AYAT dan HADITS TENTANG MODERASI PENDIDIKAN ISLAM dalam BERAGAMA


Oleh:

Muhammad Arifin

Siti Roudlotul Badiatil I.

Maya Novitasari

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Studi dan pembahasan tentang Al-Qur'an tidak akan ada habishabisnya. Selalu ada hal menarik dari setiap sisinya. Al-Qur'an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbedabeda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Kehadiran berbagai ragam fenomena dan dinamika Islam kekinian telah banyak menghabiskan analisa dari para pemerhati terutama kaum intelektual dalam menguak misteri tentang terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme dalam Islam. Fenomena-fenomena ini selalu menjadi diskursus aktual yang tidak pernah membosankan untuk dibicarakan baik dalam exposing media maupun dalam ruang-ruang diskusi akademis yang digelar. Hal ini membuktikan adanya identifikasi yang khas terkait dengan fenomena-fenomena tersebut, bahkan tidak jarang kekhasan itu melahirkan teoretisasi dari berbagai pihak.

Pendidikan bersifat integratif dan komprehensif, artinya memiliki aspek atau materi yang beraneka ragam dan saling berkaitan antara materi dengan lainnya. Pendidikan tidak hanya mengarahkan pikirian saja, tetapi juga menyangkut sikap dan ketrampilan. Dengan kata lain, ukuran keberhasilan pendidikan tidak cukup dilihat dari keberhasilan melahirkan keterampilan kognitif, afektif, dan psikomotorik saja, melainkan ketiga ranah tersebut harus tercapai secara utuh dan sempura.

Pendidikan Islam yang moderat dapat mencegah peserta didik untuk berperilaku radikal baik dalam sikap maupun pemikiran, sehingga out-put dari lembaga pendidikan Islam dengan adanya pendidikan Islam berbasis moderasi ini dapat berimplikasi kepada pemahaman semua umat Islam untuk menerima segala bentuk perbedaan dalam keagamaan dan dapat menghargai keyakinan yang diyakini oleh orang lain.

  1. Rumusan Masalah

1.      Apa saja ayat Al-Qur'an dan Hadits yang menerangkan tentang moderasi pendidikan Islam dalam beragama?

2.      Bagaimana tafsir ayat Al-Qur'an dan Hadits yang menerangkan tentang moderasi pendidikan Islam dalam beragama?

3.      Apa pengertian moderasi Islam?

4.      Bagaimana prinsip moderasi Islam?

5.      Bagaimana konsep moderasi Islam?

6.      Apa macam-macam moderasi Islam?

7.      Bagaimana karakteristik moderasi Islam?

  1. Tujuan

1.      Untuk mengetahui ayat Al-Qur'an dan Hadits yang menerangkan tentang moderasi pendidikan Islam dalam beragama.

2.      Untuk mengetahui tafsir ayat Al-Qur'an dan Hadits yang menerangkan tentang moderasi pendidikan Islam dalam beragama.

3.      Untuk mengetahui pengertian moderasi Islam.

4.      Untuk mengetahui prinsip moderasi Islam.

5.      Untuk mengetahui konsep moderasi Islam.

6.      Untuk mengetahui macam-macam moderasi Islam.

7.      Untuk mengetahui karakteristik moderasi moderasi Islam.

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Ayat Al-Qur'an dan Hadits yang menerangkan tentang moderasi pendidikan Islam dalam beragama

1.      Ayat Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 143

 

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya: "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."

 

 

 

2.      Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari: 38

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda: Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit).
Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira, serta gunakanlah waktu al-Ghadwah (awal pagi) dan al-Rauhah (setelah zuhur) dan sebagian dari al-Duljah (malam hari).

  1. Tafsir ayat Al-Qur'an dan Hadits yang menerangkan tentang moderasi pendidikan Islam dalam beragama.

Umat Islam adalah ummatan wasathan, umat yang mendapat petunjuk dari Allah, sehingga mereka menjadi umat yang adil serta pilihan dan akan menjadi saksi atas keingkaran orang kafir. Umat Islam harus senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran serta membela yang hak dan melenyapkan yang batil. Mereka dalam segala persolan hidup berada di tengah orang-orang yang mementingkan kebendaan dalam kehidupannya dan orang-orang yang mementingkan ukhrawi saja. Dengan demikian, umat Islam menjadi saksi yang adil dan terpilih atas orang-orang yang bersandar pada kebendaan, yang melupakan hak-hak ketuhanan dan cenderung kepada memuaskan hawa nafsu.

Mereka juga menjadi saksi terhadap orang-orang yang berlebih-lebihan dalam soal agama sehingga melepaskan diri dari segala kenikmatan jasmani dengan menahan dirinya dari kehidupan yang wajar. Umat Islam menjadi saksi atas mereka semua, karena sifatnya yang adil dan terpilih serta dalam melaksanakan hidupnya sehari-hari selalu menempuh jalan tengah. Demikian pula Rasulullah SAW menjadi saksi bagi umatnya, bahwa umatnya itu sebaik-baik umat yang diciptakan untuk memberi petunjuk kepada manusia dengan amar makruf dan nahi munkar.[1]

C.    Pengertian Moderasi Islam

Moderasi Islam dalam bahasa arab disebut dengan al-Wasathiyyah al-Islamiyyah. Al-Qardawi menyebutkan berapa kosa kata yang serupa makna dengannya termasuk kata Tawazun, I’tidal, Ta’adul dan Istiqomah. Sementara dalam bahasa Inggris sebagai Islamic Moderation. Moderasi islam adalah sebuah pandangan atau sikap yang bersebrangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang. Dengan kata lain seorang Muslim moderat adalah Muslim yang memberi setiap nilai atau aspek yang berseberangan bagian tertentu tidak lebih dari porsi yang semestinya.

Adapun istilah moderasi menurut Khaled Abou el Fadl dalam The Great Theft adalah paham yang mengambil jalan tengah, yaitu paham yang tidak ekstrem kanan dan tidak pula ekstrem kiri.

K.H. Abdurrahman Wahid pun merumuskan bahwa moderasi harus  senantiasa mendorong upaya untuk mewujudkan keadilan sosial yang dalam agama dikenal dengan al-maslahah al-‘ammah. Bagaimanapun hal ini harus dijadikan sebagai fondasi kebijakan publik, karena dengan cara yang demikian itu kita betul-betul menerjemahkan esensi agama dalam ruang publik. Dan setiap pemimpin mempunyai tanggungjawab moral yang tinggi untuk menerjemahkannya dalam kehidupan nyata yang benar-benar dirasakan oleh publik. Islam selalu bersikap moderat dalam menyikapi setiap persoalan, bahkan prinsip moderasi ini menjadi karakteristik Islam dalam merespon segala persoalaan. Dalam konteks keseimbangan, Rasulullah pun melarang umatnya untuk tidak terlalu berlebihan meski dalam menjalankan agama sekalipun. Beliau lebih senang jika hal itu dilakukan secara wajar tanpa adanya pemaksaan diri dari yang berlebihan. Dalam realitas kehidupan nyata, manusia tidak dapat menghindarkan diri dari perkara-perkara yang berseberangan. Karena itu al-Wasathiyyah Islamiyyah mengapresiasi unsur rabbaniyyah (ketuhanan) dan Insaniyyah (kemanusiaan), mengkombinasi antara Maddiyyah (materialisme) dan ruhiyyah (spiritualisme), menggabungkan antara wahyu (revelation) dan akal (reason), antara maslahah ammah (al-jamāiyyah) dan maslahah individu (al-fardiyyah).[2]

Beberapa gambaran keseimbangan inilah yang biasa dikenal dengan istilah “moderasi”. Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa inggris, moderation, yang artinya adalah sikap sedang atau sikap tidak berlebihan.  Jika dikatakan orang itu bersikap moderat berarti ia wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrim. Sementara dalam bahasa arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan wasat atau wasatiyah; orangnya disebut wasit. Kata wasit sendiri sudah diserap ke dalam bahasa Indonesi yang memiliki tiga pengertian, yaitu

1.      Penengah, pengantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis, dan sebagainya)

2.      Pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih

3.      Pemimpin di pertandingan.

Yang jelas, menurut pakar bahasa arab, kata tersebut merupakan “segala yang baik sesuai objeknya”. Dalam sebuah ungkapan bahasa Arab disebutkan sebaik-baik segala sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah. Misalnya dermawan yaitu sikap di antara kikir dan boros, pemberani yaitu sikap di antara penakut dan nekat, dan lain-lain.[3]

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa moderasi/wasathiyah adalah sebuah kondisi terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan menuju dua sikap ekstrem; sikap berlebih-lebihan (ifrath) dan sikap muqashshir yang mengurang-ngurangi sesuatu yang dibatasi Allah swt. Sifat wasathiyah umat Islam adalah anugerah yang diberikan Allah swt secara khusus. Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah swt, maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan terpilih. Sifat ini telah menjadikan umat Islam sebagai umat moderat; moderat dalam segala urusan, baik urusan agama atau urusan sosial di dunia. Adapun makna ummatan wasathan pada surat al-Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil dan terpilih. Maksudnya, umat Islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah SWT telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi ummatan wasathan, umat yang sempurna dan adil yang menjadi saksi bagi seluruh manusia di hari kiamat nanti.[4]

Seorang yang adil akan berada di tengah dan menjaga keseimbangan dalam menghadapi dua keadaan. Bagian tengah dari kedua ujung sesuatu dalam bahasa Arab disebut wasath. Kata ini mengandung makna baik, sepeti dalam ungkapan “sebaik-baik urusan adalah awsathuha (pertengahan)”, karena yang berada di tengah akan terlindungi dari cela atau aib yang biasanya mengenai bagian ujung atau pinggir. Kebanyakan sifat-sifat baik adalah peretengahan antara dua sifat buruk, seperti sifat berani yang menengahi antara takuk dan sembrono, dermawan yang menengahi antara kikir dan boros, dan lain-lain.

Pandangan yang sama juga diungkapkan Aristoteles yang dikutip M. Quraish Shihab, sifat keutamaan adalah pertengahan diantara dua sifat tercela. Begitu melekatnya kata wasath dengan kebaikan sehingga pelaku kebaikan itu sendiri dinamai juga wasath dengan pengertian orang yang baik. Karena itu, ia selalu adil dalam memberi keputusan dan kesaksian. Dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 143, umat Islam disebut ummatan wasathan karena mereka adalah umat yang akan menjadi saksi atau akan disaksikan oleh seluruh umat manusia sehingga harus adil agar bisa diterima kesaksiannya. Atau harus baik dan berada ditengah karena mereka akan disaksikan oleh seluruh umat manusia. Tafsir kata wasath pada ayat tersebut dengan adil diriwayatkan oleh Abu Sa‟id al-Khudri dari Rasulullah SAW.

Pada tataran praksisnya, wujud moderat atau jalan tengah dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat wilayah pembahasan, yaitu:

1.         Moderat dalam persoalan aqidah

2.         Moderat dalam persoalan ibadah

3.         Moderat dalam persoalan perangai dan budi pekerti

4.         Moderat dalam persoalan tasyri’ (pembentukan syariat)[5]

  1. Prinsip-prinsip Moderasi dalam Al-Qur’an

Dalam pandangan Islam, moderasi tidak dapat tergambar wujudnya kecuali setelah terhimpun dalam satu kesatuan unsur pokok, yaitu: kejujuran, keterbukaan, kasih sayang dan keluwesan.

Islam sesungguhnya memiliki prinsip-prinsip moderasi yang sangat mumpuni, antara lain keadilan, keseimbangan, dan toleransi yang merupakan bagian dari paham ahlus sunnah waljama’ah yang dirumuskan oleh Imam al-Hasan Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi di bidang akidah, dan mengikuti salah satu empat mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) pada bidang sayari’ah dan dalam bidang taSAWuf mengikuti al-Ghazali dan al-Junaidi al-Baghdadi.

Adapun salah satu karakter ahlus sunnah waljama’ah adalah selalu dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu ahlus sunnah waljama’ah tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan tidak ekstrim. Sebaliknya ahlus sunnah waljama’ah bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemaparan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip as-salih wal-aslah, karena hal tersebut merupakan implementasi dari kaidah al-muhafazah ‘alal-qadim as-salih wal-akhzu bi-jadid al-aslah, termasuk upaya menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang.[6]

1.      Kasih sayang

Allah swt juga berfirman tentang kasih saying yaitu dalam Q.S at-Taubah/9: 128. Yang berarti “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman”

Kata رءوف ra‟uf berkisar maknanya pada kelemahlembutan dan kasih sayang. Kata ini menurut pakar bahasa az-Zajjaj, sama dengan rahmat. Namun, menurutnya, apabila rahmat sedemikian besar, ia dinamai رآ فة ra‟fah, dan pelakunya Ra‟uf. Al-Baqi‟ menjelaskan bahwa ra‟fah adalah rahmat yang dianugerahkan kepada yang menghubungkan diri dengan Allah melalui amal saleh. Karena itu, tulisannya mengutip pendapat al-Harali, ra‟fah adalah kasih sayang Pengasih kepada siapa yang memiliki hubungan dengannya. Terjalinnya hubungan terhadap yang dikasihi itu dalam penggunaan kata ra‟fah membedakan kata ini dengan rahmah karena rahmat digunakan untuk menggambarkan tercurahnya kasih, baik terhadap siapa yang memiliki hubungan dengan pengasih maupun yang tidak memiliki hubungan dengannya. Di sisi lain, ra‟fah menggambarkan, sekaligus menekankan, melimpah ruahnya anugerah karena yang ditekankan para sifat Ra‟uf adalah pelaku yang amat kasih sehingga melimpah ruah kasihnya, sedang yang ditekankan pada rahim adalah penerima dari sisi besarnya kebutuhannya. Karena itu, ra‟fah selalu melimpah ruah bahkan melebihi kebutuhan, sedang rahmat sesuai kebutuhan.[7]

2.      Keadilan (‘Adalah)

Kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan:

a.       tidak berat sebelah/tidak memihak,

b.      berpihak kepada kebenaran, dan

c.       sepatutnya/tidak sewenang-wenang.

“Persamaan” yang merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar ataupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang.” Makna al-‘adl dalam beberapa tafsir, antan lain: Menurut At-Tabari, al-‘adl adalah: Sesungguhnya Allah memerintahkan tentang hal ini dan telah diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan adil, yaitu al-insaf.

Allah SWT menerangkan bahwa Dia menyuruh hamba-hamba Nya berlaku adil, yaitu bersifat tengah-tengah dan seimbang dalam semua aspek kehidupan serta melaksanakan perintah Alquran dan berbuat ihsan (keutamaan). Adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di antara hak dan kewajiban. Hak asasi tidak boleh dikurangi disebabkan adanya kewajiban.

Islam mengedepankan keadilan bagi semua pihak. Banyak ayat Al-Qu’an yang menunjukkan ajaran luhur ini. Tanpa mengusung keadilan, nilai-nilai agama berasa kering tiada makna, karena keadilan inilah ajaran agama yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Tanpanya, kemakmuran dan kesejahteraan hanya akan menjadi angan.[8]

3.      Keterbukaan

Al-Qur’an juga menegaskan perihal keterbukaan dalam berfikir;

“Hai manuisa, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S al-Hujurat/49: 13)

Ayat 13 menjelaskan tiga hal: persamaan, saling mengenal antar komunitas masyarakat, dan tolak ukur kemuliaan seseorang berdasarkan ketakwaan dan amal saleh. Manusia sama seperti gigi sisir dalam asal-usul mereka. Sebab mereka berasal dari bapak dan ibu yang satu. Juga dalam hak dan kewajiban hukum. Allah swt menerangkan bahwa Dia menciptakan makhluk dari sepasang laki-laki dan perempuan, seandainya Dia berkehendak, Dia kuasa menciptakan mereka tanpa dari sepasang laki-laki dan perempuan.

Adapun mengenai masalah saling mengenal, Allah swt menciptakan makhluk bernasab dan bermushaaharah, bersukusuku, dan berbangsa-bangsa, dengan tujuan supaya saling mengenali, menjalin hubungan dan bekerja sama. Adapun ketakwaan itu adalah tolak ukur keutamaan yang membedakan di antara manusia. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling luhur kedudukannya di sisi-Nya baik dunia maupun di akhirat, yaitu orang yang paling bertakwa dan saleh baik bagi diri sendiri maupun masyarakat umum.[9]

4.      Toleransi (Tasamuh)

Toleransi harus dideskripsikan secara tepat, sebab toleransi beragama yang diamal secara awur justru malah akan merusak agama itu sendiri. Islam sebagai ajaran yang total, tentu telah mengatur dengan sempurna batas-batas antara Muslim dan nonMuslim, sebagaimana Islam mengatur batas antara laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Seorang yang mengerti bahwa agama bukanlah semata ajaran tetapi juga aturan itu (jika ia pemeluk agama tersebut), atau menghormati aturan itu (jika ia bukan pemeluk agama tersebut).

Dalam kebahasan, tentunya bahasa Arab bahwa tasamuh adalah yang paling umum digunakan dewasa ini untuk arti toleran. Tasamuh berakar dari kata samhan yang memiliki arti mudah. kemudahan atau memudahkan, Mu’jam Maqayis Al-Lughat menyebut bahwa kata tasamuh secara harfiah berasal dari kata samhan yang memiliki arti kemudahan dan memudahkan. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai kata toleran sebagai berikut: bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan kebiasaan, kelakuan, dsb.) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Jadi toleransi secara bahasa adalah sikap menghargai pendirian orang lain. Dan menghargai bukan berarti membenarkan apalagi mengikuti. Adapun toleransi dalam terminologi syariat, setidaknya itu pernah disabdakan nabi sebagai berikut:

احب الدين الى الله الحنفية السمحة

Artinya: “Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang suci lagi mudah”

Mudah di sini bukan berarti bebas. Sebab kita sadar bahwa agama adalah sebuah aturan. Itu, artinya, toleransi beragama menurut Islam adalah menghormati atau menolelir dengan tanpa melewati batas aturan agama itu sendiri.

Toleransi bukan hanya sikap tunduk secara daif tanpa prinsip yang meniangi. Seorang Muslim haruslah kuat dalam imannya dan mulia dengan syariatnya. Dalam Islam, toleransi tidak dibenarkan jika diterapkan pada ranah teologis. Peribadatan harus dilakukan dengan tata ritual dan di tempat ibadah masing-masing. Agama adalah keyakinan, sehingga beribadah dengan cara agama lain akan merusak esensi keyakinan tersebut.

Tolerasi hanya bisa diterapakan pada ranah sosialis, upaya-upaya membangun toleransi melalui aspek teologis, seperti doa dan ibadah bersama, adalah gagasan yang sudah muncul sejak era jahiliah dan sejak itu pula telah ditolak oleh Alquran melalui surat Al-Kafirun.

Tegas, surat Al-kafirun ini menolak sinkretisme. Sebagai agama yang suci akidah dan syariah. Islam tidak akan mengotorinya dengan mencampur dengan akidah dan syariah lain. Dan ini bukan bentuk intoleransi, sebab ranah toleransi adalah menghargai bukan membenarkan dan mengikuti. Justru sinkretisme adalah bagian dari sikap intoleransi pemeluk agama pada agamanya sendiri. Sebab pelaku sinkretisme, seolah tidak lagi meyakini kebenaran agamanya sendiri. Sedangkan agama adalah keyakinan.[10]

  1. Konsep Moderasi Pendidikan Islam

Wasathiyah adalah sebuah kondisi terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan menuju dua sikap ekstrem; sikap berlebih-lebihan (ifrath) dan sikap muqashshir yang mengurangngurangi sesuatu yang dibatasi Allah swt. Sifat wasathiyah umat Islam adalah anugerah yang diberikan Allah swt secara khusus. Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah swt, maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan terpilih. Sifat ini telah menjadikan umat Islam sebagai umat moderat; moderat dalam segala urusan, baik urusan agama atau urusan sosial didunia. Wasathiyah (pemahaman moderat) adalah salah satu karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Pemahaman moderat menyeru kepada dakwah Islam yang toleran, menentang segala bentuk pemikiran yang liberal dan radikal.[11]

Menurut Afrizal Nur dan Mukhlis, pemahaman dan praktik amaliah keagamaan seorang muslim moderat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1.         Tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama)

2.         Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan,) dan ikhtilaf (perbedaan)

3.          I‟tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional

4.         Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya

5.         Musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang

6.         Syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya

7.         Ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah „ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah „ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan, dan menerapkan hal-hal baru yang lebihrelevan)

8.         Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah;

9.         Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan hal baru untuk kemaslahatan dan kemajuan umat manusia;

10.     Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlak mulia, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.

Lembaga pendidikan Islam secara ideologis dapat menginstalkan konsep baik dan konsep nilai yang ada dalam paham Islam moderat ke dalam tujuan pendidikannya, sehingga menghasilkan pendidikan Islam moderat. Menurut Abudin Nata, pendidikan moderasi Islam atau disebutnya sebagai pendidikan Islam rahmah li al-alamin, memiliki sepuluh nilai dasar yang menjadi indikatornya, yaitu:

1.         Pendidikan damai, yang menghormati hak asasi manusia dan persahabatan antara bangsa, ras, atau kelompok agama;

2.         Pendidikan yang mengembangkan kewirausahaan dan kemitraan dengan dunia industri;

3.         Pendidikan yang memperhatikan isi profetik Islam, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi untuk perubahan sosial;

4.         Pendidikan yang memuat ajaran toleransi beragama dan pluralisme;

5.         Pendidikan yang mengajarkan paham Islam yang menjadi mainstream Islam Indonesia yang moderat;

6.         Pendidikan yang menyeimbangkan antara wawasan intelektual (head), wawasan spiritual dan akhlak mulai (heart) dan keterampilan okasional (hand);

7.         Pendidikan yang menghasilkan ulama yang intelek dan intelek yang ulama;

8.         Pendidikan yang menjadi solusi bagi problem-problem pendidikan saat ini seperti masalah dualisme dan metodologi pembelajaran;

9.         Pendidikan yang menekankan mutu pendidikan secara komprehensif; dan

10.     Pendidikan yang mampu meningkatkan penguasaan atas bahasa asing.[12]

  1. Macam-macam Moderasi Islam

1.      Moderasi dalam Akidah

Akidah merupakan sistem keimanan hamba secara total terhadap wujud sang pencipta berikut perangkat ajaran yang diturunkannya. Hal ini merupakan sebuah dimensi esoterik (Akidah) yang memuat aturan paling dasar menyangkut sistem keimanan dan kepercayaan seseorang terhadap entitas Allah SWT sebagai pencipta alam semesta. Lebih dari itu, pemaknaan iman secara benar dan tulus dalam Islam dimaksudkan untuk dapat menstimulasi sisi spiritualisme keagamaan paling asasi dalam wujud penghambaan dan pengabdian secara total kepada Allah SWT.

Untuk itu harus kita ketahui bahwa Akidah berasal dari akar kata bahasa arab I’tiqad yang berarti keyakinan atau kepercayaan. Akidah, dengan begitu, mengandung perangkat keimanan dan keyakinan akan adanya Sang Pencipta jagad raya dengan kekuasaan mutlak yang dimilikinya. Akidah pun dapat didiversifikasikan dalam empat istilah yaitu Akidah ketuhanan, Akidah Kenabian, Akidah Kerohanian, dan Akidah Kegaiban.[13]

Akidah yang dimaksud di sini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mahmud Syaltut, adalah sesuatu yang menuntut keimanan yang disertai keraguan dan kesamaran, yang pertama kali didakwakan oleh Rasulullah, dan merupakan materi dakwah setiap rasul. Kemoderasian akidah Islam merupakan sebuah realita yang diakui oleh banyak pihak. [14]

Akidah Islam memiliki ajaran-ajaran yang moderat. Ciri-ciri yang tampak adalah bahwa akidah Islam serasi dengan fitrah dan akal, mudah dan terang, tidak ada unsur kerancuan dan paradoksal, abadi, dan tidak betentangan dengan ilmu pengetahuan. Moderasi ajaran-ajarannya terlihat dalam pemaparan tentang pokok-pokok keimanan seperti ketuhanan, kenabian, malaikat, dan kitab suci. Pemaparannya berada di tengah-tengah anatara dua kutub ekstrim akidah Yahudi dan akidah Nasrani. Ini membuktikan dengan jelas bahwa akidah Islam adalah ajaran yang benar-benar bersumber dari Allah SWT.[15]

2.      Moderasi dalam Syari’ah

Kata syariat mengandung pemaknaan beragam baik dari segi etimologi maupun terminologi. Makna etimologi syariat adalah tempat mengalirnya air atau sebuah jalan setapak menuju sumber air. Sedangkan menurut terminologinya secara luas, syariat bisa diidentikkan dengan ad-din (Islam) itu sendiri. Syariat adalah panduan hukum, baik menyangkut hubungan hamba dengan Tuhan maupun hubungan manusia dalam berinteraksi sosial sehari-hari.[16]

Syariah terbagi menjadi dua macam: Syariah dalam makna luas, mencakup aspek akidah, akhlak, dan amaliah, yaitu mencakup keseluruhan norma agama Islam, yang meliputi seluruh askpek doctrinal dan aspek praktis. Adapun syariah dalam makna sempit merujuk kepada aspek praktis (amaliah) dari ajaran Islam, yang terdiri dari norma-norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia seperti ibadah, nikah, jual beli, berperkara di pengadilan, dan lain-lain. Adapun untuk pembinaan syariah yang merupakan moderasi Islam yaitu sebagai berikut:

a.       Tidak menyulitkan

Syariat Islam ditetapkan untuk memberi kemudahan kepada pemeluknya dan tidak mempersulit dalam pelaksanaannya, selama tidak mendatangkan mudarat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Hajj ayat 78:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ

Artinya: “dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama”…

Ayat tersebut menerangkan tentang apa yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah agama yang sempit dan sulit. Tetapi agama yang lapang dan tidak menimbulkan kesulitan kepada yang melakukannya. [17]

b.      Menyedikitkan beban

Menyedikitkan beban itu merupakan sesuatu hal yang logis bagi tidak adanya kesulitan, karena didalamnya banyaknya beban berakibat menyempitkan. Orang yang menyibukkan diri terhadap Alquran untuk meneliti perintah-perintah dan larangan-larangan yang ada di dalamnya, pasti dapat menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit, memungkinkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas dan muda mengamalkannya, tidak banyak perincian perinciannya, sehingga hal itu dapat menimbulkan kesulitan terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan Alquran.

Sebagaimana kita ketahui bahwa keimanan manusia bisa bertambah dan bisa berkurang sewaktu-sewaktu. Selain itu, keimanan juga bermacam-macam kualitasnya dilihat dari sisi pengaruhnya terhadap kehidupan dalam keseharian. Meningkatnya keimanan dan meningkatkan kualitasnya terus-menerus merupakan salah satu rahasia keistiqamahan dalam ketaatan. Hanya dengan keyakinan atau keimananlah, manusia bisa memahami eksistensi Allah SWT dan kekuasaan-Nya.[18]

 

3.      Moderasi dalam akhlak

Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, tidak semua teman kita berasal dari agama yang sama. Adakalanya ia berasal dari agama lain. Dalam hal ini, Islam menggariskan akhlak bergaul dengan teman non Muslim. Agama memang tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Tiap-tiap orang mempunyai hak untuk memilih agama sesuai dengan keyakinannya. Allah swt berfirman dalam QS. Al-Kafirun (109): 6

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Artinya: “untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”[19]

Akhlak di sini tidak hanya berlaku kepada teman yang berlainan agama, tetapi juga kepada teman yang berlainan kelompok, aliran, ataupun golongan tertentu. Dalam konteks ini, kita tetap dianjurkan bersikap toleran kepada mereka.

Ada enam hal yang merupakn pokok yang harus dijalankan setiap Muslim dalam kehidupan sehari-hari ketika berinteraksi dengan Muslim lainnya. Tujuan digariskannya interaksi antarMuslim ini tiada lain supaya hubungan mereka semakin terjalin dengan baik. Dengan begitu, kasih sayang, kedekatan, dan keakraban di antara mereka, akan saling terpancar. Seperti halnya sebagai berikut:

a)      Menjenguk orang sakit

b)      Mengucapkan salam dan membalasnya ketika mendapat ucapan salam

c)      Mengantar jenazah

d)     Memenuhi undangan

e)      Mendoakan kerika bersin, dan

f)       Memberikan nasihat ketika diminta

Jika tiap-tiap butir akhlak tersebut dipenuhi, maka itu sudah merupakan wujud penunaian terhadap hak-hak Muslim lainnya. Apabila tidak menghormati hak-hak Muslim lainnya, berarti tidak mempunyai kepedulian terhadap urusan mereka. Ia kehilangan sensitivitas terhadap mereka dan akhirnya menjadi acuh terhadap persoalan mereka.[20]

Adapula akhlak terhadap non-Muslim, seorang filusuf Yunani yakni Aristoteles pun pernah mengeluarkan statmen bahwa, manusia adalah makhluk yang bermasyarakat, manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Interaksi dengan manusia lain merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dibantah. Sebab, tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang tidak memerlukan uluran tangan orang lain.

Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk, berinteraksi dengan berbagai kalangan merupakan suatu keniscayaan. Berinteraksi dengan mereka adalah wujud pengamalan terhadap silah persatuan rakyat Indonesia.

Ditinjau dari segi agama, kaum Muslimin menempati posisi mayoritas di Indonesia. Meskipun demikian, mereka tidak dapat lepas dari kebutuhan berinteraksi dengan pemeluk agama lain yang diakui di Indonesia.

Sebagai seorang Muslim, kita mesti memahami posisi kita dan posisi penganut agama di luar kita. Sah-sah saja kita meyakini bahwa agama Islam adalah agama paling benar di sisi Allah

Kita juga mencermati ketentuan Allah tentang adanya pemeluk agama lain. Kita juga harus yakin bahwa Allah sengaja menciptakan manusia dalam beragam agama. Artinya, keberadaan pemeluk agama lain merupakan kehendak dan hukum-Nya yang tidak dapat di ganggu gugat. Kalau saja Allah berkahandak, niscaya Dia menjadikan umat manusia ini tergabung dalam satu agama. Tetapi bukan itu yang dikehendakinya. Dia berkehendak menciptakan manusia terbagi ke dalam banyak agama.

Kita dapat memahami bahwa ternyata keragaman agama yang di kehendaki Allah mengandung banyak hikmah. Salah satunya adalah Allah hendak menguji siapa di antara kita yang paling baik amal perbuatannya. Karena itu, Allah memerintahkan kepada kita supaya berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebab, hanya dia yang maha mengetahui kebenaran mutlak.

Bertolak pada ketentuan di atas, sangat jelas bagi kita bahwa plural isme agama adalah hukum Allah yang terjabar di jagad raya ini, ragam agama yang membentang dari belahan dunia timur sampai barat merupakan wujud

pengejawantahan hukumnya. Tujuan dari pluralism sendiri adalah agar manusia saling mengenal satu sama lain. Dengan keanekaragaman ini, Allah tidak menginginkan manusia terlibat dalam ketegangan dan konflik. Hubungan yang harmonislah yang hendak dituju oleh agama, sebagaimana tersurat dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS. AL-Hujurat: 13)[21]

Karenanya, misi Rasulullah SAW di dunia ini tidak tertuju pada kelompok tertentu, tetapi kepada seluruh umat manusia, sebagai pengemban risalah semesta, beliau memiliki sifat penyayang kepada siapa saja termasuk kepada kaum non-Muslim. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Q.S. Al-Anbiya : 107)

Namun perlu dicatat bahwa akhlak terhadap non-Muslim ini hanya berlaku kepada kalangan non-Muslim dzimmi. Dalam bahasa fikih disebut kafir dzimmi. Kafir jenis seperti ini adalah kafir yang memiliki semangat untuk hidup berdampingan dengan kaum Muslimin.[22]

4.      Moderasi dalam bidang politik (Peran Kepala Negara)

Amat naif bila ada Negara tanpa pemimpin atau kepala Negara. Maka dalam Islam, kepala Negara atau kepala pemerintahan itu wajib adanya dan memiliki sikap kuat dan amanah. Para penguasa di Negara kita harus menyadari bahwa mereka hidup di tanah air Islam dan memerintah orang-orang yang mayoritas Islam. Adalah hak setiap bangsa untuk meliliki pemerintahanya yang menyeluruh. Hak mereka pula, memiliki undang-undang dasar serta peraturan-peraturan yang menggambarkan tentang kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, serta adat-istiadat.

Adapun mereka yang mengaku sebagai orang Islam, tetapi menolak hukum Islam, maka perbuatan mereka ini tidak dapat diterima oleh akal ataupun diridhai oleh suatu agama. Sebagian ada yang menolak agama secara terang-terangan dan berseru agar orang mengikuti saja Timur dan Barat. Dia tidak ingin Islam memiliki ruangan apa pun untuk mengungkapkan tentang dirinya sendiri walaupun itu hanya berupa sudut kecil.

Diantara para penguasa itu ada pula yang mendakwakan sendirinya sebagai Muslim, namun Islamnya adalah dari hasil kerja akal sendiri, ilham hawa nafsunya, serta tipu daya setannya. Dia mau mengambil dari Islam hanya sesuatu yang disukainya, dan menolak segala yang tidak disenanginya.

Diantara mereka ada pula yang mengimpor ideologi dan undang-undang asing, tetapi ia masih juga mau membiarkan sedikit ruang untuk Islam. Bagaimanapun sudah tiba saatnya kini, bagi para penguasa kita untuk menyadari bahwa tidak ada kebebasan hakiki bagi rakyat dan tidak tidak ada kestabilan dalam masyarakat mereka, selain peraturan yang berasaskan Islam yang sudah pasti menyeluruh dalam pengambilan hukum. Selama penguasa tidak memberlakukan asas Islam dalam perundang-undangan Negara, dalam hal ini dapat melahirkan masyarakat yang berlebih-lebihan dan melampaui batas, baik dalam kaitan agama maupun bukan.[23]

G.    Karakteristik Moderasi Islam

Islam adalah agama yang moderat dalam pengertian tidak mengajarkan sikap ekstrim dalam berbagai aspeknya. Posisi pertengahan menjadikan anggota masyarakat tersebut tidak memihak ke kiri dan ke kanan, hal mana mengantar manusia berlaku adil. Posisi itu juga menjadikan dapat menyaksikan siapa pun dan di mana pun. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain.

Moderasi mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.

1.      Memahami Realita

Ungkapan bijak menyatakan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang tetap atau tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian halnya dengan manusia adalah makhluk yang dianugerahi Allah potensi untuk terus berkembang. Konsekuensi dari pemberian potensi tersebut adalah bahwa manusia akan terus mengalami perubahan dan perkembangan.

Sejak periode awal perkembangan Islam, sejarah telah mencatat bahwa banyak fatwa yang berbeda karena disebabkan oleh realitas kehidupan masyarakat yang juga berbeda.

Di era modern banyak dijumpai karena realitas kehidupan masyarakat yang berbeda, maka melahirkan fatwa yang juga berbeda. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di beberapa lemabaga fatwa terkemuka di Negara- negara minoritas Muslim untuk mengambil pandangan yang berbeda dengan apa yang selama ini dipahami dari kitab-kitab fikih.

Dalam konteks ke-Indonesia-an yang perlu juga digarisbawahi adalah meskipun mayoritas penduduknya Muslim namun dalam pandangan politiknya beraneka ragam. Realitas lain yang harus dipahami bagi siapa pun agar terhindar dari sikap ekstrim adalah bahwa manusia adalah makhluk yang beraneka ragam jenisnya. Ini adalah sebuah fakta yang tidak dapat dielakkan dan merupakan ketentuan Allah.

2.      Memahami Fikih Prioritas

Ciri lain dari ajaran Islam yang moderat adalah pentingnya menetapkan prioritas dalam beramal. Dengan mengetahui tingkatan prioritas amal maka seorang Muslim akan dapat memilih mana amal yang paling penting di antara yang penting, yang lebih utama di antara yang biasa dan mana yang wajib di antara yang sunnah.

Alquran secara tegas menyatakan bahwa prioritas dalam melakukan amalan agama haruslah diketahui dan diamalkan bagi setiap Muslim. Sebagai contoh dalam hal ini antara lain adanya khilafah dalam amalan-amalan ajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan masalah fikih. Seringkali seseorang bersikap ekstrim dalam berpegang kepada salah satu madzhab fikih untuk amalan yang hukumnya sunnah, dan menyalahkan pihak lain yang berbeda, sehingga memunculkan pertentangan dan permusuhan. Kalau orang tersebut memahami fikih prioritas dengan baik, maka hal itu tidak terjadi. Karena menjaga persaudaraan dengan sesama Muslim adalah wajib hukumnya, sedangkan amalan yang dipersilihkan hukumnya sunnah. Sikap moderat ajaran Islam tidak akan muncul apabila seseorang tidak memahami fikih prioritas.

3.      Menghindari Fanatisme Berlebihan

Untuk menghindari fanatisme yang berlebihan maka kerukunan hidup antar pemeluk agama yang berbeda dalam masyarakat yang plural harus diperjuangkan dengan catatan tidak mengorbankan akidah. Maka jelaslah bahwa fanatik adalah sesuatu yang buruk. Alquran hadir salah satu misinya adalah untuk menghilangkan sikap fanatik tersebut.

4.      Keterbukaan dalam Menyikapi Perbedaan

Ciri lain ajaran Islam yang moderat adalah sangat terbuka dalam menyikapi perbedaan baik dalam intern umat beragama maupun antar umat beragama yang berbeda. Prinsip ini didasari pada realitas bahwa perbedaan pandangan dalam kehidupan manusia adalah suatu keniscayaan.

Dalam realitasnya seringkali perbedaan yang terjadi di antara manusia dapat menimbulkan permusuhan dan ini pada gilirannya akan menimbulkan kelemahan serta ketegangan antar mereka. Di sisi lain manusia dianugerahi Allah kemampuan untuk dapat mengola aneka perbedaan tersebut menjadi kekuatan manakala dapat disinergikan. Untuk dapat bersinergi maka diperlukan sikap terbuka, disinilah peran ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk terus melakukan upaya-upaya perbaikan guna menjadikan perbedaan tersebut bukan sebagai titik awal perpecahan melainkan menjadi berkah untuk mendinamisir kehidupan manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk sosial.

5.      Komitmen Terhadap Kebenaran dan Keadilan

Perintah menegakkan keadilan dan larangan mengikuti hawa nafsu (semata), pada hakikatnya adalah upaya pemeliharaan martabat kemanusiaan sehingga tidak terjatu ke tingkat nabati atau hewani. Pengkhususan larangan tersebut kepada seorang pemimpin masyarakat dapat dipahami jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Seorang pemimpin masyarakat yang hanya mengikuti dorongan hawa nafsunya tidak saja merugikan dirinya (menjatuhkan martabatnya), tetapi juga dengan kepandaian dan kekuasaan yang dimilikinya akan menjadikan anggota masyarakat yang dipimpinnya sebagai korban hawa nafsunya.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Moderasi Islam adalah sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang.

Islam sesungguhnya memiliki prinsip-prinsip moderasi yang sangat mumpuni, antara lain keadilan, keseimbangan, dan toleransi yang merupakan bagian dari paham ahlus sunnah waljama’ah yang dirumuskan oleh Imam al-Hasan Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi di bidang akidah, dan mengikuti salah satu empat mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) pada bidang sayari’ah dan dalam bidang tasawuf mengikuti al-Ghazali dan al-Junaidi al-Baghdadi.

Ada beberapa macam dari moderasi yaitu terdiri dari empat macam yaitu, moderasi dalam akidah, moderasi dalam syari'ah, moderasi dalam akhlak, dan moderasi dalam bidang politik.

Konsep dari moderasi ada beberapa yaitu Tawassuth (mengambil jalan tengah), Tawazun (berkeseimbangan), I‟tidal (lurus dan tegas), Tasamuh (toleransi), Musawah (egaliter), Syura (musyawarah), Ishlah (reformasi), Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), Tahadhdhur (berkeadaban).

Karakteristik atau ciri-ciri moderasi Islam yaitu memahami realita, memahami fikih prioritas, menghindari fanatisme berlebihan, keterbukaan dalam menyikapi perbedaan, dan komitmen terhadap kebenaran dan keadilan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentasbihan Mushaf Al-Qur’an, 1990.

Departemen Agama RI. Al-Qur'an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.

Departemen Agama RI. Moderasi Islam. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012.

Maarif Nurul H. Islam Mengasihi Bukan Membenci. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2017.

Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keutamaan, dan Kebangsaan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.

Muhtadi. Wahbah az-Zuhaili At-Tafsir Al-Wasith. Jakarta: Gema Insani, 2012.

Nasrullah, Irja. Ketika Minoritas Jadi Pilihan. Solo: Tinta Medina, 2017.

Nata, Abudin. “Islam Rahmatan li al-„Alamin sebagai Model Pendidikan Islam Memasuki Asean Community”. (Kuliah Tamu Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulan  Malik Ibrahim Malang, Malang, 7 Maret 2016).

Nur, Afrizal dan Mukhlis. “Konsep Wasathiyah Dal Al-Quran: (Studi Komparatif Antara Tafsir At-Tanwir dan Aisar At-Tafsir)”. Jurnal An-Nur, Vol. 4 No. 2 Tahun 2015.

Qardawi, Yusuf. Islam Jalan Tengah. Bandung: Mirzan, 2017.

Salamulloh, M. Alaika. Akhlak Hubungan Horizontal. Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Volume 5. Ciputat: LenteraHati,  2010.

Yahya, Ahmad Syarif.  Ngaji Toleransi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017.

Yazid, Abu. Membangun Islam Tengah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010.

Yazid, Abu. Islam Moderat. Jakarta: Erlangga, 2014.

 



[1] Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), 224.

[2] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keutamaan, dan Kebangsaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), 13-14.

[3] Derpartemen Agama RI, Moderasi Islam, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), 15.

[4] Afrizal Nur dan Mukhlis, “Konsep Wasathiyah Dal Al-Quran: (Studi Komparatif Antara Tafsir At-Tanwir dan Aisar At-Tafsir)”, Jurnal An-Nur, Vol. 4 No. 2 Tahun 2015, 208.

[5] Abu Yazid, Membangun Islam Tengah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010), 37-38.

[6] Departemen Agama RI, Moderasi Islam, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012),  20-21.

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 5, (Ciputat: LenteraHati,  2010),  302-303.

[8] Nurul H. Maarif, Islam Mengasihi Bukan Membenci, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2017),  143.

[9] Muhtadi, Wahbah az-Zuhaili At-Tafsir Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012), 493-494.

[10] Ahmad Syarif Yahya,  Ngaji Toleransi,  (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017), 1-5.

[11] Afrizal dan Mukhlis, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Qur’an: (Studi Komparatif Antara Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar At-Tafsir)”, Jurnal An-Nur, Vol. 4, No. 2 Tahun 2015, 209.

[12] Abudin Nata, “Islam Rahmatan li al-„Alamin sebagai Model Pendidikan Islam Memasuki Asean Community”, (Kuliah Tamu Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulan  Malik Ibrahim Malang, Malang, 7 Maret 2016), 10–14.

[13] Abu Yazid, Islam Moderat, (Jakarta: Erlangga 2014), 8-9.

[14] Departemen Agama RI, Moderasi Islam, (Jakarta: Lajnah Pentasbihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), 82.

[15] Departemen Agama RI, Moderasi Islam, (Jakarta: Lajnah Pentasbihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), 99.

[16] Abu Yazid, Moderat Islam, (Jakarta: Erlangga, 2014), 19.

[17] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Lajnah Pentasbihan Mushaf Al-Qur’an, 1990), 523.

[18] Irja Nasrullah, Ketika Minoritas Jadi Pilihan, (Solo: Tinta Medina, 2017), 259.

[19] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Lajnah Pentasbihan Mushaf Al-Qur’an, 1990), 1112.

 

[20] M. Alaika Salamulloh, Akhlak Hubungan Horizontal, (Yogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 104-106.

[21] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Lajnah Pentasbihan Mushaf Al-Qur’an, 1990), 847.

[22] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Lajnah Pentasbihan Mushaf Al-Qur’an, 1990), 133-137.

[23] Yusuf Qardawi, Islam Jalan Tengah, (Bandung: Mirzan, 2017), 138.