AYAT DAN HADIS TENTANG KEJADIAN MANUSIA, PEROLEHAN PENDIDIKAN DAN
PEROLEHAN KESUKSESAN
Oleh:
Azzahra Dinda Aulia W
Ahmad Nurhadi
Khotimatus Sa’adah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al
Qur’an merupakan firman Allah SWT yang bernahasa Arab, diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW untuk dipahami isinya, disampaikan kepada kita dengan cara
mutawatir, ditulis dalam mushaf yang dimulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri
dengan surat An Nas. Di dalam Al Qur’an
termuat aturan-aturan kehidupan manusia di dunia dan Al Qur’an adalah petunjuk
bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Al Qur’an ialah sebuah petunjuk
yang bisa mengeluarkan manusia dari keadaan gelap menuju jalan yang terang
benerang. Al Qur’an juga mempunyai fungsi sebagai pedoman bagi setiap manusia
untuk mencapai kebahagiaannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Sedangkan hadis merupakan segala perkataan, perbuatan
dan ketetapan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Hadis itu juga dinamakan sunnah.
Kedudukan Hadis berada di satu tingkat dibawah al
– Qur’an, jadi maksudnya adalah pada suatu perkara hukumnya tidak ada di dalam
al-qur’an maka yang harus dijadikan sandaran adalah Hadis tersebut. Dari pemaparan di atas, pemakalah akan
menuliskan mengenai ayat dan
hadis tentang kejadian manusia, perolehan pendidikan dan perolehan kesuksesan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perspektif Al-Qur’an dan Hadis
mengenai kejadian manusia?
2. Bagaimana perspektif Al-Qur’an dan Hadis
mengenai perolehan pendidikan?
3. Bagaimana perspektif Al-Qur’an dan Hadis
mengenai perolehan kesuksesan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perspektif Al-Qur’an
dan Hadis mengenai kejadian manusia.
2. Untuk mengetahui perspektif Al-Qur’an
dan Hadis mengenai perolehan pendidikan.
3. Untuk mengetahui perspektif Al-Qur’an
dan Hadis mengenai perolehan kesuksesan.
PEMBAHASAN
A. Ayat dan Hadis Tentang Kejadian Manusia
QS.
Al-Mu’minun 12-14
وَلَقَدْ خَلَقْنَا
الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ(١٢) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ
مَكِينٍ(١٣)ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ
مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَاالْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ
أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (١٤)
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (12) Kemudian Kami jadikan saripati
itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (13) Kemudian air
mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu
tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling
baik. (14) . (al-Mu’minun:
12-14)
KOSA KATA:
Arti |
Kata |
Dan sesungguhnya |
وَلَقَدْ |
Kami telah menciptakan |
خَلَقْنَا |
Manusia |
الانسان |
Saripati |
سُلالَةٍ |
Air mani |
نُطْفَةً |
Segumpal darah |
عَلَقَة |
Segumpal daging |
مُضْغَةً |
Membungkus |
كسونا |
Menjadikan sesuatu |
انشأ |
Tulang / tulang belulang |
عِظَامًا / الْعِظَامَ |
Makhluk |
خَلْقًا |
Maha suci Allah |
تبارك
الله |
Pencipta yang terbaik |
احسن
الخالقين |
Penciptaan manusia untuk
selanjutnya setelah Nabi Adam adalah dengan sperma yang terpancar dari tulang
sulbi laki-laki kemudaian melekat dalam rahim perempuan kemudian berubah
menjadai darah menjadai segumpal daging yang belum ada bentuk dan rupa.Kemudian
menjadi potongan tulang yang keras supaya untuk penyangga badan.Tulang tersebut
kemudian dibungkus dengan daging seolah daging tersebut menjadi pakaiannya.
Kemudian ditiupkkan ruh dan berbentuk makhluk yang lain dengan sebaik-baik
ciptaan.[1]
Makhluk tersebut diciptakan seperti penciptaan bentuk manusia pertama yaitu
Nabi Adam, yang dulunya adalah benda mati kemudian menjadi manusia, dulunya
bisu menjadi makhluk yang bisa berbicara, dulunya tuli menjadi makhluk yang
bisa mendengar, dulunya buta menjadi makhluk yang bisa melihat. Setiap
anggotanya mempunyai keajaiban yang menakjubkan, keajaibankeajaiban yang tidak
diterangkan dan dijelaskan.[2]
وَلَقَدْ خَلَقْنَا
الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Dan sesungguhnya
Kami bersumpah bahwa kami telah menciptakan manusia, yakni jenis manusia yang
kamu saksikan, bermula dari suatu saripati yang berasal dari tanah. Kemudian
kami menjadikannya yakni saripati itu, nutfah yang disimpan dalam tempat yang
kukuh, yakni rahim ibu. Kemudian kami ciptakan, yakni dijadikan, nutfah itu
‘alaqah, lalu kami ciptakan, yakni jadikan, ‘alaqah itu mudhgoh yang merupakan
sesuatu yang kecil sekerat daging, lalu kami ciptakan, yakni jadikan mudhgoh
itu tulang-belulang, lalu kami bungkus tulang-belulang itu dengan daging.
Kemudian, kami mewujudkannya, yakni tulang yang terbungkus daging itu menjadi –
setelah kami meniupkan ruh ciptaan kami kepadanya – makhluk lain daripada yang
lain yang sepenuhnya berbeda dengan unsur-unsur kejadiannya yang tersebut
di atas bahkan berbeda dengan makhluk-makhluk lain.
Berbeda-beda pendapat para ulama
tentang siapa yang dimaksud dengan الإنْسَان ayat ke-12 banyak yang
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Adam. Memang ayat selanjutnya menyatakan
Kami menjadikannya nutfah, bukan kami menjadikan keturunannya nutfah. Bagi yang
tidak menerima pendapat di atas, ada yang menyatakan bahwa kata الإنْسَانَdimaksud
adalah jenis manusia. ThahirIbn ‘Asyur. walaupun membuka kemungkinan
memahami kata al-insan dalam arti Adam, cenderung berpendapat bahwa al-insan
yang dimaksud adalah puta-puti Adam as. Saripati dari tanah itu menurutnya
adalah apa yang diproduksi oleh alat pencernaan dari bahan makanan yang
kemudian menjadi darah, yang kemudian berproses hingga akhirnya menjadi sperma
ketika terjadi hubungan seks. Nah inilah yang dimaksud dengan saripati taah
karena ia berasal dari makanan manusia- baik tumbuhan maupun hewan yang
bersumber dari tanah. Kata سُلالَةٍ terambil dari kata “salla “ yang antara lain berarti
mengambil, mencabut.[3]
Kata ini mengandung makna sedikit sehingga kata sulalah berarti mengambil
sedikit dari tanah dan yang diambil itu adalah saripatinya.
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ
نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ
Kata نُطْفَةً berarti setetes yang dapat
membasahi. Ada juga yang memahami kata itu dalam arti hasil pertemuan sperma
dan ovum. Penggunaan kata ini menyangkut proses kejadian manusia sejalan dengan
penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari
alat kelamin pria mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, sedang yang
berhasil bertemu dengan indung telur wanita hanya satu saja.
ثُمَّ خَلَقْنَا
النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ
عِظَامًا فَكَسَوْنَا
Kata عَلَقَةًterambil
dari kata عَلَقَdalam
kamus-kamus bahasa, kata itu diartikan dengan : (a) segumpal darah yang
membeku, (b) sesuatu yang seperti cacing, berwarna hitam, terdapat dalam air,
yang bila air itu diminum cacing tersebut menyangkut di kerongkongan, dan (c)
sesuatu yang bergantung atau berdempet. Para embriolog cenderung memahaminya
sesuatu yang bergantung atau berdempet di dinding rahim.Menurut mereka setelah
terjadi pembuahan menghasilkan zat baru, yang kemudian terbelah menjadi dua,
lalu yang dua menjadi empat, empat menjadi delapan, demikian seterusnya
berkelipatan dua. Kata مُضْغَةًterambil
dari kata مُضْغَyang
berarti mengunyah artinya sesuatu yang kadarnya kecil sehingga dapat dikunyah. Kata
كَسَوْنَا
terambil
dari kata kasa yang berarti membungkus. Daging diibaratkan pakaian yang
membungkus tulang. Sayyid Quthub menulis bahwa disini seseorang berdiri
tercengang dan kagum di hadapan apa yang diungkapkan Al-Quran menyangkut
hakikat pembentukan janin yang tidak diketahui secara teliti kecuali baru-baru
ini setelah kemajuan yang dicapai oleh Embriologi. Kekaguman iu lahir setelah
diketahui bahwa sel-sel daging berbeda dengan sel-sel tulang, dan juga setelah
terbukti bahwa sel-sel tulang tercipta sebelum sel-sel danging dan bahwa tidak
terdeteksi adanya satu sel daging sebelum telihat sel-sel tulang, seperti yang
diinformasikan di ayat diatas. Lalu kami ciptakan mudhghah itu tulang
betulang, lalu kami bungkus tulang belulang itu dengan daging. Maha Suci
Allah Yang Maha Mengetahui yang umum dan terperinci.
الْعِظَامَ لَحْمًا
ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Kata أَنْشَأْ mengandung arti mewujudkan sesuatu serta
memelihara dan mendidiknya. Penggunaan kata tersebut dalam menjelaskan proses
terakhir dari kejadian manusia yang mengisyaratkan bahwa proses terakhir itu
benar-benar berbeda sepenuhnya dengan sifat, ciri, dan keadaannya dengan apa
yang ditemukan dalam proses sebelumnya. Yang berbeda dengan apa yang terjadi
setelah proses ansya-a. di sini yang muncul adalah seorang manusia yang
memiliki ruh, sifat kemanusiaan, potensi untuk berpengetahuan, Kata خَلْقًا
آخَرَmakhluk lain, mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang
dianugerahkan ( ruh ) ciptaan-Nya yang tidak dianugerahkan kepada siapapun
kendati malaikat. Kata تَبَارَكَterambil
dari kata “barakah “ yang bermakna sesuatu yang mantap, ia juga berarti kebajikan
yang melimpah dan beraneka ragam serta berkesinambungan. Kolam dinamai birkah
karena air yang ditampung didalamnya menetap mantap tidak tercecer kemana-mana.
الْخَالِقِين
bentuk
jamak dari خَالِقِ khaliq bentuk jamak tersebut
mengisyaratkan bahwa ada khaliq lain, tetapi Allah adalah yang terbaik.[4]
HADIS TENTANG KEJADIAN MANUSIA
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: حَدَّثَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ: إِنَّ أَحَدَكُمْ
يُجْمَعُ خَلْقَهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ
يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ
يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَ يُؤْمَرُ
بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَ أَجَلِهِ وَ عَمَلِهِ وَ شَقِيٌّ وَ
سَعِيْدٌ.
فَوَاللهِ الَّذِي لَا اِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَ بَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ،
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ
فَيَدْخُلُهَا. وَ إِنَّ اَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى
مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَ بَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ (رواه البخارى و مسلم)[5]
Artinya:
Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra. Berkata, Rasulullah
Saw. yang jujur dan terpercaya bersabda kepada kami, “sesungguhnya penciptaan
kalian dikumpulkan dalam rahim ibu, selama empat
puluh hari berupa nuthfah (sperma), lalu menjadi ‘alaqah (segumpal darah)
selama itu pula, lalu menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama itu pula.
Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh dan mencatat 4 perkara yang telah ditentukan, yaitu: rezeki,
ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Demi Allah, Dzat yang tiada
Tuhan selain Dia, sesungguhnya ada diantara kalian yang melakukan
perbuatan-perbuatan penghuni surga hingga jarak antara dia dengan surga hanya
sehasta (dari siku sampai ujung jari), namun suratan takdirnya sudah
diterapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni neraka, maka ia pun masuk
neraka. Ada juga yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka hingga
jarak antara dia dan neraka hanya sehasta. Namun suratan takdirnya sudah
ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni surga. (HR. Bukhori dan
Muslim)
Menurut sebagian ulama, makna
sabdanya إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقَهُ
فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ (sesungguhnya
seorang dari kalian dihimpun penciptaannya dalam perut ibunya), bahwa
air mani jatuh dalam rahim dengan tercerai berai lalu Allah menghimpunnya di
tempat kelahiran dari rahim tersebut di masa ini. Kemudian selama seratus dua
puluh hari, janin mengalami tiga kali perkembangan. Perkembangan tersebut
terjadi setiap empat puluh hari. Empat puluh hari pertama, janin masih
berbentuk nuthfah. Empat puluh hari berikutnya, berbentuk gumpalan darah. Empat
puluh hari berikutnya, menjadi segumpal daging. Setelah seratus dua puluh hari,
malaikat meniupkan ruh ke dalamnya, dan ditetapkan bagi janin tersebut empat
ketentuan di atas. Para ulama sepakat bahwa ruh ditiupkan pada janin ketika
janin berusia seratus dua puluh hari, terhitung sejak bertemunya sel sperma dan
ovum. Artinya, peniupan tersebut ketika janin berusia empat bulan penuh, masuk
bulan kelima.[6]
Setelah semuanya terbentuk dengan sempurna, kemudian
Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menuliskan rizky, ajal, amal,
kesengsaraan dan kebahagiaan. Jadi keempat hal tersebut sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Namun
bukan berarti manusia tidak bisa merubah ketentuan tersebut, jika manusia
berusaha maka ia akan dapat merubahnya kecuali ketentuan ajalnya. Karena Ajal
hanya Allah yang tahu yang mana ajal itu tidak bisa dipercepat ataupun
diperlambat.
B. Ayat Dan Hadis Tentang Perolehan
Pendidikan
Pendidikan Islam
memiliki karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan mengembangkan
pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan
dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang
berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal itu kemudian dia belajar: mula-mula
melalui hal yang dapat diindra dengan menggunakan panca indranya sebagai
jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal yang dapat diindra
kepada yang abstrak, dan dari yang dapat dilihat kepada yang dapat difahami.
Pada tahapan awal fase
manusia, membaca adalah sarana pertama pendidikan yang harus dikuasai. Sehingga
misi utama pendidikan pada jenjang Taman Kanak-Kanak ataupun Sekolah Dasar
adalah kompetensi membaca. Berdasarkan wahyu yang pertama, manusia dituntut
untuk memiliki pendidikan dan pengetahuan melalui media membaca, sebagaimana
firman-Nya:
QS. Al- ‘Alaq:
1-5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنسَانَ
مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
(4) عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ (5)
Artinya :
1. Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan
2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah
3. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah
4. yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-‘Alaq [ 96 ] : 1-5)
KOSA KATA
Kata |
Arti |
اقْرَأْ |
Bacalah |
خَلَقَ |
Menciptakan |
مِنْ عَلَقٍ |
Dari segumpal darah |
بِالْقَلَمِ |
Dengan perantaran kalam |
Tafsir Ayat
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)
“Menurut
Tafsir Jalalain ( اقزأ
Bacalah) maksudnya mulailah membaca ( باسن ربّك الذي خلق dengan menyebut nama Tuhan yang
menciptakan) semua makhluk.”[7]
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2)
Kata
الانسان
terambil dari akar kata انس uns: senang, jinak. dan
harmonis. Atau dari kata نسي nis-y yang berarti lupa. Ada juga yang berpendapat dari kata نوس nus, yakni gerak atau
dinamika. Kata Insan menggambarkan manusia dengan berbagai
keragaman sifatnya. Kata ini berbeda dengan kata بشز basyar yang juga
diterjemahkan dengan manusia, tetapi maknanya lebih banyak mengacu kepada
manusia dari segi fisik serta nalurinyayang tidak berbeda antara seorang
manusia dengan manusia lain. Manusia adalah makhluk pertama yang
disebut Allah dalam Al-Quran melalui wahyu pertama. Bukan saja karena ia
diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya atau karena segala sesuatu dalam
raya ini diciptakan dan ditundukan Allah demi kepentingannya, tetapi karena
kitab suci Al-Quran ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya. Salah satu cara yang ditempuh
oleh Al-Quran untuk mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah adalah
memperkenalkan jati dirinya, antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya.
Kata
علق dalam kamus-kamus besar bahasa Arab digunakan
dalam arti segumpal darah, juga dalam arti cacing yang terdapat di dalam air
bila diminum oleh binatang maka ia tersangkut dikerongkongannya. Bisa juga kata
علق dipahami sebagai
berbicara tentang sifat manusia sebagai makhluk social yang tidak dapat hidup
sendiri tetapi selalu bergantung kepada selainnya.[8]
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)
Perintah membaca yang kedua ini dimaksudkan agar
beliau lebih banyak membaca, menelaah, memerhatikan alam raya, serta membaca
kitab yang tertulis dan tidak tertulis dengan rangka mempersiapkan diri terjun
ke masyarakat. Kata الاكزم
bisa diterjemahkan dengan yang maha paling pemurah. Kata ini terambil dari kata
( كزم) yang antara lain berarti: memberikan,dengan mudah dan tanpa
pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, dan sifat kebangsawanan. Kata الاكزم
yang berbentuk superlatif adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Quran yang
menyifati Tuhan dalm bentuk tersebut. Ini mengandung pengertian bahwa Dia dapat
menganugrahkan puncak dari segala yang terpuji bagi setiap hamba-Nya, terutama
dalam kaitannya dengan perintah membaca. Dari sini, kita tidak wajar memahami
perintah membaca yang kedua ini hanya terbatas tujuannya untuk menolak alas an
Nabi “saya tidak dapat membaca”, tidak pula sekedar untuk menanamkan rasa
percaya diri, atau berfungsi pengganti “mengulang-ulangi bacaan”, tetapi jauh
lebih dalam dan lebih luas, seluas pengertian kata akram yang berbentuk
superlative dan seluas kata Karam yang menyifati Allah swt. Sebagai makhluk,
kita tidak dapat menjangkau betapa besar karam Allah swt. Karena keterbatasan
kita di hadapannya. Namun demikian sebagiab darinya dapat diungkapkan sebagai
berikut:
“bacalah wahai Nabi meuhammad, Tuhanmu akan
menganugrahkan dengan sifat kemurahannya pengetahuan tentang apa yang tidak
engkau ketahui. Baca dan ulangi bacaan tersebut walaupun objek bacaannya sama,
niscaya Tuhanmu akan memberikan pandangan serta pengertian baru yang tadinya
engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam objek tersebut.” Bacalah dan
ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberikan manfaat kepadamu, manfaat yang banyak
tidak terhingga kerena Dia Akram, memiliki segaala macam kesempurnaan.” Disini
kita daapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan
perintah paada ayat ketiga, yakni yang pertama menjelaskan syarat yang harus
dipenuhi dari seseorang ketika membaca (dalam segala pengertian), yaitu membaca
demi karena Allah, sedangkan perintah yang keduamenggambarkan manfaat yang
diperoleh dari bacaan bahkan pengulangan bacaan tersebut. Dalam ayat ketiga
ini, Allah menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena
Allah, Allah akan menganugrahkan kepadanya ilmu pengetahuan,
pemahamanpemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga.
Apa yang dijanjikan ini terbukti sangat jelas. Kegiatan “membaca” ayat Al-Quran
menimbulkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat
yang telah ada. Demikian juga kegiatan membaca alam raya ini telah menimbulkan
penemuanpenemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam, walaupun objek bacaannya
itu-itu juga. Ayat Al-Quran yang dibaca oleh generasi terdahulu dan alam raya
yang mereka huni, adalah sama tidak berbeda, namun pemahaman mereka serta
penemuan rahasianya terus berkembang.[9]
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ (5)
Kata لْقَلَمِ
terambil dari kata kerja قَلَمِ
yang berarti memotong ujung sesuatu.
Kata qalam disini dapat berarti
hasil dari pnggunaan ayat tersebut, yakni tulisan. Ini karena bahasa sering
kali menggunakan kata yang berarti “alat” atau penyebab untuk menunjuk akibat
atau hasil dari penyebab atau penggunaan alat tersebut. Dari uraian diatas kita dapat menyatakan
bahwa kedua ayat diatas menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah dalam mengajar
manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang
kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini
dikenal dengan istilah ilmu ladunniy.[10]
Ayat Pendidikan yang Terkandung Dalam
Q.S. Al-‘Alaq Ayat 1-5
- Nilai-nilai
Pendidikan Keterampilan
Jika diamati secara seksama
ayat-ayat yang termaktub didalam surat Al-„Alaq itu mengandung nilai-nilai
keterampilan bagi manusia itu sendiri, akan terlihat bahwa surat tersebut telah
memuat materi-materi dasar keterampilan dalam pendidikan yang dapat
dikembangkan dalam pendidikan-pendidikan selanjutnya sesuai dengan perkembangan
jiwa dan daya serap peserta didik. Adapun materi pendidikan yang tergambar
dalam surat Al-„Alaq, yaitu pada ayat 1 dan 3 (membaca), ayat 4 (menulis), dan
ayat 2 (mengenal diri melalui proses penciptaan secara biologis).[11]
- Membaca
Membaca merupakan materi pertama
yang disebutkan didalam surat Al-„Alaq. Hal ini sesuai dengan perkembangan daya
serap dan jiwa manusia (peserta didik). Kondisi ini sesuai dengan penegasan
Alah dalam surat An-Nahl ayat 78 bahwa manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu
pendengaran, penglihatan dan perasaan (hati).Penegasan Allah tersebut dapat
dipahami bahwa di antara organ bayi yang baru lahir adalah organ pendengaran
lebih dulu aktif.Hal ini cukup beralasan jika Rasulullah menganjurkan umatnya
membacakan kalimat tauhid berupa adzan dan iqamat ditelinga bayi yang baru
lahir.Sebagaimana beliau melakukannya ditelinga kedua cucunya Hasan dan Husain.
Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits sebagai berikut :
Artinya: “Diriwayatkan Abu Daud dan
Turmudzi bahwa Nabi SAW membacakan adzan di telinga Hasan dan Husain ketika
keduanya lahir”.[12]
- Menulis
Pelajaran menulis tidak kalah
pentingnya dari membaca, karena itu tidak heran jika didalam ayat ke 4 surat
Al-„Alaq Allah menegaskan bahwa Dia telah mengajar menulis kepada manusia
dengan menggunakan qalam, yaitu alam tulis yang pertama kali dikenal dalam
dunia pendidikan. Menulis merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.Setelah ditulis, pengetahuan tersebut dapat diwarisi oleh
generasi berikutnya sehingga generasi selanjutnya dapat
meneruskan dan mengembangkan lebih
jauh ilmu-ilmu yang dirintis oleh generasi sebelumnya.Membaca dan menulis
merupakan dua hal yang sangat urgen dalam pendidikan, guna memperoleh ilmu
pengetahuan dan memajukan umat manusia di muka bumi ini[13]
- Biologi
Materi pendidikan ketiga yang
mengandung keterampilan dapat diungkapkan didalam surat Al-Alaq ialah tentang
penciptaan secara fisik yang bermula dari AlAlaq. Ilmu yang mempelajari manusia
dari sudut fisiknya disebut ilmu Biologi. Walaupun surat Al-Alaq tidak menyebut
secara eksplisit istilah Biologi, tidak salah jika penafsiran ayat itu dilihat
dari sedikit pendidikan Biologi. Dengan perkataan lain mengajak umat manusia
agar merenungkan sejarah asal-usul kejadian mereka dari sudut biologi agar
mereka mau menyadari kondisi dan hakekat diri mereka yang sebenarnya. Dengan
demikian surat Al-„Alaq tidak berbicara secara eksplisit tentang pendidikan
Biologis, tetapi memberikan isyarat terhadap kondisi awal pertumbuhan manusia
secara biologis yang disebut Al-„Alaq supaya mereka tergugah untuk mempelajari
lebih lanjut. Kembali kepada kata Al-„Alaq, dari sudut bahasa setidaknya
mempunyai dua konotasi, yaitu darah yang beku dan binatang kecil yang hidup di
dalam air, jika airnya diminum binatang, ia akan lengket dan bergantung
ditenggorokan binatang itu untuk menghirup darah. Didalam kamus Besar Bahasa
Indonesia binatangini disebut lintah. Berangkat dari pengertian secara lughawi
ini, Quraish Shihab menyebutkan sesuatu yang bergantung dan berdempet.Dari
pengertian itu dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Al-Alaq adalah sesuatu
yang berbentuk darah beku, bergantung dan melekat pada dinding rahim secara
kuat[14]
- Nilai
Pendidikan Ketuhanan
Ayat pertama surat Al-„Alaq yang
berbunyi:
Artinya : “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,” Pada hakekatnya secara tidak
langsung merupakan penanaman akidah kepada peserta didik karena dia tidak
mungkin membaca atas nama Tuhan jika dia tidak meyakini dan mengikuti dan
mengakui eksistensi-Nya terlebih dahulu. Karena itu, secara implisit ungkapan
ayat pertama tersebut sekaligus Allah yang telah menciptakannya dari
„Alaq.Dengan demikian pendidikan tauhid merupakan pendidikan yang harus
ditanamkan kepada peserta didik sejak awal.Aplikasi pendidikan tauhid
sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat pertama, terlihat pada perbuatan Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya baik dalam kehidupan individual, berkeluarga
maupun bermasyarakat. Nabi melalakukan penanaman akidah tidak hanya terbatas
pada orang dewasa, tetapi juga terhadap anakanak, bahkan sejak ini (bayi)
mereka telah diberi pendidikan tauhid, seperti tampak dengan jelas dari
perbuatan Nabi Muhammad SAW yang membacakan kalimat tauhid ditelinga kedua
cucunya Hasan dan Husain. Tauhid harus ditanamkan kepada anak sedini mungkin
agar setelah dewasa mempunyai dasar keyakinan yang kuat dan tangguh sehingga
terhindar dari godaan syaitan.[15]
- Nilai
Pendidikan Akal (Intelek)
Islam menginginkan pemeluknya
cerdas dan pandai.Kecerdasan ditandai dengan kemampuan menyelesaikan masala
secara cepat dan tepat.Sedangkan pandai ditandai dengan banyaknya pengetahuan
dan informasi yang dimiliki. Kecerdasan dan kepandaian dapat dilihat ddari
beberapa indikator, yaitu ;pertama, memilki sains yang berkualitas tinggi yaitu
sebuah pengetahuan yang merupakan produk indera dan akal yang mengindikasikan
tinggi dan rendahnya mutu akal. Orang Islam diharapkan tidak hanya menguasai
teori-teori sains, tetapi berkemampuan menciptakan teori-teori baru dalam
sains, termasuk teknologi modern.Kedua, memahami dan menghasilkan
filsafat.Filsafat adalah jenis pengetahuan yang bersifat rasional, dengan
demikian orang Islam diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah filosofis.[16]Kaitannya
dengan surat Al-Alaq sangat jelas, bahwa Allah Swt menciptakan manusia sebagai
makhluk sempurna yang diberikan potensi yang luar biasa yaitu akal. Allah
memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikiran dengan sebaik-baiknya
melalui proses Iqra, sebagaimana disebutkan pada awal surat Al-Alaq. Apabila
ditafsiri kata Iqra ini sangat luas sekali maknanya, setidaknya dapat dipahami
dalam kandungannya memberikan proses dasar pendidikan bagi manusia dengan
mengembangkan kemampuan akalnya (intelektual) sendiri. Tujuan pendidikan akal
(al-ahdaf al-aqliyyah), terkait perhatiannya dengan perkembangan intelegensi
yang mengarahkan manusia sebagai individu untuk menemukan kebenaran yang
sesungguhnya yang mampu memberikan pencerahan diri. Memahami pesan ayat-ayat
Allah akan membawa iman kepada Pencipta. Kegagalan dalam kategori ini dipandang
sebagai model penyimpangan akal manusiadari kebenaran.Pendidikan yang membantu
tercapainya tujuan akal dan pengembangan intelektual seharusnya diikuti dengan
bukti yang relevan sesuai dengan yang dipelajari, yaitu menjelaskan bagaimana
fakta dari ayat-ayat Allah memberi kesaksian keberadaan-Nya[17]
Hadis Memperoleh Pendidikan
هذا
الكلام : (طلب العلم من المهد الى اللحد) ويحكى أيضا بصيغة (اطلبوا العلم من المهد
الى اللحد) : ليس بحديث نبوي ، وإنما هو من كلام الناس ، فلا تجوز إضافته إلى رسول
الله صلى الله عليه وسلم كما يتناقله بعضهم ، إذ لا ينسب إلى رسول الله صلى الله
عليه وسلم إلا ما قاله أو فعله أو أقره.
Artinya:
“Perkataan ini, yaitu ‘menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahad’, dan
disampaikan juga dengan ungkapan ‘tuntutlah
ilmu dari buaian sampai liang lahad’, bukanlah hadits Nabi. Ia hanyalah
perkataan manusia biasa, dan tidak boleh menyandarkannya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.
Tidak ada yang boleh dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kecuali perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau.”[18]
Hadis diatas menunjukkan bahwa tuntutan belajar dan
mencari ilmu itu selalu ada dalam setiap waktu dan keadaan. Sebagaimana seorang
bayi tuntutan belajarnya adalah berbicara, berjalan dsb. Dan tuntutan belajar
tersebut akan selalu ada seiring bertambahnya usia dan bahkan sampai ajal
menjemput.
Berdasarkan
hadits tersebut, bahwa menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Disamping diwajibkan
menuntut ilmu, hadits tersebut juga memberikan pelajaran kepada umat Islam
tentang pentingnya pendidikan untuk kemulian hidupnya. Pendidikan merupakan
salah proses untuk meningkat dan mendekatkan diri kepada sang pencipta yaitu
Allah SWT. Dengan pendidikan manusia lebih mulia dan terhormat dipandangan
Allah SWT dan lebih mulia dari pada mahkluk ciptaan-Nya yang lain. Pendidikan
merupakan usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai
yang terdapat dalam masyarakat.
Secara alamiah,
manusia sejak dalam rahim ibu sampai meninggal dunia mengalami proses
pertumbuhan dan berkembang tahap demi tahap. Begitu pula kejadian alam semesta
ini diciptakan oleh Allah SWT dalam proses tingkat demi tingkat. Dengan
demikian, pendidikan dapat dikatakan sebagai sarana utama untuk mengembangkan
kepribadian setiap manusia dalam usaha manusia melestarikan hidupnya.
Pembicaraan
hadis tentang pendidikan anak yang dimaksud, misalnya hadis di bawah ini:
“Semua anak yang dilahirkan atas kesucian
sampai lisannya dapat menerangkan maksudnya, kemudian orangtuanya yang
membuatnya jadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” Riwayat Abu Ya’la, al-thabrani,
dan al-Baihaqi, dari Aswad ibn Sari. Menurut penelitian al-Suyuthi, kualitas
hadis ini adalah shahih.
Dengan demikian
hadis ini dapat dijadikan hujjah.
Karenanya, berdasarkan petunjuk hadis ini peran sentral orang tua dalam
pendidikan anak sangat menentukan bagi suksesnya pendidikan anak. Petunjuk
hadis di atas, jika dikaitkan dengan kajian keilmuan kontemporer, misalnya ilmu
Psikologi, akan bertautan dan saling menguatkan. Misalnya, menurut psikologi,
anak pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor yang terintegrasi yaitu
pembawaan dan lingkungan. Sementara menurut hadis di atas ditegaskan bahwa anak
sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga terutama pihak orangtuanya. Di sini
faktor pembawaan atau watak anak yang diturunkan oleh orangtuanya itu
sebenarnya sudah tercakup. Namun demikian, dalam kajian Islam bahwa
faktor-faktor pembawaan maupun maupun faktor-faktor dari luar kedua-duanya
dapat berpengaruh pada anak yang sedang tumbuh dan berkembang.[19]
C. Ayat dan Hadis
Tentang Memperoleh Kesuksesan
Belajar (learning), sering kali
didefinisikan sebagai perubahan yang secara relatif berlangsung lama pada masa
berikutnya yang diperoleh kemudian dari pengalaman-pengalaman. Para ilmuwan
perilaku berusaha mengukur apa yang telah dikerjakan oleh seorang makhluk untuk
dapat menguasai belajar ini. Tetapi, belajar itu sendiri merupakan kegiatan
yang terjadi di dalam diri seseorang, yang sukar untuk diamati secara langsung.[20]
Menurut pendapat ahli modern belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau
perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku
yang baru berkat pengalaman dan latihan. Sedangkan, menurut pendapat
tradisional, belajar adalah menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, di
sini yang dipertimbangkan adalah pendidikan intelektual.[21]
Setiap penuntut ilmu merindukan
untuk menjadi penuntut ilmu yang baik, walaupun tidak selalu diikuti oleh
kesediaan dalam menempuh jalan kesuksesan. Sebagaimana setiap penuntut ilmu
tidak menginginkan dirinya menjadi atau tergolong sebagai penuntut ilmu yang
gagal. Beberapa kiat dan jalan menuju kesuksesan dalam menuntut ilmu
berdasarkan nash-nash Al-Qur`an, hadits, maupun penjelasan dan contoh dari para
ulama. Hadist tentang kesuksesan ilmu sebagai berikut:
قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ، يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ
" أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ
اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا "
Dan darinya berkata : aku mendengar
Rasulullah SAW. Bersabda: Dunia itu berisi laknat, seluruh isinya terlaknat,
kecuali zikir kepada Allah dan yang terkait denganya, atau orang yang berilmu
atau terpelajar.” (HR: Tirmizi dan dia berkata hadits ini hasan).
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan: ”
Manusia lebih membutuhkan ilmu dari sekedar membutuhkan makan dan minum, karena
makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali sehari, sedang ilmu senantiasa dibutuhkan
selama nafas masih dikandung badan.
Ibnu Al-Qayim mengatakan:
“Orang-orang yang memilki pengetahuan tentang Tuhan-Nya dan tentang
perintah-Nya, mereka itulah ruh kehidupan sebenarnya, mereka senantiasa
dibutuhkan dan tidak pernah tidak walau sekejap, kebutuhan hati akan ilmu tidak
sama dengan kebutuhan nafas akan udara, ia lebih besar!, secara umum ilmu bagi
hati ibarat air bagi ikan, jika ia kehilangan maka ia mati, ilmu yang datang
kepada hati ibarat cahaya datang kepada mata.”
Telah dikatakan bahwa belajar
adalah suatu proses yang menimbulkan terjadinya suatu perubahan atau
pembaharuan dalam tingkah laku dan kecakapan. Sampai dimanakah perubahan itu
dapat tercapai atau dengan kata lain, berhasil baik atu tidaknya belajar itu tergantung kepada bermacam-macam
faktor seperti faktor dari dalam siswa itu sendiri ataupun dari faktor luar.[22]
Beberapa faktor internal sebagai berikut:
1. Ikhlas
Ikhlas
merupakan kunci sukses yang pertama dan mendasar dalam upaya seseorang
mewujudkan cita-citanya meraih ilmu yang bermanfaat. Karena hanya dengan dasar
ikhlas, segala tindakan kebaikan yang dilakukan akan menjadi amal shalih yang
layak mendapatkan balasan kebaikan dari Allah, Tuhan semesta alam. Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata :
Tidaklah diragukan lagi, bahwa
menuntut ilmu adalah sebuah ibadah, bahkan ia merupakan ibadah yang paling
mulia lagi utama. Maka oleh karenanya, wajib atas seorang penuntut ilmu
harus memenuhi syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas. Allah SWT
berfirman dalam Surat al-Bayyinah ayat 5:
وَمَآ أُمِرُوٓاْ
إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus.
Juga hadits Nabi SAW ;
مَنْ تَعَلَّمَ اْلعِلْـمَ
لِيُبَـاهِي بِهِ اْلـعُلَمَاءَ وَيُجَـارِيْ بِهِ السُّفَهَـاءَ وَيَصْرِفُ بِهِ
وُجُـوْهُ النَّـاسَ إِلَيْـهِ أَدْخَلَـهُ اللـهُ جَهَنَّـمَ
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu
untuk membanggakan diri di hadapan para ulama, mempermainkan diri orang-orang
bodoh dan dengan itu wajah orang-orang berpaling kepadanya, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam neraka Jahannam. “ (HR. Ibn Majjah dari sahabat Abu
Hurairah).
2. Berdo`a
Dalam Islam, seorang penuntut ilmu
disamping didorong untuk berusaha Allah SWT memerintahkan kepada penuntut ilmu
untuk berdo’a dengan do’a. Sebagaimana tersebut dalam firman–Nya Surat Thaha
ayat 114:
فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ
ٱلْمَلِكُ ٱلْحَقُّ ۗوَلَاتَعْجَلْ بِٱلْقُرْءَانِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰٓ
إِلَيْكَ وَحْيُهُۥ ۖ وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا
“Dan katakanlah ,”Ya
Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”
Rasulullah juga mengajarkan sebuah
do’a khusus bagi para penuntut
اللهُمَّ إنِّـيْ
أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعـاً، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ
عِلْمٍ لَايَنْفَـعُ
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan Aku berlindung kepada Engkau dari
(mendapatkan) ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Al-Nasa’i dari sahabat
Jabir bin Abdillah ra).
Dalam hadits yang lain, Rasulullah
SAW. mengajarkan do’a yang sedikit berbeda untuk para penuntut ilmu. Do’a itu
adalah:
اَللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَ رِزْقًا طَيِّباً وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang
baik serta amal yang diterima. (HR. Ibn Majjah dari shahabiyah Ummu
Salamah ra).
3. Bersungguh-Sungguh
Termasuk juga kunci sukses dalam
menuntut ilmu adalah bersungguh-sungguh dan
diniatkan untuk mencari keridhaan Allah. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan
Allah SWT. dalam Surat al-Ankabut ayat 69:
وَٱلَّذِينَ
جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ
ٱلْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik”[23]
Seorang penuntut ilmu memerlukan
kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya.
Kita akan mendapatkan ilmu , menuntutnya. Sebab jika seorang penuntut ilmu
malas maka ia tidak akan mendapatkan ilmu yang dicarinya, sebagaimana pendapat
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah bahwa ilmu tidak akan diperoleh dengan
tubuh yang dimanjakan (santai). Karena itulah dalam ayat di atas Allah
menjanjikan kabar gembira dan kemuliaan bagi orang yang bersungguh-sungguh.
Syaikh Abu Bakar al-Jazairy menjelaskan: “Di dalam ayat ini
terdapat busyra dan janji yang benar lagi mulia, demikian itu karena
orang yang bersungguh-sungguh berada di jalan Allah,
karena mencari ridha Allah dengan berusaha untuk meninggikan kalimat-Nya.”
Maka tak heran jika para ulama
terdahulu selalu bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Sebagai contoh, kisah
Imam Syafi`i rahimahullah dalam menuntut ilmu. Beliau berasal dari
keluarga yang fakir, namun hal itu tidak dianggap aib oleh beliau, justru
sebaliknya, dijadikan sebagai kekuatan yang dapat mendorongnya untuk senantiasa
menuntut ilmu. Imam Syafi’i, sebagaimana yang dikisahkan Humaidi, pernah
bercerita:
Aku adalah seorang anak yatim yang
berada dalam pengayoman ibu, ia selalu mendorongku untuk hadir ke majelis ilmu.
Guru sangat sayang pada aku, sampai-sampai aku menempati tempatnya ketika ia
berdiri. Tatkala aku sudah merapikan Al-Qur’an, kemudian aku masuk
ke dalam masjid dan duduk bersama para ulama. Di sana aku mendengarkan hadits
beserta rinciannya kemudian aku hafal semuanya. Ibuku tidak dapat memberikan
kepadaku sesuatu yang dengannya aku dapat belikan kertas. Aku melihat tulang
maka aku ambil, kemudian aku menulisnya, tatkala sudah penuh, maka aku
menghafalnya sekuat tenagaku.
4. Bakat
Bakat merupakan kemampuan yang
menonjol disuatu bidang tertentu misalnya bidang studi matematika atau bahasa asing.
Bakat adalah suatu yang dibentuk dalam kurun waktu, sejumlah lahan dan
merupakan perpaduan taraf intelegensi. Pada umumnya komponen intelegensi
tertentu dipengaruhi oleh pendidikan dalam kelas, sekolah, dan minat subjek itu
sendiri. Bakat yang dimiliki seseorang akan tetap twersembunyi bahkan lama
kelamaan bakal hilang apa bila tidak mendapat kesempatan untuk berkembang.
5. Menjauhi Kemaksiatan
Syarat lain bagi penuntut ilmu yang
ingin sukses adalah menjauhi kemaksiatan. Syarat ini merupakan syarat unik yang
hanya dimiliki oleh agama Islam. Ibn
al-Qayyim al-Jauziyah rahimahullah misalnya berkata:
Maksiat memilki pengaruh jelek lagi
tercela, dan juga dapat merusak hati dan badan baik di dunia maupun di akhirat.
Diantara bahaya dari maksiat antara lain: Terhalangnya mendapatkan ilmu, karena
sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya yang telah Allah berikan di dalam hati, dan
maksiat itu memadamkannya (cahaya itu).
Pengaruh kemaksiatan terhadap
terhalangnya ilmu pernah terbukti menimpa Imam Syafi’i. hal ini terlihat dari
pengaduan Imam Syafi’i kepada salah seorang gurunya yang bernama
Waki’. Kisah ini diceritakan Imam Syafi’i dalam sebuah syair
berikut:
شَكَوْتُ إِلَىْ
وَكِيْـعٍ سُوْءَ
حِفْظِيْ فَأَرْشَـدَ نِيْ إِلَىْ
تَـرْكِ اْلمَعَـاصِيْ
وقَالَ: اعْلَمْ بِأَنَّ
الْعِلْمَ
نُـــــوْرٌ وَفَضْلُ
اللهِ لاَ يُؤْتاَهُ عَـاصِ
Aku mengadu kepada guruku bernama
Waqi’, tentang jeleknya hafalanku, maka ia memberikan petunjuk kepadaku agar
meninggalkan kemaksiatan. Karena sesungguhnya ilmu
itu adalah cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan
diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”
Demikian juga nasihat Imam Malik
kepada Imam Syafi’i. ia berkata:
إِنِيْ أرى اللهَ
قَـدْ جَعَلَ فِيْ قَلْـبِكَ نُوْراً فَلاَ تُطْـفِئْهُ بِظُلْـمَةِ
مَعْصِيَةٍ
“Sesungguhnya
aku melihat pada hatimu pancaran cahaya, maka jangan engkau redupkan cahaya itu
dengan gelapnya kemaksiatan.”
6. Tingkat kecerdasan
Tingkat kecerdasan pada umumnya
dapat diartikan sebagai kemampuan fisiofisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan
diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Tingkat kecerdasan seseorang
tidak dapat diragukan lagi, sangat mementukan tingkat keberhasilan belajar
siswa. Artinya semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang maka semakin
besar peluangnya untuk berhasil dalam pelajaran.[24]
7. Tidak Malu dan Tidak Sombong
Sombong dan malu menyebabkan
pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu masih ada dalam
dalam dirinya. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘Anha pernah
berkata tentang sifat malu para wanita Anshor:
نِعْمَ النِّسَاءُ
نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي
الدِّينِ
“Sebaik-baik wanita adalah wanita
Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu
agama. (HR. Bukhari)
Artinya sekalipun wanita anshar
merupakan sekelompok perempuan yang memiliki rasa malu yang tinggi sebagai
cerminan keimanan mereka, namun hal itu tidak berlaku dalam menuntut
ilmu. Sebab rasa malu dalam menuntut ilmu dapat menyebabkan kekeliruan
atau ketidakjelasan. Seseorang yang malu bertanya dalam menuntut ilmu akan
menyebabkan ia tidak mendapatkan penjelasan dari hal-hal yang masih samar atau
meragukan baginya. Karena itu agar seorang penuntut ilmu mendapatkan penjelasan
yang terang dan ilmu yang pasti maka ia harus memberanikan diri bertanya
mengenai permasalahan yang belum jelas ataupun belum meyakinkan bagi dirinya.
Sementara mengenai larangan
sombong, Allah SWT. jelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 34:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ
فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَٰفِرِينَ
Dan ingatlah ketika kami berfirman
kepada para malaikat : Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka
kecuali Iblis, ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan
orang–orang yang kafir.[25]
Kesombongan dalam menuntut ilmu
dilarang sebab ia akan menyebabkan tertolaknya kebenaran. Seorang yang sombong
akan cenderung merendahkan manusia lainnya dan menolak kebenaran, sehingga ia
akan kesulitan untuk mendapatkan guru dan ilmu. Orang sombong akan merasa
dirinya selalu lebih baik dari orang lain sehingga tidak lagi memerlukan
tambahan ilmu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam salah satu
sabdanya:
اَلْكِبْرُ بَطَرُ
اْلحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong itu adalah, menolak
kebenaran dan merendahkan manusia.”(HR. Muslim dari sahabat Ibn Mas’ud ra).
8. Mengamalkan
dan Menyebarkan Ilmu
Di dalam ajaran Islam, ada tiga
perintah yang saling bertautan kepada para penuntut ilmu. Perintah itu adalah
mencari ilmu, mengamalkan dan menyampaikannya kepada orang lain. Trilogi
menuntut ilmu ini tidak boleh lepas dari diri seseorang,
sebab antara satu dengan yang lainnya
mempunyai shilah (hubungan) yang erat. Islam mensyariatkan wajibnya
menuntut ilmu atas setiap muslim, dan di sisi lain ia juga memerintahkan agar
ilmu yang sudah diketahui harus diamalkan dan dida’wahkan kepada orang lain.
Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan keutamaan orang yang mengamalkan ilmu
dan menda’wahkannya, dan banyak
pula nushûsh yang berbicara tentang ancaman orang yang
tidak mau mengamalkan dan menda’wahkan ilmunya. Mengenai keutamaan
menda’wahkan ilmu, misalnya dapat disimak dari sabda Nabi SAW.
berikut ini:
مَنْ دَلَّ عَلَى
خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِه
“Siapa orang yang menunjukkan
kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melakukkannya”(HR. Tirmidzi
dari sahabat Abi Mas’ud ra).
Dalam hadits di atas, Rasulullah
memberikan dorongan berupa janji pahala bagi orang yang mengajarkan ilmunya.
Pahala itu berupa kebaikan semisal kebaikan yang didapat oleh orang yang diajari
ilmu olehnya dari ilmunya itu
Faktor eksternal, yaitu faktor yang
datang dari luar diri siswa, seperti lingkungan belajar, lingkungan keluarga,
latar belakang sosial ekonomi keluarga, dan perhatian orang tua dalam membantu
mengatasi kesulitan belajar yang dialami anak. Faktor eksternal yang
berpengaruh terhadap prestasi belajar salah satunya adalah faktor keluarga,
terutama orang tua. Keluarga merupakan pengelompokan primer yang terdiri dari
sejumlah kecil orang yang mempunyai hubungan pertalian darah (Bahan Ajar
Pengantar Pendidikan, 2006:55). Faktor ekternal meliputi segala sesuatu ang
berasal dari luar diri individu yang dapat mempengaruhi prestasi belajarnya
baik itu di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah.
1. Faktor lingkungan keluarga
Faktor lingkungan rumah atau
keluarga ini merupakan lingkungan pertama dan utama pula dalam menentukan
keberhasilan belajar seseorang. Suasana lingkungan rumah yang cukup tenang,
adanya perhatian orangtua terhadap perkembangan proses belajar dan pendidikan
anak-anaknya maka akan mempengaruhi keberhasilan belajarnya.
Orang tua mempunyai peranan yang
penting dalam pendidikan. Orang tua merupakan salah satu komponen yang harus
bertanggung jawab atas pendidikan anak. Oleh karena itu, sangat diperlukan
adanya pembinaan dan perhatian yang baik dalam proses belajar anak.
Keterlibatan orang tua atas aktivitas anak dalam belajar merupakan salah satu
hal yang diperlukan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Bentuk lain dari
perhatian orang tua dalam proses pendidikan anak dan membantu anak dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi di sekolah adalah mendorong dan
memotivasi anak untuk belajar serta melengkapi seluruh kebutuhan yang
berhubungan dengan sekolah.
2. Faktor lingkungan masyarakat
Seorang siswa hendaknya dapat
memilih lingkungan masyarakat yang dapat menunjang keberhasilan belajar.
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap belajar
siswa karena keberadannya dalam masyarakat. Masyarakat juga berpengaruh
terhadap minat belajar siswa, yang termasuk dalam faktor masyarakat yakni:
a.
Kegiatan
dalam masyarakat
Dalam kegiatan ini sangat baik
untuk diikuti siswa, karena termasuk kegiatan ekstra sekolah dan baik untuk
menambah pengalaman siswa, namun kegiatan ini akan berdampak tidak baik jika
diikuti dengan berlebihan. Karena akan mengakibatkan siswa akan malas untuk
belajar.
b.
Teman
bergaul
Teman bergaul siswa akan lebih
cepat masuk dalam jiwa anak, untuk itu diusahakan lingkungan disekitar itu
baik, agar dapat meberi pengaruh yang positif terhadap siswa tersebut akan
terdorong dan bersemangat untuk belajar.
c.
Faktor
lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah sangat
diperlukan untuk menentukan keberhasilan belajar siswa. Hal yang paling
mempengaruhi keberhasilan belajar para siswa disekolah mencakup metode
mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa,
pelajaran, waktu sekolah, tata tertib atau disiplin yang ditegakkan secara
konsekuen dan konsisten.[26]
PENUTUP
- KESIMPULAN
Ayat dan hadis tentang kejadian manusia
dijelaskan dalam QS. Al-Mu’minun 12-14. Penciptaan manusia untuk selanjutnya
setelah Nabi Adam adalah dengan sperma yang terpancar dari tulang sulbi
laki-laki kemudaian melekat dalam rahim perempuan kemudian berubah menjadai
darah menjadai segumpal daging yang belum ada bentuk dan rupa.Kemudian menjadi
potongan tulang yang keras supaya untuk penyangga badan.Tulang tersebut
kemudian dibungkus dengan daging seolah daging tersebut menjadi pakaiannya.
Kemudian ditiupkkan ruh dan berbentuk makhluk yang lain dengan sebaik-baik
ciptaan.
Pendidikan
Islam memiliki karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap
manusia dilahirkan dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi
dan kemampuan yang berbeda dari manusia lainnya. Dalam QS. Al-‘alaq ayat 1-5, Pada tahapan awal fase manusia, membaca adalah sarana pertama
pendidikan yang harus dikuasai. Sehingga misi utama pendidikan pada jenjang
Taman Kanak-Kanak ataupun Sekolah Dasar adalah kompetensi membaca. Berdasarkan
wahyu yang pertama, manusia dituntut untuk memiliki pendidikan dan pengetahuan
melalui media membaca.
Rasulullah memberikan dorongan
berupa janji pahala bagi orang yang mengajarkan ilmunya. Pahala itu berupa
kebaikan semisal kebaikan yang didapat oleh orang yang diajari ilmu olehnya
dari ilmunya itu. Faktor eksternal, yaitu faktor yang datang dari luar diri
siswa, seperti lingkungan belajar, lingkungan keluarga, latar belakang sosial
ekonomi keluarga, dan perhatian orang tua dalam membantu mengatasi kesulitan
belajar yang dialami anak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shabuniy, Muhammad
‘Aliy . 1420 H/ 1999 M . Shafwah al-Tafasir. Jakarta : Dar al-Kutub
al-Islamiyyah. cet 1, jilid 2.
Al-Asqalani ,
Ibnu
Hajar. 2008. Fathul baari (Syarah Shahih
Bukhori) Jil 17 . Jakarta: Pustaka
Azam.
Al-Bugha , Musthafa Dieb. 2012. (Syarah
Kitab Arba’in An-Nawawiyah), Jakarta: Al-I’tisham.
Ar-rifa’i ,
Muhammad Nasib. 2012. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir jilid 4. Jakarta : Gema Insani.
Bakar, Bahrun Abu. 2009. Tafsir Jalalain berikut
Asbabun Nujul, jilid 2, Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Imam Jalaludin
As-Suyuti dan Imam Jalaludin AL-Mahalli. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Farida, Susan Noor. 2016. HADIS-HADIS
TENTANG PENDIDIKAN (Suatu Telaah tentang Pentingnya Pendidikan Anak), Jurnal Ilmu Hadis 1, No. 1.
Muhammad
al-Raziy Fakhr al-Dim ibn al-‘Allamah Dhiyau al-Din ‘Uma.1981 M. Tafsir al-Fakhri al-Raziy. Bairut : Dar
al-Fikri. cet 1, juz 23.
Muhibin,
Syah. 2002. Psikologi
Belajar. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Shihab, M. Quraish.
2002. Tafsir Al-Mishbah Pesan,kesan dan keserasian Al-Quran .
Jakarta : Lentera Hati.
Syaikh
‘Abdul Fattah Abu Ghuddah rahimahullah, Qimah az-Zaman ‘inda al-‘Ulama,
(terbitan Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, cetakan ke-10),
Mustamin.
2013.” Faktor-faktor yang menpengaruhi prestasi belajar mahasiswa jurusan
matematika fakultas tarbiyah dan keguruan UIN Alauddin makasar”. Jurnal
matematika dan pembelajaran (mapan), vol. 1 No 1 desember 2013
Sugiarti.
2013. “ Analisis Faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa slow
learner di sekolah luar biasa(SLB) negeri semarang”. Jurnal psikologi. Vol 5,
no 1.
Purwanto, Ngalim. 2010. Psikologo Pendidikan, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Slameto. 2003.
Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta : Rineka cipta.
[1]
Muhammad ‘Aliy al-Shabuniy, Shafwah al-Tafasir, (Jakarta : Dar al-Kutub
al-Islamiyyah, 1420 H/ 1999 M), cet 1, jilid 2. hlm. 304.
[2]
Muhammad al-Raziy Fakhr al-Dim ibn al-‘Allamah Dhiyau al-Din ‘Umar, Tafsir
al-Fakhri al-Raziy, (Bairut : Dar al-Fikri, 1401 H/ 1981 M), cet 1, juz 23,
hlm. 85-86.
[3] Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah Pesan,kesan dan keserasian Al-Quran (Jakarta : Lentera
Hati, 2002) hlm. 166.
[4]M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan,kesan dan keserasian Al-Quran (Jakarta
: Lentera Hati, 2002) hlm. 167.
[5] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul
baari (Syarah Shahih
Bukhori) Jil 17 , (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), 232.
[6] Musthafa Dieb Al-Bugha, Al-Wafi (Syarah Kitab Arba’in
An-Nawawiyah), (Jakarta: Al-I’tisham,2012), hlm. 20-21.
[7] Bahrun Abu Bakar, Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nujul, jilid
2, Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Imam Jalaludin As-Suyuti dan Imam Jalaludin
AL-Mahalli, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), 1354.
[8] Quraish,
Shihab. Tafsir
Al-Misbah Vol 15, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002),
459.
[9] Quraish,
Shihab. Tafsir
Al-Misbah Vol 15, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002),
462.
[10] Quraish,
Shihab. Tafsir
Al-Misbah Vol 15, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002),
464.
[11] Quraish, Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesandan Keserasian Al-Qur’an jilid. 15.(Jakarta: Lentera
Hati, 2004), hlm. 260.
[12]
Muhammad Nasib Ar-rifa‟I , Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4,
(Jakarta : Gema Insani, 2012), hlm. 771.
[13]
Muhammad
Nasib Ar-rifa‟I , Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4, (Jakarta : Gema
Insani, 2012), hlm. 771.
[14] Quraish, Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesandan Keserasian Al-Qur’an jilid. 15.(Jakarta: Lentera
Hati, 2004), hlm. 156.
[15] Muhammad
Nasib Ar-rifa‟I , Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4, (Jakarta : Gema
Insani, 2012). Hlm. 771-772.
[16] Muhammad Nasib Ar-rifa‟I , Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir jilid 4, (Jakarta : Gema Insani, 2012).
hlm. 771-774.
[17] Quraish, Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesandan Keserasian Al-Qur’an jilid. 15.(Jakarta: Lentera
Hati, 2004). hlm. 152-159.
[18] Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah
rahimahullah, Qimah az-Zaman ‘inda al-‘Ulama, (terbitan Maktab
al-Mathbu’at al-Islamiyah, cetakan ke-10), hlm. 30.
[19] Susan Noor Farida,
HADIS-HADIS TENTANG PENDIDIKAN (Suatu Telaah tentang Pentingnya Pendidikan
Anak), Jurnal Ilmu Hadis 1, No. 1, 2016.
[20] Mustamin. 2013.” Faktor-faktor
yang menpengaruhi prestasi belajar mahasiswa jurusan matematika fakultas
tarbiyah dan keguruan UIN Alauddin makasar”. Jurnal matematika dan pembelajaran
(mapan), vol. 1 No 1 desember 2013: 151-177.
[21]Sugiarti. 2013. “ Analisis Faktor
yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa slow learner di sekolah luar
biasa(SLB) negeri semarang”. Jurnal psikologi. Vol 5, no 1.
[22]Ngalim Purwanto, Psikologo
Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2010), hlm. 102.
[23]Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 638.
[24]Muhibin, Syah, Psikologi
Belajar, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002) . hlm. 147.
[25]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 14.
[26]Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya, (Jakarta : Rineka cipta, 2003), hlm. 64.
Tidak ada komentar
Posting Komentar