).
c. llmu
Mawathin al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan tempat, musim, awal dan akhir
turunnya ayat.
d. llmu
Tawan'kh al-Nuzul, yaitu ilmu yang menjelaskan dan menerangkan masa dan urutan
turunnya ayat, satu demi satu dari awal hingga yang nerakhir tumn.
e. llmu
Asbab al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat.
f. llmu Qim
'at, yaitu ilmu yang menerangkan mgam qira’at (pembacaan al-Quran) yang telah
diten‘ma Rasulullah SAW. Apabila dikumpulkan, qira'at ini teridiri atas sepuluh
macam, ada yang shahih dan ada pula yang deak shahih.
g. llmu
Gharib a1 Quran, yaitu ilmu konvensional, atau tidak terdapat dalam percakapan
sehari-hari. llmu ini menerangkan kata~kat yang halus, tinggi dan pelik.
h. llmu
l'rab al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan harakat al-Quran dan kedudukan
sebuah kata dalam kalimat.
i. llmu
wujuh wa al-Nazha’ir, yaitu ilmu yang menemngkan kata-kata al-Quran yang
mempunyai makna lebih dan‘ satu.
j. llmu
Ma’rifat al-Muhkam wa alMutasyabih, yairu ilmu yang menexangkan ayat-ayat yang
dipandang muhkam dan yang dipandang mutasyabih.
k. llmu
Nasikh wa al-Mansukh, yajtu ilmu yang menemngkan ayatayat yang nasikh dan
ayat-ayat yang mansukh oleh sebagian mufassir.
l. llmu
Badai’u al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan keindahan susunan bahasa al-Quran.
m. llmu
I’jazal-Quran,yaitu ilmu yang menerangkan segi-segi kekuatan al-Quran sehingga
dipandang sebagai suatu mukjizat dan dapat melemahkan penantang-penantangnya.
n. llmu
Tanasub Ayat al-Quran, yaitu ilmu menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan
ayat sebelumnya dan sesudahnya.
o. llmu
Aqsam al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan ani dan maksud sumpah Allah yang
terdapat didalam al-Quran.
p. IlmuAmtsal
aI-Quran, yaitu ilmu yang menemngkan perumpamaan al-Quran, yakni menerangkan
ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan al-Quran.
q.
Ilmu Jada! aLQumn, yaitu ilmu
yangmenerangkan berbagai perdebatan yang telah dihadapkan al-Quran kepada
segenap kaum musyrikin dan kelompok lainnya.
Cabang Ulumul Hadits
Diantara
cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:
a. Ilmu Rijalul Hadits
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari
sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang
terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut,
meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja
tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja
mereka memperoleh hadits dan kepada siapa saja mereka menyampaikan hadits.
Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang
mempelajari persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada
yang menyebut Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu
Tarikh al-Ruwat.
Ilmu Rijalul Hadits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh
Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketaui dengannya keadaan
setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang
yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain itu
yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.
b. Ilmu Tarikh Rijal
Al-Hadits
Adalah ilmu yang sangat membantu untuk mengetahui
derajat hadits dan sanad (apakah sanadnya muttashil atau munqathi’).
c. Ilmu al-Jarh wa
al-Ta`dil
Secara bahasa, Al-Jarh adalah ism masdhar yang berarti
luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke ‘adalahan
seseorang.
Menurut istilah, Al-Jarh yaitu terlihatnya sifat
seseorang perawi yang dapat menjatuhkan ke ‘adalahannya, dan merusak
hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya
hingga kemudan ditolak.
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seseorang perawi dengan sifat yang
menyebabkan pendhaifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
Secara bahasa, Al-‘Adlu adalah apa yang lurus
dalam jiwa, lawan dari durhaka, dan seorang yang ‘adil artinya
kesaksiannya diterima, dan At-ta’dil artinya mensucikannya dan
membersihkannya.
Menurut istilah, Al ‘Adlu adalah orang yang
tidak nampak padanya apa yang dapat meruak agamanya dan perangainya, maka oleh
sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat
menyampaikannya hadits.
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat sifat yang mensucikannya, sehingga
nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu ilmu yang
menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.[19]
d. Ilmu Mukhtalif
al-Hadits
Adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
tampaknya saling bertentangan. Lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya, disamping membahas hadits-hadits yang sulit difahami atau
dimengerti. Kemudian menghilangkan kesulitan tersebut serta menjelaskan
hakikatnya.
Oleh karena itu sebagian ulama menamai ilmu ini dengan
ilmu musykilul Hadits, ada juga yang menamainya ilmu Ikhtilaful
hadits, ilmu Ta’wilul Hadits dan ilmu Talfiqul Hadits. Seangkan
obyek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang tampaknya berlawanan, untuk
kemudian dikompromikan kandungan dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya,
mengkhususkan (takhshish) keumumannya dan lain sebagainya. Atau
mentakwilkan hadits-hadits yang musykil hinga hilang kemusykilannya.
e. Ilmu `Ilalil Hadits
‘Ilal adalah
jamak dari ‘illah, artinya penyakit. ‘Illah menurut istilah ahli
hadits adalah suatu sebab yang tersembunnyi yang dapat mengurangi status
keshahihan hadits padahal zhahirnya tidak nampak ada cacat.[20]
Ilmu ‘Illal hadits yaitu ilmu yang membahas
tentang sebab-sebab tersembunyi dari segi keberadaannya mencacatkan hadits, me-muttasil-kan
(menyambung hadits) yang munqathi’ (terputus sanadnya), me-marfu’-kan
(menyandarkan kepada Nabi SAW) hadits yang mauquf (tidak sampai kepada
Nabi SAW atau terhenti pada sahabat), memasukkan suatu hadits kedalam hadits
lain, mencampuradukkan sanad dengan matan atau yang lainnya.
f. Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu (pengetahuan) untuk mengetahui
lafadz-lafadz dalam matan-matan hadits yang sulit lagi sukar difahami
disebabkan karena jarang sekali digunakan.
Dari
ta’rif (definisi) diatas, nyata bagi kita bahwa obyek dari ilmu gharibul
hadits adalah kata-kata yang musykil (sukar) dan susunan kalimat
yang sulit difahami maksudnya. Hal ini dimaksudkan agar orang tidak menafsirkan
secara menduga-duga dan mentaqlidi pendapat orang yang bukan ahlinya.[21]
g. Ilmu Nasikh dan
Mansukh Hadits
Nasikh artinya
menghapus atau menghilangkan, sedangkan masukh adalah yang dihapus atau
dihilangkan. Menurut ulama ushul Naskh adalah penghapusan oleh syari’ (pembuat
hukum dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya SAW) terhadap suatu hukum syara’
dengan dalil syar’iy yang datang kemudian.[22]
Ilmu
nasikh dan mansukh hadits yaitu ilmu yang membahas Hadits-hadits
yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadits yang
satu menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh). Yang
datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan
dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.
h. Ilmu Asbab Wurud
al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits)
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi
menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al
Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu hadits ada Ilmu Asbab
wurud al-Hadits. Terkadang ada hadits yang apabila tidak di ketahui sebab
turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di
amalkan.
i.
Ilmu Mushthalah
Hadits
Ilmu musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan
kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi
diterima dan ditolaknya. Obyeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan
ditolaknya. Manfaat ilmu ini adalah membedakan hadits shahih dari yang tidak
shahih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar,
Bandung:Amzah,2005.
Anwar R,.Ulum Al-qur’an. Bandung :Pustaka
Setia. 2007
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan terjemahnya.Bandung: CV Diponegoro, 2005.
Kamaluddin Marzuki, Ulumul Quran, Bandung:Remaja Rosda Karya, 1994.
Nahar Syamsu, Studi Ulumul Qur’an,
Medan, 2015.
Rosihon Anwar, Ulumul Quran., Bandung:
Pustaka
Setia, 2008
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Jakarta, 2005.
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman, Mushthalah
Al Hadits, Yogyakarta. 2006
Warsito, Pengantar
Ilmu Hadits Upaya Memahami Sunnah, Bogor, 2001.
[1] Kamaluddin Marzuki, Ulumul Quran, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1994,
hal .11.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan terjemahnya. Cet. V; Bandung: CV. Diponegoro, 2005, hal.34.
[3] Anwar R,. Ulum Al-qur’an. Pustaka Setia.
Bandung,2007. Hal 11.
[4] Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an
Sebuah Pengantar, Penerbit Amzah, Oktober 2005. .Hal. 22
[5] Dr. Rosihon Anwar, M.ag, Ulumul Quran.
Pustaka Setia, Bandung, 2008. Hal.
[6] Syaikh Muhammad Bin
Shalih Al Utsman, Mushthalah Al Hadits, Yogyakarta, hal 15.
[7] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, 2005, Jakarta, hal 22.
[8] Warsito, Lc, pengantar Ilmu Hadits Upaya Memahami
Sunnah, 2001, Bogor, hal 10.
[9] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
2005, Jakarta, hal 73.
[10] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, 2005, Jakarta, hal 73.
[11] Warsito, Lc, Pengantar Ilmu
Hadits Upaya Memahami Sunnah, 2001, Bogor, hal 45.
[12] Nahar Syamsu, Studi
Ulumul Qur’an, 2015, medan, hal 29.
[13] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, 2005, Jakarta, hal 75.
[14] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
2005, Jakarta, hal 82-83.
[15] Warsito, Lc, Pengantar Ilmu
Hadits Upaya Memahami Sunnah, 2001, Bogor, hal 118.
[16] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
2005, Jakarta, hal 98.
[17] Warsito, Lc, Pengantar Ilmu Hadits Upaya Memahami
Sunnah, 2001, Bogor, hal 117.
[18] Warsito, Lc, Pengantar Ilmu Hadits Upaya Memahami
Sunnah, 2001, Bogor, hal 118.
[19] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
2005, Jakarta, hal 82-83.
[20] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
2005, Jakarta, hal 98.
[21] Warsito, Lc, Pengantar Ilmu Hadits Upaya Memahami
Sunnah, 2001, Bogor, hal 117.
[22] Warsito, Lc, Pengantar Ilmu Hadits Upaya Memahami
Sunnah, 2001, Bogor, hal 118.
1 komentar
Terima kasih..
BalasHapusPosting Komentar