KLASIFIKASI AYAT DAN HADITS
DALAM MATERI AL-QUR’AN HADITS
Oleh:
1.
Naila Noor
Aini (1710110135)
2.
Rizka Siti Wahidatun Ni’mah (1710110150)
3.
Novia Fahris
Salimi (1710110153)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an
merupakan sumber pedoman umat Islam yang utama dan pertama sebelum hadits. Dalam
mempelajari Ilmu Al-Qur’an secara otomatis seseorang minimal harus mengetahui
tentang pengklasifikasian yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pentingnya seseorang
mengetahui pengklasifikasian dalam Al-Qur’an menjadi suatu keharusan. Dimana
pengklasifikasian tersebut berfungsi untuk pengkajian lanjut mengenai sebuah
Ayat. Sebagaimana kita telah mengetahui bahwa pengklasifikasian ayat dalam Al-Qur’an
terbagi atas 2 yaitu Makkiyah dan Madaniyah. Objek kajian pengklasifikasian
tersebut menjadi menarik setelah menemukan banyak pertanyaan. Seperti contoh, mengapa
Al-Qur’an hanya diklasifikasikan kedalam 2 klasifikasi?, serta berbagai macam
pertanyaan yang terkait dalam klasifikasi Ayat Al-Qur’an lainnya yang selalu
beragam. Selain itu, ada beberapa Ayat yang cenderung masih diragukan apakah
Ayat tersebut Makkiyah atau Madaniyah?, topik tersebut kemudian menjadi menarik
karena para ‘Ulama pun masih berhati-hati dalam mengklasifikasikan Ayat Al-Qur’an.
bukankah cara membedakan antara Ayat Makkiyah dan Madaniyah sudah ada?. Maka
mendasar atas hal itu perlunya mencoba mendalami dasar-dasar dari
pengklasifikasian untuk membantu dalam memahami permasalahan ini.
Selanjutnya, Hadits
merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran. Hadits dikodifikasikan dan diklasifikasi
oleh para ulama dengan tujuan untuk memudahkan umat Islam dalam memahami makna,
ciri-ciri hadits, jenis-jenis hadits, perbedaan antarhadis serta
untuk mencari hujjah (alasan hukum). Hadits yang mesti diimani ialah
hadis yang sah secara hukum serta jauh dari kemungkaran. Oleh karena itu,
seorang muslim harus mengimani hadits. Pada masa kodifikasi banyak hadits-hadits
palsu yang digunakan untuk mencari keuntungan semata. Banyak terjadi
pelanggaran-pelanggaran dalam hadits, seperti adanya hadits maudhu’
(palsu) dan hadits mungkar. Hal ini dikarenakan setelah
Rasulullah saw. wafat, sedikit demi sedikit Islam mulai kembali ke masa jahiliyah dan banyaknya pendusta.
Oleh karena sebab semua itu lah, maka
pentingnya kita sebagai umat muslim dan terkhususnya lagi sebagai pelajar,
sudah sepantasnya kita mengimani serta mengamalkan sumber pokok ajaran Islam
sebagaimana mestinya. Sehingga setelah kita mempelajari Al Qur’an Hadits maka
diharapkan kita bisa memilah dan memilih dalil-dalil naqli maupun aqli sebagai
landasan hidup tanpa ekstrim kanan ataupun ekstrim kiri. Hal itu dikarenakan
Islam itu sesuai dengan perkembangan zaman, maka bersyukurlah kita terlahir
sebagai umat Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian dari klasifikasi ayat dan Hadits
dalam materi Al-Qur’an Hadits ?
2.
Bagaimana pengklasifikasian ayat Makkiyah dan
madaniyah dalam materi Al-Qur’an Hadits ?
3.
Bagaimana pengklasifikasian Hadits dalam materi Al-Qur’an Hadits ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari klasifikasi ayat
dan Hadits dalam materi Al-Qur’an
Hadits .
2.
Untuk mengetahui pengklasifikasian ayat Makkiyah
dan madaniyah dalam materi Al-Qur’an Hadits .
3.
Untuk mengetahui pengklasifikasian Hadits dalam materi Al-Qur’an Hadits .
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peta Konsep Pembahasan
B.
Pengertian Klasifikasi
Secara harfiah arti klasifikasi adalah penggolongan atau pengelompokkan.
Ada beberapa pengertian mengenai klasifikasi, Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia klasifikasi adalah penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan
menurut kaidah atau standar yang ditetapkan.
Menurut
Sulistyo-Basuki dalam Prastowo berasal dari kata Latin classis, artinya adalah proses pengelompokan, yaitu mengumpulkan benda yang
sama dan memisahkan benda yang tidak sama. Pada kacamata lainnya yakni menurut Ibrahim Bafadal dalam Prastowo mengungkapkan bahwa klasifikasi
adalah berasal dari kata classification (bahasa inggris). Berasal dari kata to classify, yang mempunyai arti menggolongkan dan
menempatkan benda-benda yang sama dalam
suatu wadah atau tempat.[1] Maka dalam Al Qur’an juga ada
pengklasifikasian ayat-ayatnya, sedangkan dalam hadits juga ada
pengelompokkan berdasarkan kriteria tertentu.
Seperti yang kita
ketahui pengklasifikasian ayat dalam Al-Qu’an terbagi atas 2 yaitu makkiyah dan
madaniyah. Pengklasifikasian ayat dalam Al-Qur’an bergantung pada situasi ayat
tersebut turun. Para ‘ulama sejak dahulu menggunakan berbagai metode untuk
mengetahui apakah suatu ayat termasuk makkiyah atau madaniyah.
Menurut
Al-Jabiri: “untuk mengetahui makkiyah dan madaniyah surat-surat al-Qur’an ada
dua, yaitu: Sama’i (jalan riwayat) dan Qiyasi (jalan
membanding-bandingkan yang satu dengan yang lain).”
Setelah metode
yang dikemukakan Al-Jabiri muncul, kemudian adapula beberapa teori pendukung
dalam merumuskan pengertian makkiyah dan madaniyah. Sementara klasifikasi hadits
dibagi menjadi banyak klasifikasi, yaitu pengklasifikasian berdasarkan
kualitas perawi[2],
pengklasifikasian hadits berdasarkan kuantitas perawi, munculnya hadits
maudhu’ atau hadits palsu.[3]
C.
Pengklasifikasian Ayat Makkiyah Dan Madaniyah
1.
Pengertian dan Cara Mengetahui Surat Makkiyah serta Madaniyah
Dalam pengklasifikasian ayat Al Qur’an yang
sering dibahas adalah Makkiyah dan Madaniyah. Makkiyah sendiri adalah ayat-ayat
Al Qur’an yang turun sebelum hijrah dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun
setelah hijrah, meskipun turunnya di Mekkah, Madinah atau manapun itu.[4]
Makkiyah yaitu bagian Al Qur’an yang diturunkan
sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah meskipun diturunkan di luar wilayah
kota Mekkah, dan ayatnya mengandung pokok-pokok akidah, ibadah dan muammalah. Sedangkan
Madaniyah yaitu bagian Al Qur’an yang diturunkan setelah Rasulullah SAW hijrah
ke Madinah meskipun diturunkan di kota Mekkah, dan ayatnya mengandung
penjabaran dan penjelasan tenatnag ayat-ayat atau surah-surah yang diturunkan
di Mekkah.[5]
Studi tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
sesungguhnya tidak lebih dari memahami pengelompokkan ayat-ayat Al Qur’an
berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Dalam pengklasifikasian ayat-ayat Al Qur’an
terdapat dua jenis yaitu Makkiyah yaitu ayat-ayat Al Qur’an yang turun sebelum
hijrah. Sedangkan Madaniyah yaitu aya-ayat Al Qur’an yang turun setelah hijrah
Dari pengetahuan mengenai Makkiyah
dan Madaniyah ini, sekurang-kurangnya akan didapati tiga faedah, yaitu:
a.
Mengetahui ayat-ayat mana saja yang nasihkh dan
ayat-ayat mana saja yang mansukh bila terlihat adanya dua ayat yang berbeda
pesan.
b.
Bahwa makna dan pesan yang dikandung ayat
tertentu sering kali berkaitan dengan sebab tertentu pada kasus dan tempat
kejadian tertentu pula. Dengan adanya klasifikasi ini, usaha memahami ayat Al
Qur’an secara benar akan sangat terbantu dan kekeliruan akan dapat ditekan
sekecil mungkin.
c.
Bahwa kehidupan Rasulullah SAW adalah uswatun
hasanah, suri tauladan bagi setiap mukmin. Dengan melihat ayat-ayat yang turun
di Mekah dan Madinah, akan diketahui pendekatan pembinaan pribadi maupun
masyarakat mukmin yang dilakukan Al
Qur’an (masyarakat Mekah adalah masyarakat yang berbeda dengan Madinah, dan
kondisi umat maupun kalangan muslim stelah Rasululllah SAW.)[6]
2.
Manfaat mengetahui makkiyah dan Madaniyah antara lain yaitu:
a.
Mengetahui nama yang diturunkan lebih dahulu
dan mana yang kemudian
b.
Mengetahui nasikh (yang yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus)
c.
Meresapi gaya bahasa Al Qur’an dengan
menghayati peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al Qur’an
asbabun nuzul) dan realita kehidupan kaum muslim pada setiap periode sejarah.
d.
Mengahayati perjalanan hidup Rasulullah melalui
ayat-ayat Al Qur’an.[7]
3.
Para ulama membagi Perbedaan Makkiyah dan
Madaniyah, antara lain:
a.
Berdasarkan waktu, inilah yang populer
dikalangan musafirin, bahwa telah menjadi kesepakatan dikalangan mereka bahwa
suratatau ayat yang diturunkan sebelum hjrah adalah Makkiyah, sedangkan yang
diturunkan setelah hijrah adalah Madaniyah. Dlaam hal ini tempat bukan menjadi
ukuran. Mislanya al-Maidah ayat 3 adalah Madaniyah meskipun diturunkan di
Arafah-Mekkah
b.
Berdasarkan tempat, jika diturunkan di Mekah
(meliputi Mina, Arafah, dan Hudaibiyah) berarti Makkiyah. Jika diturunkan di
Madinah (meliputi Badar dan Uhud) berarti Madaniyah
c.
Berdasarkan khitab, yaitu seruan yang
disampaikan. Jika ditujukan kepada penduduk Mekkah maka Makkiyah, jika dtujukan
kepada penduduk Madinah maka berarti Madaniyah.[8]
4.
Ketentuan makkiyah dan ciri khasnya
Ketentuan makkiyah dan ciri khasnya antara lain
sebagai berikut:
a.
Setiap surah yang didalamnya mengandung
“sajdah” maka surah itu makkiyah
b.
Setiap surah yang mengandung lafal كَلاَّ berarti Makkiyah. Lafal ini hanya terdapat dalam seapruh
terakhir dari Quran. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima
belas surah.
c.
Setiap surah yang mengandung yaa ayyuhal
lazina amanu berarti Makkiyah, kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah
terdapat yaa ayyuhal lazina amanur-ka’u wasjudu. Namun demikian sebagian
besar ulama berpendapaat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makkiyah
d.
Setiap surah yang mengandung kisah para nabi
dan umat terdahulu adalah Makkiyah, kecuali surah Baqarah
e.
Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf
singkatan atau huruf muqattaha’, seperti Alim Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha mim dan
lain-lainnya, adalah Makkiyah, kecuali surah Baqarah atau Ali Imron . sedang
surah Ra’d masih dipersilihkan.
Sedangkan dari segi ciri tema dan gaya bahasa
dapatlah diringkas sebagai berikut:
a.
Ajakan tauhid dan beribadah hanya kepada Allah
b.
Pembuktian mengenai risalah
c.
Kebangkitan dan had pembalasan , had kiamat dan
kengeriannya, neraka dan dan siksaanya, surga dan nikmatnya.
d.
Argumentasi terhadap orang musyrik dengan
menggunakan bukti-bukti rasional
e.
Ayat-ayat kauniah
f.
Peletakan dasar-dasar umum bagi
perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu
masyarakat.
g.
Penyingkapan dosa orang musyrik dalam
penumpahan darah, memakan harta anak yaitim secara zalim, kasus penguburan hidup-hidup
bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya
h.
Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat
terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang
mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasullullah
i.
Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata
yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan
terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanyapun menyakinkan dengan
diperkuat lafal-lafal sumpah seperti surah yang pendek-pendek.[9]
1) Terdapat kata kalla
(كَلاَّ ) Di sebagian besar atau
seluruh ayatnya.
2) Terdapat sujud
tilawah di sebagian atau seluruh ayat-ayatnya
3) Diawali huruf
tahajji seperti qof (ق) nun
(ن) dan ha min (حم)
4) Memuat kisah
Adam dan iblis (kecuali surah al Baqarah)
5) Memuat kisah
para nabi dan umat-umat terdahulu.
6) Di dalamnya
terdapat khitab (seruan) kepada semua manusia (wahai semua manusia).
7) Menyeru dengan
kalimat “anak Adam”
8) Isinya memberi
penekanan pada masalah akidah
9) Ayatnya
pendek-pendek.[10]
5.
Ketentuan madaniyah dan ciri khasnya
a.
Terdapat kalimat “orang-orang yang beriman”
pada ayat-ayatnya
b.
Terdapat hukum-hukum faraidh, hudud qishash,
dan jihad di dalamnya
c.
Menyebut “orang-orang munafik” (kecuali al
Ankabut)
d.
Memuat bantahan terhadap ahlu kitab (Yahudi dan
Nasrani)
e.
Memuat hukum syara’, seperti ibadah, muammalah,
dan al ahwal syakhsiyah
f.
Ayatnya panjang-panjang[11]
Dari segi khas tema dan gaya bahasa dapat
diringkas sebagai berikut:
a.
Menjelaskan tenatnag bab ibadah, muammalah,
had, kekeluargaaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik
di waktu damai maupun tenang.
b.
Kaidah hukum dan masalah perundang-undangan
c.
Seruan terhadap Ahli kitab dari kalangan Yahudi
dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai
penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap
kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa
dengki diantara sesama mereka.
d.
Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisa
kejiwaannya, membuka kedoknya dan menyebabkan bahwa ia berbahaya bagi agama.
e.
Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan
dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan
sasarannya.[12]
Isyarat atau ciri-ciri yang lazim disebut
dhawabit, baik itu pada Madaniyah maupun Makkiyah, bukanlah sesuatu yang pasti.
Ketetapan itu diambil berdasarkan taghlib, yakni kebnayakan atau kebiasaan.
Dengan demikian selanjutnya bisa disusun semacam pengelompokkan surah-surah Al
Qur’an sebagai berikut:
a.
Surat Makkiyah yang keseluruhan ayat-ayatnya
Makkiyah. Mislanya surat al Mudatsir. Juga surat Madaniyah yang keseluruhannya
Madaniyah pula. Mislanya surat Ali Imron.
b.
Surat Makkiyah yang sebagian besar ayat-ayatnya
Makkiyah, kecuali beberapa ayat lainnya dengan Madaniyah. Mislanya surat al
A’raf. Hampir keseluruhan ayat dalam surat ini adalah Makkiyah, kecuali ayat
163 sampai dengan ayat 171.
c.
Surat Madaniyah yang hampir keseluruhan ayatnya
Madaniyah, kecuali beberapa ayat. Misalnya, surat al Hajj yang keseluruhan
ayatnya Madaniyah, kecuali empat ayatnya yang Makkiyah, yaitu ayat 52 sampai
dengan 55.
6.
Surat-surat yang turun di Mekah
Imam Badarudin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi dalam kitabnya berjudul
Al-Burhan fi ulum Al Qur’an menulis bahwa surat-surat yang turun di Mekah
berjumlah 83 buah. Angka ini berbeda dengan yang disodorkan Ibnu Jarih dalam
Al-Fihrist. Tokoh yang disebut terakhir ini meriwayatkan dengan sumber dari
‘Atha’ dari Ibnu Abbas, menurutnya “ surat yang turun di Mekah berjumlah 85
buah dan yang turun di Madinah 28 buah”. Bila disimak lebih jauh, sesungguhnya
perbedaan antara kedua pendapat diatas bukan sekedar pada angka, tetapi juga
pada urutannya. Misalnya surah Al-Insyiroh menurut urutan yang disusun Ibnu
Nadim dengan sanad Muhammad bin Nu’man bin Nasyir seperi dimuat Al-Fihrost,
surat ini ditempatkan di urutan ke-8, sedangkan Al-zarkasyi menetapkan pada
urutan ke 11.
Berikut ini adalah kronologi turunnya ayat-ayat Al Qur’an di Mekah
menurut kitab Al-Fihrist:
1) Iqra’ sampai
dengan Maa lam ya’lam |
2) Nun wa
AlQalam |
3) Ya ayyuha Al
Muzammil |
4) Al Mudatsir |
5) Tabbat (surat
al Lahab) |
6) Idza al
Syamsu kuwiirat (at Takwir) |
7) Abbih isma
rabbika (al A’la) |
8) Alam nasyrah
(al Insyiroh) |
9) Al-Ashr |
10) Al-Fajr |
11) Wa al Dhuha |
12) Wa al-Laili |
13) Wa al-Adiyat |
14) Inna
A’tahianaka (al-Kautsar) |
15) Alhakumu
al-Takatsur |
16) Araita
alladzi yukadzdzibu bi al-Din |
17) Qul yaa
ayyuha al-Kafirun |
18) Alam tara
kayfa (al-Fill) |
19) Qul huwa
Allahu Ahad (al-Ikhlash) |
20) Qul a’udzu bi
rabbi al-Nas ( al-Nas) |
21) Qul a’udzu bi
rabbi al-Falaq (al-Falaq) |
22) ‘Abasa |
23) Wa al-Njam
(al-Najm) |
24) Wa al-Syamsi |
25) Wa al-Tin |
26) Inna
anzalnahu (al-Qadr) |
27) Al-Qariah |
28) Wa al Sama’I
zati al-Buruj (al-Buruj) |
29) Al-Humazah |
30) Li ilafi
Quraisyin (Quraisy) |
31) Qafa wa
a-Quran |
32) La uqsimu bi
yaumi (al-Qiyamah) |
33) Al-Rahman |
34) Al-Mursalat |
35) Yasin |
36) La uqsimu bi
hadza al-Balad (Al-Balad) |
37) Al-Furqon |
38) Qul Uhiya
(al-Jin) |
39) Alhamdulillahi
fathiri al-Samawat |
40) Alif Lam Mim
Shad |
41) Thaha |
42) Al-Malaikah |
43) Tha Sin mim
(al-Syuara’) |
44) Maryam |
45) Tha Sin Mim
(al-Akhirah) |
46) Idza Waqaat
(al-Waqiah) |
47) Hud |
48) Tha Sin |
49) Yunus |
50) Bani Israil |
51) Al-Shaffat |
52) Yusuf |
53) Qaf afalaha
al-Mukminun (al-Mukminun) |
54) Al-hijr |
55) Al-Anbiya’ |
56) Luqman (ayat
akhirnya Madaniyah) |
57) Ha mim al-Mukminun |
58) Saba’ |
59) Ha mim ‘Ain
Sin Qaf |
60) Al-Zumar |
61) Ha mim
al-Dukhan |
62) Al-Sajdah |
63) Ha mim
al-Ahqaf |
64) Al-Zukhruf |
65) Ha ataka Hadits
u al-Ghasyiyah |
66) Ha mim
al-Syari’ah |
67) An-An’am |
68) Dzariyat |
69) Nuh |
70) Al-Sajdah |
71) Al-Kahfi
(ujungnya madaniyah) |
72) Al-Mulk |
73) Al-nahl |
74) Sa’ala Sailun |
75) Ibrahim |
76) Al-Nazilat |
77) Al-Thur |
78) Al-Insyiqaq |
79) Al-Haqqah |
80) Al-Ankabut |
81) An-Naba’ |
82) Iqtarabat
al-Sa’ah |
83) Al-Infithar |
|
7.
Surat-surat yang turun di Madinah:
1 |
Al-Baqarah |
15 |
Ida ja’a Nashrullah |
2 |
Al-Anfal |
16 |
Al-Nur |
3 |
Al-A’raf |
17 |
Al-Hajj |
4 |
Ali Imron |
18 |
Al-Munafiqun |
5 |
Al-Muntahanah |
19 |
Al-Mujadalah |
6 |
Al-Nisa’ |
20 |
Al-Hujurat |
7 |
Idza Zulzilat al-Ardh |
21 |
Ya Ayyuha al-nabiyu lima tuharrimu
(al-Tahrim) |
8 |
Al-Hadits |
22 |
Al-Jumuah |
9 |
Alladzina Kafaru |
23 |
At Taghabun |
10 |
Al-Ra’d |
24 |
Al-Hawariyun |
11 |
Hal ata ‘ala al-Insan |
25 |
Al-Fath |
12 |
Ya Ayyuha al-Nabiyu idza
thallaqtum al-Nisa’ |
26 |
Al-Maidah |
13 |
Lamyakun alladzina kafaru |
27 |
Al-Taubah |
14 |
Al-Hasyr |
28 |
Al-Mua’awwizatain (al-Falaq dan
an-Nas) |
8.
Ayat-ayat yang turun di Mekkah dan Hukumnya
Madaniyah
Ayat-ayat yang turun di Mekkah dan
Hukumnya Madaniyah adalah sebagai berikut:
a.
Ayat 13 surat al-Hujurat
b.
Ayat 3-5 surat al-Maidah
Ayat 13 surat al-Hujurat turun pada
waktu fathu Mekkah. Ayat ini dinyatakan Madaniyah karena turun sesudah hijrah,
dan tiga ayat surat Al-Maidah yaitu ayat 3,4, dan 5 turun pada hari jumat. Kala
itu umat Islam tengah wukuf di Padang Arafah dalam peristiwa haji Wada’. Haji
ini dilaksanakan Rasulullah setelah beliau berhijrah. Maka, ketiga ayat di
atas, diklasifikasikan sebagai ayat-ayat Madaniyah kendati pun turun di Arafah
dan seperti diketahui Arafah adalah kawasan di sekitar Mekkah.
9.
Ayat-ayat yang turun di Madinah dan Hukumnya
Makkiyah
Ayat-ayat
yang turun di Madinah dan hukumnya Makkiyah adalah sebagai berikut:
a. Al-Mumtahanah
b. Ayat 41
surat al-Nahl
Surat
al-Mumtahanah turun ketika Rasulullah hendak berangkat menuju Mekkah menjelang
Fuuh Mekkah. Ini terjadi setelah hijrah. Kisahnya sebgai berikut: mengetahui
Rasulullah hendak berangkat ke Mekkah, seorang bernama Hattab bin Abi Balta’ah
menulis surat untuk disampaikan kepada kaum Quraisy di Mekkah, yang isinya
menginformasikan rencana Rasulullah dan kaum muslimin yang akan berangkat ke
kota yang disebut paling terakhir
c.
Awal surat al-Taubah sampai
dengan ayat 28
Ayat-ayat
ini sesungguhnya Madaniya, tetapi khitabnya ditujukan kepada penduduk Mekkah.
10. Makkiyah
mirip Madaniyah
Pada
pembahsan terdahulu disinggung kasus ayat 32 surah al-Najm, disana ada kata ….
Yang statusnya bisa jadi membingungkan banyak orang karena hampir semua ulama
mendefinisikannya sebagai “ pelanggaran hukum yang mengakibatkan had”. Padahal
sebelum Rasululllah meninggalkan Mekkah menuju Madinah untuk berhijrah, hukuman itu belum dikenal.
Ayat-ayat seperti inilah yang disebut Makkiyah mirip Madaniyah
11. Madaniyah
mirip Makkiyah
a. Ayat 17 surah al-Anbiya’ yang turun ehubungan dngan kedatangan
delegasi kaum Nasrani Najran.
b. Ayat 1 surah al-Adiyat
c. Ayat 32 surah al-Anfal
Selain itu terdapat
ayat-ayat yang turun di beberapa tempat yaitu:
a.
Di al-Juhfah turun ayat 85
syrat al-Qashas
b.
Di Bait al-Maqdis, Palestina turu ayat 45 surah
al-Zukhruf
c.
Di Thaif turun ayat 45 surah al-Furqon dan ayat 22, 23,
dan 24 surah al-Insyiqaq
d.
Di hudaibiyah turun ayat 30 surah al-Ra’d
12.
Ayat-ayat yang turun pada malam hari
a.
Ayat 1surah al-Hajj . ayat ini turun ketika terjadi
peperangan Bani Al-Muthaliq
b.
Auyat 67 surah al-Maidah
c.
Ayat 56 surah al-Qashas
d.
Ayat 190 sampai akhir surat Ali Imron, yang berarti
keseluruhannya berjumlah 10 ayat.
e.
Surah al-An’am. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
berkata: “ surah al-An’am turun di Mekkah sekaligus pada mlam hari, dikawal
seribu malaikat dengan mengumandangkan tasbih.
f.
Surah Maryam. Diriwayatkan dari Abu Maryam
al-Ghassaniy, berkata: “ aku pernah mendatangi Rasulullah lalu kukatakan, aku
punya tetangga yang malam ini melahirkan bayi wanita, beliau (Rasulullah) lalu
mengatakan “malam ini diturunkan kepadaku surah Maryam, berilah dia nama
Maryam”
13.
Ayat-ayat yang turun pada musim dingin
a.
Ayat 11 surah an-Nur
b.
Ayat 9 surah al-Ahzab
14.
Ayat-ayat yang turun diperjalanan
a.
Ayat 281 surah al-Baqarah, turun di di Mina pada
tahun terjadinya haji Wada’
b.
ayat 58 surah an-Nisa’, ayat ini turun kepada Nabi
Muhammad pada hari futuh saat beliau di Ka’bah.
c.
Ayat 176 surah an-Nisa’
d.
Ayat 3 surah al-Maidah, turun di Arafah pada waktu
haji Wada’.
15.
Ayat-ayat yang turun musyaya’
Musyaya’ artinya diirigi, dikawal dan diantar.
Ada bebrapa ayat Al Qur’an yang ketika trun dikawal sejumlah malaikat sebagai
penghormatan. Ayat-ayat tersebut dinamakan ayat
musyaya’,yaitu:
a.
Al Fatihah. Surah ini ketika turun dikawal
30.000 malaikat
b.
Ayat Kursiy, ketika turun dikawal 30.000
malaikat
c.
Surat Yunus, surah ini ketika turun dikawal
70.000 malaikat
d.
Surah al-An’am surah ini ketika turun dikawal
20.000 malaikat
e.
Ayat 45 surah al-Zukhruf surah ini ketika turun
dikawal 20.000 malaikat.
D.
Pengklasifikasian Hadits
Hadits secara
harfiah mempunyai arti perkataan
atau percakapan. Secara istilah, Hadits memiliki arti mencatat sebuah
pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi kata Hadits telah
mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, sehingga bisa berarti segala
perkataan, perbuatan,
ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan atau hukum.
Struktur Hadits
terdiri atas dua komponen utama
yakni sanad atau isnad
(rantai penutur) dan matan (redaksi). Sanad yaitu
orang yang menyampaikan Hadits dalam suatu kitab berdasarkan atas apa yang pernah didengar
dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Orangnya disebut perawi Hadits , sedangkan perbuatannya menyampaikan Hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan Hadits
. Sanad terdiri atas
seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat Hadits tersebut dalam bukunya hingga mencapai
Rasulullah SAW. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.[13]
Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad Hadits bersangkutan adalah:
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah
> Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah Hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah
penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut
dengan thaqabah. Jadi yang perlu dicermati dalam
memahami Hadits terkait dengan
sanadnya ialah: Keutuhan sanadnya, jumlahnya, dan perawi akhirnya. Komponen
kedua dari Hadits adalah matan,
yaitu redaksi dari Hadits atau
isi pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang
terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah SAW
atau para sahabat ataupun tabi'in, maupun isi pembicaraan itu tentang perbuatan
Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam penyebutan nama perawi, selain perawi tunggal, terdapat
tujuh penyebutan istilah yang masyhur dalam pemberitaan Hadits , yaitu:
1.
As Sab'ah
berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu: Ahmad, Bukhari, Muslim,
Turmudzi, Nasa'i, Abu Dawud dan Ibnu Majah
2.
As Sittah
berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu: Semua nama yang tersebut diatas
(As Sab'ah) selain Ahmad
3.
Al Khomsah
berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu: Semua nama yang tersebut diatas
(As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim
4.
Al Arba'ah
berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu: Semua nama yang tersebut diatas
(As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
5.
Ats Tsalasah
berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu: Semua nama yang tersebut diatas
(As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
6.
Asy Syaikhon
atau al-muttafaq alaih, berarti diriwayatkan oleh dua
orang perawi yaitu: Bukhari dan Muslim
7.
Al Jama'ah
berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari
tujuh perawi atau As
Sab'ah).
1. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitas Rawi
Klasifikasi Hadits menurut kualitas rawi sehingga dapat diterima atau ditolaknya Hadits sebagai hujjah (dasar hukum) ada tiga, yaitu shohih, hasan, dhoif.
a.
Hadits Shohih
Menurut arti
lughat kata shohih artinya lawan dari saqim, yang berarti
sehat lawan sakit, haq lawan bathil. Menurut istilah yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal (syadz). Illat Hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang
samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu Hadits .[14]
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus
memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil[15],
yaitu:
• Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan
maksiat.
• Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan
santun.
• Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan
iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
• Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan
dengan dasar Syara'.
Kedhabitan
rawi adalah orang yang
terpelihara ingatannya, ingatannya kuat lebih banyak daripada kesalahannya. Dhabit
ada dua macam yaitu dhabit ash-shadri (perawinya adalah seorang yang
mempunyai daya hafal dan ingatannya sangat kuat, tingkat pemahamannya sangat
tinggi, ingatannya mulai saat menerima sampai menyampaikan kepada orang lain
mampu dikeluarkan kapanpun dan dimanapun berada), dan dhabit al kitab (perawinya
adalah seorang yang cermat memelihara catatan atau kitab yang diterima.
Unsur-unsur dhabit; 1) tidak pelupa, 2) hafalannya kuat dan terjaga
kitabnya dari kelemahan, 3) menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya
serta maknanya. Rawi yang adil dan dhabit disebut tsaqit.[16]
Musnad berarti bersambunya sanad dan marfu’nya
matan, yaitu selamat dari keguguran, tiap-tiap rawi bertemu dan saling
menerima secara langsung dari guru yang memberinya atau mengajarinya. Matan
marf’u berarti idhafah kepada Rasulullah SAW.
Tanpa ‘illat
dan tidak ada syadz. ‘illat Hadits adalah penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai keshahihan Hadits , contohnya seperti, meriwayatkan Hadits secara muttashil terhadap Hadits munqathi’ atau sisipannya ada pada matan
Hadits . Syadz atau kejanggalan Hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu Hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul
dengan Hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat daripadanya, dikarenakan kelebihan
jumlah sanad dalam kedhabitan atau segi-segi tarjih lainnya.
Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih li
dzatihi dan shahih li ghairihi.
Shahih li dzatihi adalah Hadits shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara
maksimal, seperti yang telah disebutkan di atas. Adapun Hadits shahih li ghairihi
adalah Hadits shahih yang tidak
memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya, rawinya yang adil tidak
sempurna ke-dzabit-annya (kapasitas intelektualnya rendah). Bila jenis ini
dikukuhkan oleh jalur lain semisal, maka ia menjadi shahih lil ghairihi. Dengan demikian, shahih
li ghairihi adalah
Hadits yang keshahihannya
disebabkan oleh faktor lain karena memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Disebut Hadits shohih
Ligairihi karena keshahihannya tidak datang dari sanadnya itu sendiri, akan
tetapi datang karena dikuatkan oleh yang lainnya. Misalnya, Hadits Hasan yang
diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajat dari derajat hasan
ke derajat shahih (Hadits Hasan li
dzatihi).[17]
Hadits shahih
yang paling tinggi derajatnya adalah Hadits yang bersanad ashahul sanad, kemudian
berturut-turut sebagai berikut:
1) Hadits shahih bersanad ashah al-asanid, yaitu
sanad yang paling tinggi martabatnya karena rangkaian rawi dalam sanad Hadits
terdiri dari rawi-rawi yang paling
tinggi derajat adil dan dhabit-nya, meliputi:
a) Zain Al’Abidin, Ali
Bin Abu Thalib
b) Malik, Nafi’,
‘Abdullah Ibn Umar
c) Ibn Syihab Az-Zuhri,
Salim
2) Hadits muttafaq ‘alaih yaitu sanadnya yang disepakati oleh bukhari
muslim.
3) Hadits yang
diriwatkan oleh imam bukhari sendiri (infarada bih al-bukhari).
4) Hadits yang
diriwayatkan oleh imam muslim sendiri (infarada bihi muslim).
5) Hadits shahih yang
diriwatkan menurut syarat-syarat Bukhari
dan Muslim (Shahihun ‘ala
syarthi al bukhari wa muslim), artinnya rawi-rawi Hadits
yang dikemukakan ada di dalam kedua
kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, walaupun kedua imam
tersebut tidak men-takhrij-nya.
6) Hadits shahih
menurut syarat bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya (Shahihun ‘ala syarthi al
bukhari).
7) Hadits shahih
menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri tidak men-takhrij-nya (Shahihun ‘ala syarthi muslim).[18]
b.
Hadits Hasan
Hadits
Hasan adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil,
tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak
terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk Hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat
sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
Sama halnya
dengan martabat Hadits shahih, tinggi
rendahnya martabat hadits hasan pun karena perbedaan ke-dhabith-an
dan keadilan rawi, urutannya adalah:
1)
Hadits hasan dengan hasan al asanid, meliputi:
a)
Bahaz ibn Hakim, Hakim ibn Muawiyyah, Muawiyyah
ibn Haidah.
b)
Amr ibn Syuaib, Syuaib ibn Muhammad, Muhammad ibn
Abdullah.
2)
Hadits hasan li dzatihi
3)
Hadits hasan li ghairihi[19]
c.
Hadits Dhoif
Hadits
Dhoif secara makna berarti lemah adalah Hadits
yang kehilangan satu syarat atau
lebih dari syaratsyarat Hadits shohih atau Hadits Hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai
perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya
syarat-syarat hadits shohih atau hasan
yang tidak dipenuhinya.
1) Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan
perawinya:
a)
Hadits Maudhu' adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka nisbahkan
kepada sabda Rasulullah SAW, baik disengaja maupun tidak.
b) Hadits
Matruk
adalah hadits yang menyendiri
dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam per-hadits-an.
c) Hadits
Munkar
adalah hadits yang menyendiri
dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak
kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta.
d) Hadits
Mu'allal adalah
hadits yang waham (purbasangka) tampaknya baik, akan tetapi setelah diadakan
penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini karena salah sangka dari rawinya
menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa
diketahui oleh orang-orang yang ahli Hadits .
e) Hadits
Mudraj
(saduran) adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits .
f) Hadits
Maqlub
adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau
mengakhirkan.
g) Hadits
Mudltharrib
adalah Hadits yang menyalahi
dengan Hadits lain terjadi dengan
pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang
dapat ditarjihkan.
2)
Klasifikasi Hadits Dhoif
berdasarkan kecacatan sanadnya:
a)
Hadits Muallaq, adalah hadits yang gugur sanad pertamanya, rawi yang menyampaikan
hadits kepada mudawin.
b)
Hadits
Mursal, adalah sanad terakhir dari rawi (sahabat) ,
yakni tabiin yang menisbahkan matan kepada Rasulullah SAW tanpa
menyebutkan dari sahabat mana dia menerimanya. Hadits Mursal dibagi lagi
menjadi tiga:
(1)
Mursal
Jali, adalah pengguguran telah dilakukan rawi (tabiin)
dapat diketahui secara jelas.
(2)
Mursal
Shahabi, adalah pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW yang menyaksikan semasa Rasulullah SAW hidup, namun dia masih
kecil atau terakhir masuknya ke Islam.
(3)
Mursal
Khafi, adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabiin yang
hidup semasa dengan sahabat, tetapi dia tidak pernah mendengar satu hadits pun
darinya.
c)
Hadits Mu’dhal, adalah hadits yang gugur dua orang perawi
atau lebih secara berturut.
d)
Hadits Munqathi’, adalah hadits yang gugur rawinya seorang
atau lebih tapi tidak secara berturut-turut.
3) Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan matannya (yang matannya tidak disandarkan kepada
Rasulullah SAW):
a)
Mauquf, adalah penisbatan matan kepada sahabat.
b)
Maqthu’, adalah penisbatan matan kepada tabiin.[20]
2. Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawinya
a. Hadits Mutawatir
Secara bahasa, mutawatir berarti mutatabi
yaitu sesuatu yang beriringan antara satu dengan lainnya serta tidak ada
sekat diantara keduanya. Secara istilah, hadits mutawatir adalah hadits
yang diriwayatkan oleh orang banyak berdasarkan pengamatan pancaindera atas
adat kebiasaan mereka yang mustahil untuk berdusta.[21]
Syarat-syarat hadits mutawatir dinyatakan
valid ke-mutawatir-annya, yaitu:
1)
Diriwayatkan oleh perawi yang banyak
2)
Keseimbangan antarperawi dalam thabaqat
pertama dan thabaqat lainnya.
3)
Berdasarkan penglihatan langsung atau empiris
Klasifikasi hadits mutawatir, meliputi
sebagai berikut:
1)
Mutawatir
Lafdzi
Hadits Mutawatir
Lafdzi adalah hadits
yang diriwayatkan oleh orang banyak
yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat satu dengan
lainnya.
2)
Mutawatir
Ma‟nawi
Hadits mutawatir Ma‟nawi adalah hadits yang lafal dan maknanya berlainan antara satu
riwayat dengan riwayat lainnya, tetapi terdapat kesesuaian makna secara umum (kulli). Hadits ini mencapai 30 hadits jumlahnya,
bahkan ada yang mengatakan ratusan, dengan redaksi yang berbeda namun sama
dalam satu persamaan.
3)
Mutawatir Amali
Hadits Mutawatir Amali adalah sesuatu yang
diketahui dengan mudah bahwa ia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara
umat islam bahwa Raulullah SAW mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain itu. (sesuai
ta’rif ijma’). Hadits ini jumlahnya sangat sedikit, seperti hadits
tentang shalat, zakat, haji, kadar zakat harta, dan sebagainya.[22]
b. Hadits Ahad
Hadits ahad
adalah Hadits yang jumlah rawinya
tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak
memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.
1)
Hadits Masyhur
Hadits Masyur
adalah Hadits yang diriwayatkan
oleh tiga orang atau lebih pada satu thabaqah tidak
mencapai derajat mutawatir, seperti hadits tentang niat yang diriwayatkan oleh muttafaq
‘alaih. hadits ahad masyhur sendiri terbagi lagi menjadi:
a)
Masyhur dikalangan Muhadditsin dan lainnya.
b)
Masyhur dikalangan ahli ilmu tertentu, misal usul
fiqh, akhlak, hukum dan sebagainya.
c)
Masyhur dikalangan orang umum,
2)
Hadits ‘Aziz
Hadits ‘Aziz adalah hadits
yang diriwayatkan oleh dua orang,
walaupun dua orang tersebut
terdapat pada satu thabaqah[23]
saja, kemudian orang-orang
meriwayatkannya.
3)
Hadits Gharib
Hadits Gharib
adalah hadits yang diiriwayatkan oleh seorang rawi yang
menyendiri dalam meriwayatkan baik menyendiri orangnya, yakni tidak ada orang
yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau
keadaan rawi, artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan
keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadits tersebut.
Hadits Gharib
dibagi ke dalam
dua macam jika ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi.
a)
Hadits Gharib muthlaq, yaitu hadits itu terdapat
penyendirian mutlak. Seperti hadits tentang malu merupakan salah satu
cabang iman yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih. hadits tersebut
diterima oleh Abu Hurairah dan dari Abu Hurairah hanya diterima oleh Abu Shalih
kemudian diterima oleh Abdullah ibn Dinar, kemudian hanya diterima oleh
Sulaiman Ibn Bilal, kemudian diterima oleh Abu Amir, kemudian diterima oleh
Ubaidillah Ibn Said dan Abd Ibn Humaid, kemudian diterima oleh Muslim.
b)
Hadits Gharib nisby
Hadits Gharib nisby adalah hadits yang terdapat
penyendirian dalam sifat atau keadaan tertentu seorang rawi.
(1)
Penyendirian tentang sifat keadilan, ke-dhabit-an
rawi.
(2)
Penyendirian tentang kota atau tempat tinggal
tertentu yaitu hadits yang diriwayatkan hanya oleh perawi dari kota atau
daerah tertentu, misal Mekkah, Madinah, Kuffah, Basrah saja.
(3)
Penyendirian tentang meriwayatkannya dari rawi
tertentu.
(4)
Penyendirian dari segi matan yaitu matan
hadits yang diriwayatkan itu berbeda dari periwayatan rawi-rawi lainnya.[24]
3.
Hadits Maudhu’ atau hadits palsu
Al Maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata wadha’a, yadha’u, wadh’an yang
berarti meletakkan, membuat-buat, mengada-ada serta meninggalkan. Menurut
istilah hadits maudhu’ adalah hadits yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW secara dibuat-buat, dan dusta secara paksa baik sengaja dibuat maupun
tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan dan tidak melakukannya.
Latar belakang
munculnya hadits maudhu’ atau palsu ini tidak hanya dilakukan oleh
orang-orang Islam secara historisnya, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang
yang non-Islam juga. Beberapa faktor pendorongnya yaitu:
a)
Pertentangan politik
b)
Usaha kaum Zindiq
c)
Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, bahasa,
negeri, dan pimpinan
d)
Memengaruhi terhadap kaum awam dengan kuliah dan
nasihat
e)
Perselisihan dalam fiqih dan ilmu kalam
f)
Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti
yang dilakukan
g)
Menjilat penguasa
Patokan dasar untuk mengetahui hadits palsu:
a)
Atas dasar pengakuan para pembuat hadits palsu,
seperti pengakuan Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam bahwa telah membuat hadits tentang
fadhilah membaca Al Qur’an, surat demi surat dan sebagainya.
b)
Fasidul ma’na atau maknanya rusak. Ibnu Hajar menjelaskan
rusaknya makna ini dititikberatkan pada kerusakan arti karena periwayatan hadits
tidak harus bi al lafdzi, tetapi ada yang bi al ma’na, kecuali
apabila lafadznya dari Rasul, dikatakan hadits palsu.
c)
Matan-nya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan kedua
pedoman yaitu Al Qur’an dan Hadits yang lebih kuat atau ijma’.
d)
Matan-nya bertentangan dengan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil .
misalnya hadits tentang anak hasil perzinaan tidak akan masuk surga
hingga tujuh turunan, hal ini bertentangan dengan Al Qur’an surat Al An’am ayat
164.
e)
perawinya dikenal sebagai orang pendusta.
Ciri-ciri hadits maudhu’, diantaranya:
a)
ciri-ciri terdapat pada sanadnya
ciri terpentingnya
adalah pembuat hadits mengakui pemalsuannya, tetapi petunjuk memalsukan haditsnya
harus jelas. Petunjuk yang menjelaskan secara langsung bahwa hadits yang
diteliti adalah palsu yaitu dengan melihat tingkah laku periwatnya. Misalnya
dia memiliki hasrat tinggi terhadap keilmuan dan ambisi tinggi terhadap
kepentingan ekonomi, politik dan lainnya sehingga untuk mencapai tujuannya dia
mengada-ada penyambungan sanad hadits.
b)
kepalsuan pada Matannya
Hadits palsu diteliti dari matannya,, ciri
utamanya yaitu antara lain matan-nya bertentangan dengan Al Qur’an, hadits
mutawatir, hadits shahih, akal sehat, dan cenderung sangat berpihak kepada
periwayatnya.[25]
4.
Hadits musytarak (antara maqbul dan mardud)
a.
Pembagian hadits dari segi
orang yang disandarinya. Dari segi ini pembagian hadits terbagi kepada empat macam yaitu hadis Qudsy, hadis Marfu’, hadis
Maqbul dan hadis maqtu’.
1)
Hadits qudsy
Hadits Qudsy adalah suatu hadits yang disampaikan kepada kita dari Nabi Muhammad disertai sanad dari dia
sendiri kepada Tuhannya.
Perbedaan hadis qudsy dengan al Quran
Terdapat beberapa perbedaan yang banyak yang paling terkenal sebagai
berikut:
a)
Bahwa al Quran adalah lafadz dan maknanya dari
Allah Swt. Sedangkan hadis Qudsy maknanya dari Allah sedang lafadznya dari Nabi
Muhammad.
b)
Al Quran membacanya merupakan ibadah sedangkan
hadis Qudsy tidak merupakan ibadah membacanya.
c)
Al Quran kedudukannya disyaratkan secara
mutawatir, sedangkan hadis Qudsy tidak disyaratkan secara mutawatir.
Jumlah bilangan hadis Qudsy tidak
banyak jika dibandingkan dengan hadis-hadis Nabawi. Jumlahnya sekitar dua ratus
lebih.
Bentuk-bentuk periwayatannya
Bagi orang yang meriwayatkan hadis
Qudsy ada dua macam bentuk, ia boleh meriwayatkan hadis pada salah satu ya g
dikehendakinya, yaitu:
a)
Rasulullah bersabda dalam hadis yang
diriwayatkan dari Tuhannya.
b)
Allah berfirman dalam
hadis yang diriwaytakna dari oleh Rasulullah SAW.
Kitab-kitab yang paling terkenal yaitu Al-Ittihafat as-Saniyah bil abadis
al-Qudsyyah karya Abdur Rauf al-Munawy, belioau mengumpulkan sejumlah 272
hadis Qudsy.[26]
2)
Hadis marfu’
Menurut bahasa hadis marfu’ adalah isim maf’ul dari fi’il afa’,
dinamakan demikiankarena dinisbatkan kepada orang yang mempunyai kedudukan
tinggi, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sedangkan menurut istilah Ma udzifa ila
an-Nabyyi saw min qoulin au fi’lin au taqririn au shifatin adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan
atau kesepakatan atau sifat. Jadi hadis marfu’ yaitu sesuatu yang dinisbatkan atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad baik yang disandarkan itu berupa perkataan,
perbuataan, kesepakatan, atau suatu sifat tertentu, sama saja apakah yang
menyandarkan itu sahabat atau orang selainnya, baik bersambung atau terputus
sanadnya, karena termasuk didalam marfu’, mausul, dan mursal, muttasil dan
munqathi’, inilah yang terkenal tentang hadis marfu’, dan terdapat pula
pendapat-pendapat lain tentang hakikat definisinya.
Macam-macam hadis marfu’:
a)
Marfu’ Qauly (perkataan). Contohnya apabila
sahabat atau selainnya mengatakan: “Telah bersabda Rasulullah SAW. Seperti
begini”.
b)
Marfu’ fi’ly (perbuatan). Contohnya apabila
sahabat atau selainnya mengatakan: “Rasulullah telah berbuat seperti begini”.
c)
Marfu’ taqriry (kesepakatan). Contohnya apabila
sahabat atau selainnya mengatakan: “telah dikerjakan suatu perbuatan dengan
dihadiri Rasulullah seperti begini” dan tidak ada orang yang meriwayatkan suatu
hadis lain yang menjelaskan bahwa beliau mengingkarinya.
d)
Marfu’ wasfy (sifat). Contohnya apabila sahabat
atau selainnya mengatakan: “ Adalah Rasulullah
sebaik-baik akhlak manusia”.
3)
Hadis mauquf
Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari kata al Waqfu. Seakan-akan
rawi itu menghentikan hadis
pada sisi sahabat. Dan tidak saling berurutansisa silsilah hadisnya. Sedangkan
menurut istilah Ma udzifa ila ash-Shahabi min qoulin au fi’lin au taqrininn segala
sesuatu yang disandarkan kepada sahabat baik berupa perkataan, atau perbuatan
atau taqrir.
Jadi hadis mauquf adalah sesuatu yang
disandarkan atau dinisbatkan kepada seseorang sahabat atau sejumlah sahabat
baik yang disandarkan itu berupa perkataan atau perbuatan atau taqrir. Dan sama
saja apakah sanadnya bersambung atau terputus.
Contoh-contoh:
Contoh mauquf qauly, perkataan rawi: “telah berkata Ali bin Abi
Thalib ra. “ceritakanlha kepada para manusia tentang sesuatu yang mereka
ketahui, apakah kamu menginginkan apabila Allah dan Rasulnya disutakan”.
Contoh mauquf fi’ly. perkataa Imam
Bukhori: “ dan mengenai Ibnu Abbas maka ia adalah orang yang bertayamum.”
Contoh mauquf taqriri. Seperti perkataan
sebagian Tabi’in: “berbuat begini dihadapan seorang sahabat dan ia tidsk
meningkari kepadaku.”
4)
Hadis Maqtu’
Menurut bahasa isim
maf’ul dari qothoa lawan dari kata washala. Sedangkan menurut istilah ma
nusiba au usnida ila at-Tabi’I faman dunnabu min qoulin au fi’lin adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi’i atau yang lainnya baik berupa
perkataan atau perbuatan. Jadi hadis maqtu’ yaitu segala sesuatu yang
dinisbatkan atau disandarkan kepada tabi’I atau tabi’it atau tabi’in atau orang
yang selainnya baik berupa perkataan atau perbuatan. Dan bahwa hadis maqtu’
bukanlah identik dengan hadis munqathi’, karena maqtu’ adalah merupakan salah
satu sifat matan, sedang munqathi’adalah termasuk sifat sanad, dan artinya
hadis maqthu’ itu adalah perkataan tabi’I atau selainnya, dan kadang0kadang
sanadnya bersambung kepada tabi’I tersebut. Jadi berarti sanad hadis munqathi’
itu tidak bersambung, dan tidak berhubungan dengan matan hadis.
Contoh-contohnya:
a) Contoh maqtu; Qauly. Perkataan al-Hasan al-Bashry tentang shalat
dibelakang imam ahli bid’ah shalla wa ‘alaihi bid’atuhu.
b) Contoh maqtu; fi’ly. Perkataan Ibrahim bin Muhammad bin
al-Muntasyir[27]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Klasifikasi adalah
penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan menurut kaidah atau standar
yang ditetapkan. Klasifikasi ayat Al Qur’an menjadi Makkiyah dan Madaniyah.
Sementara Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas rawi, kuantitas rawi, hadits
Maudhu’, hadits Musytarak.
2.
Ayat Makkiyah adalah
ayat-ayat dalam surat-surat Al Qur’an yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah
ke Madinah.
3.
Ayat Madaniyah adalah
ayat-ayat dalam surat-surat Al Qur’an yang diturunkan setelah Rasulullah hijrah
ke Madinah.
4.
Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas
rawi, meliputi: hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
5.
Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas
rawi, meliputi: hadits mutawatir dan hadits ahad
6.
Hadits yang tergolong hadits palsu dapat diketahui dari ciri-ciri sanad-nya
dan dari kepalsuan matan-nya.
7.
Hadits Musytarak yaitu hadits antara maqbul atau mardud.
DAFTAR PUSTAKA
Asrukin, Mochammad. ”Hadits: Sebuah
Tinjauan Pustaka”, Februari, 20, 2020. 02.54 WIB. http://library.um.ac.id/images/stories/pustakawan/pdfasrukin/HADITS_Sebuah%20Tinjauan%20Pustaka.pdf.
Dimyati, Ayat dan Deni Ahmad Saebani. Teori Hadis. Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2016.
Eldeeb,
Ibrahim. Be a Living
Qur’an “Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-ayat AlQur’an dalam Kehidupan
Sehari-hari. Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Hermawan, Acep. ‘Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Khaeruman, Badri. Ulum Al- Hadis. Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2014.
Prastowo, Andi. Manajemen Perpustakaan Sekolah
Profesional. Jogjakarta:
DIVA Press, 2012.
Suhadi. Ulumul Quran. Kudus: Nora Media
Enterprise, 2011.
Thahhan, Mahmud. Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 1997.
[1]
Andi Prastowo, Manajemen
Perpustakaan Sekolah Profesional, (Jogjakarta: DIVA Press. 2012), 171.
[2]
Ayat Dimyati dan Deni Ahmad Saebani,
Teori Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016), 295
[3]
Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2014), 115.
[4] Suhadi, Ulumul Quran, (Kudus: Nora Media
Enterprise, 2011), 54.
[5] Ibrahim Eldeeb, Be a living quran “Petunjuk Praktis
Penerapan Ayat-ayat AlQur’an dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), 32-33.
[6] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011), 67-68.
[7] Ibrahim Eldeeb, Be a living quran “Petunjuk Praktis
Penerapan Ayat-ayat AlQur’an dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), 32-33.
[8] Suhadi, Ulumul Quran, (Kudus: Nora Media
Enterprise, 2011), 54.
[9] Suhadi, Ulumul Quran, (Kudus: Nora Media
Enterprise, 2011), 55.
[10] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: Rosdakarya,
2011), 67-68.
[11] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: Rosdakarya,
2011), 68.
[12] Suhadi, Ulumul Quran, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011),
56-57.
[13] Mochammad Asrukin.
”Hadits: Sebuah Tinjauan Pustaka”, Februari, 20, 2020.
02.54 WIB. http://library.um.ac.id/images/stories/pustakawan/pdfasrukin/HADITS_Sebuah%20Tinjauan%20Pustaka.pdf.
[14]
Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2014), 119.
[15]
Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis,
120.
[16]
Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis,
121.
[17]
Mahmud Thahhan, Ulumul
Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 1997).
127.
[18]
Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2014), 122.
[19]
Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis,
123.
[20]
Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis,
125-131.
[21] Ayat Dimyati dan Deni Ahmad Saebani, Teori Hadis (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2016), 296.
[22] Ayat Dimyati dan Deni Ahmad
Saebani, Teori Hadis, 301.
[23] Thabaqat
adalah sekelompok orang yang berdekatan dalam usia dan isnad, atau berdekatan
dalam isnad saja. Maksud berdekatan isnad adalah mereka memiliki guru yang
sama, atau berdekatan guru-gurunya. Contohnya thabaqat pertama adalah para sahabat nabi.
[24]
Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2014), 100-106.
[25]
Ayat Dimyati dan Deni Ahmad Saebani,
Teori Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016), 66.
[26]
Mahmud Thahhan, Ulumul
Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 1997).
127-129.
[27]
Mahmud Thahhan, Ulumul
Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 1997).
129-134.
Tidak ada komentar
Posting Komentar