KLASIFIKASI AYAT DAN HADITS  DALAM MATERI AL-QUR’AN HADITS  

Oleh:

1.      Naila Noor Aini                                  (1710110135)

2.      Rizka Siti Wahidatun Nimah            (1710110150)

3.      Novia Fahris Salimi                            (1710110153)

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sumber pedoman umat Islam yang utama dan pertama sebelum hadits. Dalam mempelajari Ilmu Al-Qur’an secara otomatis seseorang minimal harus mengetahui tentang pengklasifikasian yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pentingnya seseorang mengetahui pengklasifikasian dalam Al-Qur’an menjadi suatu keharusan. Dimana pengklasifikasian tersebut berfungsi untuk pengkajian lanjut mengenai sebuah Ayat. Sebagaimana kita telah mengetahui bahwa pengklasifikasian ayat dalam Al-Qur’an terbagi atas 2 yaitu Makkiyah dan Madaniyah. Objek kajian pengklasifikasian tersebut menjadi menarik setelah menemukan banyak pertanyaan. Seperti contoh, mengapa Al-Qur’an hanya diklasifikasikan kedalam 2 klasifikasi?, serta berbagai macam pertanyaan yang terkait dalam klasifikasi Ayat Al-Qur’an lainnya yang selalu beragam. Selain itu, ada beberapa Ayat yang cenderung masih diragukan apakah Ayat tersebut Makkiyah atau Madaniyah?, topik tersebut kemudian menjadi menarik karena para ‘Ulama pun masih berhati-hati dalam mengklasifikasikan Ayat Al-Qur’an. bukankah cara membedakan antara Ayat Makkiyah dan Madaniyah sudah ada?. Maka mendasar atas hal itu perlunya mencoba mendalami dasar-dasar dari pengklasifikasian untuk membantu dalam memahami permasalahan ini.

Selanjutnya, Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran. Hadits dikodifikasikan dan diklasifikasi oleh para ulama dengan tujuan untuk memudahkan umat Islam dalam memahami makna, ciri-ciri hadits, jenis-jenis hadits, perbedaan antarhadis serta untuk mencari hujjah (alasan hukum). Hadits yang mesti diimani ialah hadis yang sah secara hukum serta jauh dari kemungkaran. Oleh karena itu, seorang muslim harus mengimani hadits. Pada masa kodifikasi banyak hadits-hadits palsu yang digunakan untuk mencari keuntungan semata. Banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hadits, seperti adanya hadits maudhu’ (palsu) dan hadits mungkar. Hal ini dikarenakan setelah Rasulullah saw. wafat, sedikit demi sedikit Islam mulai kembali ke masa jahiliyah dan banyaknya pendusta.

Oleh karena sebab semua itu lah, maka pentingnya kita sebagai umat muslim dan terkhususnya lagi sebagai pelajar, sudah sepantasnya kita mengimani serta mengamalkan sumber pokok ajaran Islam sebagaimana mestinya. Sehingga setelah kita mempelajari Al Qur’an Hadits maka diharapkan kita bisa memilah dan memilih dalil-dalil naqli maupun aqli sebagai landasan hidup tanpa ekstrim kanan ataupun ekstrim kiri. Hal itu dikarenakan Islam itu sesuai dengan perkembangan zaman, maka bersyukurlah kita terlahir sebagai umat Islam.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengertian dari klasifikasi ayat dan Hadits  dalam materi Al-Qur’an Hadits ?

2.      Bagaimana pengklasifikasian ayat Makkiyah dan madaniyah dalam materi Al-Qur’an Hadits ?

3.      Bagaimana pengklasifikasian Hadits  dalam materi Al-Qur’an Hadits ?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian dari klasifikasi ayat dan Hadits  dalam materi Al-Qur’an Hadits .

2.      Untuk mengetahui pengklasifikasian ayat Makkiyah dan madaniyah dalam materi Al-Qur’an Hadits .

3.      Untuk mengetahui pengklasifikasian Hadits  dalam materi Al-Qur’an Hadits .

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Peta Konsep Pembahasan







B.     Pengertian Klasifikasi

Secara harfiah arti klasifikasi adalah penggolongan atau pengelompokkan. Ada beberapa pengertian mengenai klasifikasi, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia klasifikasi adalah penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan.

Menurut Sulistyo-Basuki dalam Prastowo berasal dari kata Latin classis, artinya adalah proses pengelompokan, yaitu mengumpulkan benda yang sama dan memisahkan benda yang tidak sama. Pada kacamata lainnya yakni menurut Ibrahim Bafadal dalam Prastowo mengungkapkan bahwa klasifikasi adalah berasal dari kata classification (bahasa inggris). Berasal dari kata to classify, yang mempunyai arti menggolongkan dan menempatkan benda-benda yang sama dalam suatu wadah atau tempat.[1] Maka dalam Al Qur’an juga ada pengklasifikasian ayat-ayatnya, sedangkan dalam hadits juga ada pengelompokkan berdasarkan kriteria tertentu.

Seperti yang kita ketahui pengklasifikasian ayat dalam Al-Qu’an terbagi atas 2 yaitu makkiyah dan madaniyah. Pengklasifikasian ayat dalam Al-Qur’an bergantung pada situasi ayat tersebut turun. Para ‘ulama sejak dahulu menggunakan berbagai metode untuk mengetahui apakah suatu ayat termasuk makkiyah atau madaniyah.

Menurut Al-Jabiri: “untuk mengetahui makkiyah dan madaniyah surat-surat al-Qur’an ada dua, yaitu: Sama’i (jalan riwayat) dan Qiyasi (jalan membanding-bandingkan yang satu dengan yang lain).”

 

Setelah metode yang dikemukakan Al-Jabiri muncul, kemudian adapula beberapa teori pendukung dalam merumuskan pengertian makkiyah dan madaniyah. Sementara klasifikasi hadits dibagi menjadi banyak klasifikasi, yaitu pengklasifikasian berdasarkan kualitas perawi[2], pengklasifikasian hadits berdasarkan kuantitas perawi, munculnya hadits maudhu’ atau hadits palsu.[3]

 

C.    Pengklasifikasian Ayat Makkiyah Dan Madaniyah

1.      Pengertian dan Cara Mengetahui Surat Makkiyah serta Madaniyah

Dalam pengklasifikasian ayat Al Qur’an yang sering dibahas adalah Makkiyah dan Madaniyah. Makkiyah sendiri adalah ayat-ayat Al Qur’an yang turun sebelum hijrah dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun setelah hijrah, meskipun turunnya di Mekkah, Madinah atau manapun itu.[4]

Makkiyah yaitu bagian Al Qur’an yang diturunkan sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah meskipun diturunkan di luar wilayah kota Mekkah, dan ayatnya mengandung pokok-pokok akidah, ibadah dan muammalah. Sedangkan Madaniyah yaitu bagian Al Qur’an yang diturunkan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah meskipun diturunkan di kota Mekkah, dan ayatnya mengandung penjabaran dan penjelasan tenatnag ayat-ayat atau surah-surah yang diturunkan di Mekkah.[5]

Studi tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah sesungguhnya tidak lebih dari memahami pengelompokkan ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Dalam pengklasifikasian ayat-ayat Al Qur’an terdapat dua jenis yaitu Makkiyah yaitu ayat-ayat Al Qur’an yang turun sebelum hijrah. Sedangkan Madaniyah yaitu aya-ayat Al Qur’an yang turun setelah hijrah

            Dari pengetahuan mengenai Makkiyah dan Madaniyah ini, sekurang-kurangnya akan didapati tiga faedah, yaitu:

a.       Mengetahui ayat-ayat mana saja yang nasihkh dan ayat-ayat mana saja yang mansukh bila terlihat adanya dua ayat yang berbeda pesan.

b.      Bahwa makna dan pesan yang dikandung ayat tertentu sering kali berkaitan dengan sebab tertentu pada kasus dan tempat kejadian tertentu pula. Dengan adanya klasifikasi ini, usaha memahami ayat Al Qur’an secara benar akan sangat terbantu dan kekeliruan akan dapat ditekan sekecil mungkin.

c.       Bahwa kehidupan Rasulullah SAW adalah uswatun hasanah, suri tauladan bagi setiap mukmin. Dengan melihat ayat-ayat yang turun di Mekah dan Madinah, akan diketahui pendekatan pembinaan pribadi maupun masyarakat mukmin yang dilakukan  Al Qur’an (masyarakat Mekah adalah masyarakat yang berbeda dengan Madinah, dan kondisi umat maupun kalangan muslim stelah Rasululllah SAW.)[6]

2.      Manfaat mengetahui makkiyah dan Madaniyah antara lain yaitu:

a.       Mengetahui nama yang diturunkan lebih dahulu dan mana yang kemudian

b.      Mengetahui nasikh (yang yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus)

c.       Meresapi gaya bahasa Al Qur’an dengan menghayati peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al Qur’an asbabun nuzul) dan realita kehidupan kaum muslim pada setiap periode sejarah.

d.      Mengahayati perjalanan hidup Rasulullah melalui ayat-ayat Al Qur’an.[7]

3.      Para ulama membagi Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah, antara lain:

a.       Berdasarkan waktu, inilah yang populer dikalangan musafirin, bahwa telah menjadi kesepakatan dikalangan mereka bahwa suratatau ayat yang diturunkan sebelum hjrah adalah Makkiyah, sedangkan yang diturunkan setelah hijrah adalah Madaniyah. Dlaam hal ini tempat bukan menjadi ukuran. Mislanya al-Maidah ayat 3 adalah Madaniyah meskipun diturunkan di Arafah-Mekkah

b.      Berdasarkan tempat, jika diturunkan di Mekah (meliputi Mina, Arafah, dan Hudaibiyah) berarti Makkiyah. Jika diturunkan di Madinah (meliputi Badar dan Uhud) berarti Madaniyah

c.       Berdasarkan khitab, yaitu seruan yang disampaikan. Jika ditujukan kepada penduduk Mekkah maka Makkiyah, jika dtujukan kepada penduduk Madinah maka berarti Madaniyah.[8]

4.      Ketentuan makkiyah dan ciri khasnya

Ketentuan makkiyah dan ciri khasnya antara lain sebagai berikut:

a.       Setiap surah yang didalamnya mengandung “sajdah” maka surah itu makkiyah

b.      Setiap surah yang mengandung lafal كَلاَّ berarti Makkiyah. Lafal ini hanya terdapat dalam seapruh terakhir dari Quran. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.

c.       Setiap surah yang mengandung yaa ayyuhal lazina amanu berarti Makkiyah, kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat yaa ayyuhal lazina amanur-ka’u wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapaat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makkiyah

d.      Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makkiyah, kecuali surah Baqarah

e.       Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan atau huruf muqattaha’, seperti Alim Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha mim dan lain-lainnya, adalah Makkiyah, kecuali surah Baqarah atau Ali Imron . sedang surah Ra’d masih dipersilihkan.

Sedangkan dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:

a.       Ajakan tauhid dan beribadah hanya kepada Allah

b.      Pembuktian mengenai risalah

c.       Kebangkitan dan had pembalasan , had kiamat dan kengeriannya, neraka dan dan siksaanya, surga dan nikmatnya.

d.      Argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional

e.       Ayat-ayat kauniah

f.       Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat.

g.      Penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yaitim secara zalim, kasus penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya

h.      Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasullullah

i.        Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanyapun menyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah seperti surah yang pendek-pendek.[9]

1)      Terdapat kata kalla (كَلاَّ ) Di sebagian besar atau seluruh ayatnya.

2)      Terdapat sujud tilawah di sebagian atau seluruh ayat-ayatnya

3)      Diawali huruf tahajji seperti qof (ق) nun (ن) dan ha min (حم)

4)      Memuat kisah Adam dan iblis (kecuali surah al Baqarah)

5)      Memuat kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.

6)      Di dalamnya terdapat khitab (seruan) kepada semua manusia (wahai semua manusia).

7)      Menyeru dengan kalimat “anak Adam”

8)      Isinya memberi penekanan pada masalah akidah

9)      Ayatnya pendek-pendek.[10]

 

5.      Ketentuan madaniyah dan ciri khasnya

a.       Terdapat kalimat “orang-orang yang beriman” pada ayat-ayatnya

b.      Terdapat hukum-hukum faraidh, hudud qishash, dan jihad di dalamnya

c.       Menyebut “orang-orang munafik” (kecuali al Ankabut)

d.      Memuat bantahan terhadap ahlu kitab (Yahudi dan Nasrani)

e.       Memuat hukum syara’, seperti ibadah, muammalah, dan al ahwal syakhsiyah

f.       Ayatnya panjang-panjang[11]

Dari segi khas tema dan gaya bahasa dapat diringkas sebagai berikut:

a.       Menjelaskan tenatnag bab ibadah, muammalah, had, kekeluargaaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik di waktu damai maupun tenang.

b.      Kaidah hukum dan masalah perundang-undangan

c.       Seruan terhadap Ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.

d.      Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisa kejiwaannya, membuka kedoknya dan menyebabkan bahwa ia berbahaya bagi agama.

e.       Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.[12]

Isyarat atau ciri-ciri yang lazim disebut dhawabit, baik itu pada Madaniyah maupun Makkiyah, bukanlah sesuatu yang pasti. Ketetapan itu diambil berdasarkan taghlib, yakni kebnayakan atau kebiasaan. Dengan demikian selanjutnya bisa disusun semacam pengelompokkan surah-surah Al Qur’an sebagai berikut:

a.       Surat Makkiyah yang keseluruhan ayat-ayatnya Makkiyah. Mislanya surat al Mudatsir. Juga surat Madaniyah yang keseluruhannya Madaniyah pula. Mislanya surat Ali Imron.

b.      Surat Makkiyah yang sebagian besar ayat-ayatnya Makkiyah, kecuali beberapa ayat lainnya dengan Madaniyah. Mislanya surat al A’raf. Hampir keseluruhan ayat dalam surat ini adalah Makkiyah, kecuali ayat 163 sampai dengan ayat 171.

c.       Surat Madaniyah yang hampir keseluruhan ayatnya Madaniyah, kecuali beberapa ayat. Misalnya, surat al Hajj yang keseluruhan ayatnya Madaniyah, kecuali empat ayatnya yang Makkiyah, yaitu ayat 52 sampai dengan 55.

6.      Surat-surat yang turun di Mekah

Imam Badarudin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi dalam kitabnya berjudul Al-Burhan fi ulum Al Qur’an menulis bahwa surat-surat yang turun di Mekah berjumlah 83 buah. Angka ini berbeda dengan yang disodorkan Ibnu Jarih dalam Al-Fihrist. Tokoh yang disebut terakhir ini meriwayatkan dengan sumber dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas, menurutnya “ surat yang turun di Mekah berjumlah 85 buah dan yang turun di Madinah 28 buah”. Bila disimak lebih jauh, sesungguhnya perbedaan antara kedua pendapat diatas bukan sekedar pada angka, tetapi juga pada urutannya. Misalnya surah Al-Insyiroh menurut urutan yang disusun Ibnu Nadim dengan sanad Muhammad bin Nu’man bin Nasyir seperi dimuat Al-Fihrost, surat ini ditempatkan di urutan ke-8, sedangkan Al-zarkasyi menetapkan pada urutan ke 11.

Berikut ini adalah kronologi turunnya ayat-ayat Al Qur’an di Mekah menurut kitab Al-Fihrist:

1)      Iqra’ sampai dengan Maa lam ya’lam

2)      Nun wa AlQalam

3)      Ya ayyuha Al Muzammil

4)      Al Mudatsir

5)      Tabbat (surat al Lahab)

6)      Idza al Syamsu kuwiirat (at Takwir)

7)      Abbih isma rabbika (al A’la)

8)      Alam nasyrah (al Insyiroh)

9)      Al-Ashr

10)  Al-Fajr

11)  Wa al Dhuha

12)  Wa al-Laili

13)  Wa al-Adiyat

14)  Inna A’tahianaka (al-Kautsar)

15)  Alhakumu al-Takatsur

16)  Araita alladzi yukadzdzibu bi al-Din

17)  Qul yaa ayyuha al-Kafirun

18)  Alam tara kayfa (al-Fill)

19)  Qul huwa Allahu Ahad (al-Ikhlash)

20)  Qul a’udzu bi rabbi al-Nas ( al-Nas)

21)  Qul a’udzu bi rabbi al-Falaq (al-Falaq)

22)  ‘Abasa

23)  Wa al-Njam (al-Najm)

24)  Wa al-Syamsi

25)  Wa al-Tin

26)  Inna anzalnahu (al-Qadr)

27)  Al-Qariah

28)  Wa al Sama’I zati al-Buruj (al-Buruj)

29)  Al-Humazah

30)  Li ilafi Quraisyin (Quraisy)

31)  Qafa wa a-Quran

32)  La uqsimu bi yaumi (al-Qiyamah)

33)  Al-Rahman

34)  Al-Mursalat

35)  Yasin

36)  La uqsimu bi hadza al-Balad (Al-Balad)

37)  Al-Furqon

38)  Qul Uhiya (al-Jin)

39)  Alhamdulillahi fathiri al-Samawat

40)  Alif Lam Mim Shad

41)  Thaha

42)  Al-Malaikah

43)  Tha Sin mim (al-Syuara’)

44)  Maryam

45)  Tha Sin Mim (al-Akhirah)

46)  Idza Waqaat (al-Waqiah)

47)  Hud

48)  Tha Sin

49)  Yunus

50)  Bani Israil

51)  Al-Shaffat

52)  Yusuf

53)  Qaf afalaha al-Mukminun (al-Mukminun)

54)  Al-hijr

55)  Al-Anbiya’

56)  Luqman (ayat akhirnya Madaniyah)

57)  Ha mim al-Mukminun

58)  Saba’

59)  Ha mim ‘Ain Sin Qaf

60)  Al-Zumar

61)  Ha mim al-Dukhan

62)  Al-Sajdah

63)  Ha mim al-Ahqaf

64)  Al-Zukhruf

65)  Ha ataka Hadits u al-Ghasyiyah

66)  Ha mim al-Syari’ah

67)  An-An’am

68)  Dzariyat

69)  Nuh

70)  Al-Sajdah

71)  Al-Kahfi (ujungnya madaniyah)

72)  Al-Mulk

73)  Al-nahl

74)  Sa’ala Sailun

75)  Ibrahim

76)  Al-Nazilat

77)  Al-Thur

78)  Al-Insyiqaq

79)  Al-Haqqah

80)  Al-Ankabut

81)  An-Naba’

82)  Iqtarabat al-Sa’ah

83)  Al-Infithar

 

 

7.      Surat-surat yang turun di Madinah:

 

1

Al-Baqarah

15

Ida ja’a Nashrullah

2

Al-Anfal

16

Al-Nur

3

Al-A’raf

17

Al-Hajj

4

Ali Imron

18

Al-Munafiqun

5

Al-Muntahanah

19

Al-Mujadalah

6

Al-Nisa’

20

Al-Hujurat

7

Idza Zulzilat al-Ardh

21

Ya Ayyuha al-nabiyu lima tuharrimu (al-Tahrim)

8

Al-Hadits

22

Al-Jumuah

9

Alladzina Kafaru

23

At Taghabun

10

Al-Ra’d

24

Al-Hawariyun

11

Hal ata ‘ala al-Insan

25

Al-Fath

12

Ya Ayyuha al-Nabiyu idza thallaqtum  al-Nisa’

26

Al-Maidah

13

Lamyakun alladzina kafaru

27

Al-Taubah

14

Al-Hasyr

28

Al-Mua’awwizatain (al-Falaq dan an-Nas)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8.      Ayat-ayat yang turun di Mekkah dan Hukumnya Madaniyah

Ayat-ayat yang turun di Mekkah dan Hukumnya Madaniyah adalah sebagai berikut:

a.       Ayat 13 surat al-Hujurat

b.      Ayat 3-5 surat al-Maidah

Ayat 13 surat al-Hujurat turun pada waktu fathu Mekkah. Ayat ini dinyatakan Madaniyah karena turun sesudah hijrah, dan tiga ayat surat Al-Maidah yaitu ayat 3,4, dan 5 turun pada hari jumat. Kala itu umat Islam tengah wukuf di Padang Arafah dalam peristiwa haji Wada’. Haji ini dilaksanakan Rasulullah setelah beliau berhijrah. Maka, ketiga ayat di atas, diklasifikasikan sebagai ayat-ayat Madaniyah kendati pun turun di Arafah dan seperti diketahui Arafah adalah kawasan di sekitar Mekkah.

9.      Ayat-ayat yang turun di Madinah dan Hukumnya Makkiyah

Ayat-ayat yang turun di Madinah dan hukumnya Makkiyah adalah sebagai berikut:

a.       Al-Mumtahanah

b.      Ayat 41 surat al-Nahl

Surat al-Mumtahanah turun ketika Rasulullah hendak berangkat menuju Mekkah menjelang Fuuh Mekkah. Ini terjadi setelah hijrah. Kisahnya sebgai berikut: mengetahui Rasulullah hendak berangkat ke Mekkah, seorang bernama Hattab bin Abi Balta’ah menulis surat untuk disampaikan kepada kaum Quraisy di Mekkah, yang isinya menginformasikan rencana Rasulullah dan kaum muslimin yang akan berangkat ke kota yang disebut paling terakhir

c.       Awal surat al-Taubah sampai dengan  ayat 28

Ayat-ayat ini sesungguhnya Madaniya, tetapi khitabnya ditujukan kepada penduduk Mekkah.

10.  Makkiyah mirip Madaniyah

Pada pembahsan terdahulu disinggung kasus ayat 32 surah al-Najm, disana ada kata …. Yang statusnya bisa jadi membingungkan banyak orang karena hampir semua ulama mendefinisikannya sebagai “ pelanggaran hukum yang mengakibatkan had”. Padahal sebelum Rasululllah meninggalkan Mekkah menuju Madinah  untuk berhijrah, hukuman itu belum dikenal. Ayat-ayat seperti inilah yang disebut Makkiyah mirip Madaniyah

11.  Madaniyah mirip Makkiyah

a.       Ayat 17 surah al-Anbiya’ yang turun ehubungan dngan kedatangan delegasi kaum Nasrani Najran.

b.      Ayat 1 surah al-Adiyat

c.       Ayat 32 surah al-Anfal

Selain itu terdapat ayat-ayat yang turun di beberapa tempat yaitu:

a.       Di al-Juhfah turun ayat 85 syrat al-Qashas

b.      Di Bait al-Maqdis, Palestina turu ayat 45 surah al-Zukhruf

c.       Di Thaif turun ayat 45 surah al-Furqon dan ayat 22, 23, dan 24 surah al-Insyiqaq

d.      Di hudaibiyah turun ayat 30 surah al-Ra’d

12.  Ayat-ayat yang turun pada malam hari

a.       Ayat 1surah al-Hajj . ayat ini turun ketika terjadi peperangan Bani Al-Muthaliq

b.      Auyat 67 surah al-Maidah

c.       Ayat 56 surah al-Qashas

d.      Ayat 190 sampai akhir surat Ali Imron, yang berarti keseluruhannya berjumlah 10 ayat.

e.       Surah al-An’am. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkata: “ surah al-An’am turun di Mekkah sekaligus pada mlam hari, dikawal seribu malaikat dengan mengumandangkan tasbih.

f.       Surah Maryam. Diriwayatkan dari Abu Maryam al-Ghassaniy, berkata: “ aku pernah mendatangi Rasulullah lalu kukatakan, aku punya tetangga yang malam ini melahirkan bayi wanita, beliau (Rasulullah) lalu mengatakan “malam ini diturunkan kepadaku surah Maryam, berilah dia nama Maryam”

13.  Ayat-ayat yang turun pada musim dingin

a.       Ayat 11 surah an-Nur

b.      Ayat 9 surah al-Ahzab

14.  Ayat-ayat yang turun diperjalanan

a.       Ayat 281 surah al-Baqarah, turun di di Mina pada tahun terjadinya haji Wada’

b.      ayat 58 surah an-Nisa’, ayat ini turun kepada Nabi Muhammad pada hari futuh saat beliau di Ka’bah.

c.       Ayat 176 surah an-Nisa’

d.      Ayat 3 surah al-Maidah, turun di Arafah pada waktu haji Wada’.

15.  Ayat-ayat yang turun musyaya’

Musyaya’ artinya diirigi, dikawal dan diantar. Ada bebrapa ayat Al Qur’an yang ketika trun dikawal sejumlah malaikat sebagai penghormatan. Ayat-ayat tersebut dinamakan ayat  musyaya’,yaitu:

a.       Al Fatihah. Surah ini ketika turun dikawal 30.000 malaikat

b.      Ayat Kursiy, ketika turun dikawal 30.000 malaikat

c.       Surat Yunus, surah ini ketika turun dikawal 70.000 malaikat

d.      Surah al-An’am surah ini ketika turun dikawal 20.000 malaikat

e.       Ayat 45 surah al-Zukhruf surah ini ketika turun dikawal 20.000 malaikat.

D.    Pengklasifikasian Hadits

Hadits  secara harfiah mempunyai arti perkataan atau percakapan. Secara istilah, Hadits  memiliki arti mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi kata Hadits  telah mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, sehingga bisa berarti segala perkataan, perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan atau hukum.

Struktur Hadits  terdiri atas dua komponen utama yakni sanad atau isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Sanad yaitu orang yang menyampaikan Hadits  dalam suatu kitab berdasarkan atas apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Orangnya disebut perawi Hadits , sedangkan perbuatannya menyampaikan Hadits  tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan Hadits . Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat Hadits  tersebut dalam bukunya hingga mencapai Rasulullah SAW. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.[13]

Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad Hadits  bersangkutan adalah:

Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW 

Sebuah Hadits  dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah.  Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Hadits  terkait dengan sanadnya ialah: Keutuhan sanadnya, jumlahnya, dan perawi akhirnya. Komponen kedua dari Hadits  adalah matan, yaitu redaksi dari Hadits  atau isi pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang terakhir. Baik  pembicaraan itu sabda Rosulullah SAW atau para sahabat ataupun tabi'in, maupun isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam penyebutan nama perawi, selain perawi tunggal, terdapat tujuh penyebutan istilah yang masyhur dalam pemberitaan Hadits , yaitu:

1.      As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu: Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa'i, Abu Dawud dan Ibnu Majah 

2.      As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu: Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad 

3.      Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu: Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim 

4.      Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu: Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim. 

5.      Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu: Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.  

6.      Asy Syaikhon atau al-muttafaq alaih, berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu: Bukhari dan Muslim 

7.      Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari tujuh perawi atau As Sab'ah). 

1.    Klasifikasi Hadits  Berdasarkan Kualitas Rawi

Klasifikasi Hadits  menurut kualitas rawi sehingga dapat diterima atau ditolaknya Hadits  sebagai hujjah (dasar hukum) ada tiga, yaitu shohih, hasan, dhoif.

a.      Hadits  Shohih

Menurut arti lughat kata shohih artinya lawan dari saqim, yang berarti sehat lawan sakit, haq lawan bathil. Menurut istilah yaitu Hadits  yang  diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal (syadz). Illat Hadits  yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu Hadits .[14]

Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil[15], yaitu:

   Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat. 

   Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun. 

   Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan. 

   Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.

Kedhabitan rawi adalah orang yang terpelihara ingatannya, ingatannya kuat lebih banyak daripada kesalahannya. Dhabit ada dua macam yaitu dhabit ash-shadri (perawinya adalah seorang yang mempunyai daya hafal dan ingatannya sangat kuat, tingkat pemahamannya sangat tinggi, ingatannya mulai saat menerima sampai menyampaikan kepada orang lain mampu dikeluarkan kapanpun dan dimanapun berada), dan dhabit al kitab (perawinya adalah seorang yang cermat memelihara catatan atau kitab yang diterima. Unsur-unsur dhabit; 1) tidak pelupa, 2) hafalannya kuat dan terjaga kitabnya dari kelemahan, 3) menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya serta maknanya. Rawi yang adil dan dhabit disebut tsaqit.[16]

Musnad berarti bersambunya sanad dan marfu’nya matan, yaitu selamat dari keguguran, tiap-tiap rawi bertemu dan saling menerima secara langsung dari guru yang memberinya atau mengajarinya. Matan marf’u berarti idhafah kepada Rasulullah SAW.

Tanpa ‘illat dan tidak ada syadz. ‘illat Hadits  adalah penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan Hadits , contohnya seperti, meriwayatkan Hadits  secara muttashil terhadap Hadits  munqathi’ atau sisipannya ada pada matan Hadits . Syadz atau kejanggalan Hadits  terletak pada adanya perlawanan antara suatu Hadits  yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan Hadits  yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat daripadanya, dikarenakan kelebihan jumlah sanad dalam kedhabitan atau segi-segi tarjih lainnya.

Hadits  shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi.

 Shahih li dzatihi adalah Hadits  shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti yang telah disebutkan di atas. Adapun Hadits  shahih li ghairihi adalah Hadits  shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya, rawinya yang adil tidak sempurna ke-dzabit-annya (kapasitas intelektualnya rendah). Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain semisal, maka ia menjadi shahih lil ghairihi. Dengan demikian, shahih li ghairihi adalah Hadits  yang keshahihannya disebabkan oleh faktor lain karena memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Disebut Hadits  shohih Ligairihi karena keshahihannya tidak datang dari sanadnya itu sendiri, akan tetapi datang karena dikuatkan oleh yang lainnya. Misalnya, Hadits  Hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajat dari derajat hasan ke derajat shahih (Hadits  Hasan li dzatihi).[17]

Hadits  shahih yang paling tinggi derajatnya adalah Hadits  yang bersanad ashahul sanad, kemudian berturut-turut sebagai berikut: 

1)   Hadits  shahih bersanad ashah al-asanid, yaitu sanad yang paling tinggi martabatnya karena rangkaian rawi dalam sanad Hadits  terdiri dari rawi-rawi yang paling tinggi derajat adil dan dhabit-nya, meliputi:

a)      Zain Al’Abidin, Ali Bin Abu Thalib

b)      Malik, Nafi’, ‘Abdullah Ibn Umar

c)      Ibn Syihab Az-Zuhri, Salim 

2) Hadits  muttafaq ‘alaih yaitu sanadnya yang disepakati oleh bukhari muslim.

3) Hadits  yang diriwatkan oleh imam bukhari sendiri (infarada bih al-bukhari).

4) Hadits  yang diriwayatkan oleh imam muslim sendiri (infarada bihi muslim).

5) Hadits  shahih yang diriwatkan  menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim (Shahihun ‘ala syarthi al bukhari wa muslim), artinnya rawi-rawi Hadits  yang dikemukakan ada di dalam kedua kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, walaupun kedua imam tersebut tidak men-takhrij-nya.

6) Hadits  shahih menurut syarat bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya (Shahihun ‘ala syarthi al bukhari).

7) Hadits  shahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri tidak  men-takhrij-nya (Shahihun ‘ala syarthi muslim).[18]

 

b.      Hadits  Hasan

Hadits  Hasan adalah Hadits  yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits  Hasan termasuk Hadits  yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.

Sama halnya dengan martabat Hadits  shahih, tinggi rendahnya martabat hadits hasan pun karena perbedaan ke-dhabith-an dan keadilan rawi, urutannya adalah:

1)      Hadits hasan dengan hasan al asanid, meliputi:

a)      Bahaz ibn Hakim, Hakim ibn Muawiyyah, Muawiyyah ibn Haidah.

b)      Amr ibn Syuaib, Syuaib ibn Muhammad, Muhammad ibn Abdullah.

2)      Hadits hasan li dzatihi

3)      Hadits hasan li ghairihi[19]

c.       Hadits  Dhoif

Hadits  Dhoif  secara makna berarti lemah adalah Hadits  yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syaratsyarat Hadits  shohih atau Hadits  Hasan. Hadits  Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits  shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.

1)    Klasifikasi Hadits Dhoif  berdasarkan kecacatan perawinya:

a)      Hadits  Maudhu' adalah hadits  yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka nisbahkan kepada sabda Rasulullah SAW, baik disengaja maupun tidak. 

b)      Hadits  Matruk adalah hadits  yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam per-hadits-an. 

c)      Hadits  Munkar adalah hadits  yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta.

d)     Hadits  Mu'allal adalah hadits yang waham (purbasangka) tampaknya baik, akan tetapi setelah diadakan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini karena salah sangka dari rawinya menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli Hadits . 

e)      Hadits  Mudraj (saduran) adalah hadits  yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits  atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits . 

f)       Hadits  Maqlub adalah hadits  yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits  lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan. 

g)      Hadits  Mudltharrib adalah Hadits  yang menyalahi dengan Hadits  lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan.

2)    Klasifikasi Hadits Dhoif  berdasarkan kecacatan sanadnya:

a)      Hadits  Muallaq, adalah hadits yang gugur sanad pertamanya, rawi yang menyampaikan hadits kepada mudawin.

b)      Hadits Mursal, adalah sanad terakhir dari rawi (sahabat) , yakni tabiin yang menisbahkan matan kepada Rasulullah SAW tanpa menyebutkan dari sahabat mana dia menerimanya. Hadits Mursal dibagi lagi menjadi tiga:

(1)   Mursal Jali, adalah pengguguran telah dilakukan rawi (tabiin) dapat diketahui secara jelas.

(2)   Mursal Shahabi, adalah pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW yang menyaksikan semasa Rasulullah SAW hidup, namun dia masih kecil atau terakhir masuknya ke Islam.

(3)   Mursal Khafi, adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabiin yang hidup semasa dengan sahabat, tetapi dia tidak pernah mendengar satu hadits pun darinya.

c)      Hadits Mu’dhal, adalah hadits yang gugur dua orang perawi atau lebih secara berturut.

d)     Hadits Munqathi’, adalah hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih tapi tidak secara berturut-turut.

3)   Klasifikasi Hadits Dhoif  berdasarkan kecacatan matannya (yang matannya tidak disandarkan kepada Rasulullah SAW):

a)      Mauquf, adalah penisbatan matan  kepada sahabat.

b)      Maqthu’, adalah penisbatan matan kepada tabiin.[20]

2.      Klasifikasi Hadits  Berdasarkan Kuantitas Rawinya

a.      Hadits  Mutawatir

Secara bahasa, mutawatir berarti mutatabi yaitu sesuatu yang beriringan antara satu dengan lainnya serta tidak ada sekat diantara keduanya. Secara istilah, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak berdasarkan pengamatan pancaindera atas adat kebiasaan mereka yang mustahil untuk berdusta.[21]

Syarat-syarat hadits mutawatir dinyatakan valid ke-mutawatir­-annya, yaitu:

1)      Diriwayatkan oleh perawi yang banyak

2)      Keseimbangan antarperawi dalam thabaqat pertama dan thabaqat lainnya.

3)      Berdasarkan penglihatan langsung atau empiris

Klasifikasi hadits mutawatir, meliputi sebagai berikut:

1)      Mutawatir Lafdzi

Hadits  Mutawatir Lafdzi adalah hadits  yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat satu dengan lainnya.

2)      Mutawatir Ma‟nawi

Hadits  mutawatir Ma‟nawi adalah hadits  yang lafal dan maknanya berlainan antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, tetapi terdapat kesesuaian makna secara umum (kulli). Hadits ini mencapai 30 hadits jumlahnya, bahkan ada yang mengatakan ratusan, dengan redaksi yang berbeda namun sama dalam satu persamaan.

3)      Mutawatir Amali

Hadits Mutawatir Amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat islam bahwa Raulullah SAW mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain itu. (sesuai ta’rif ijma’). Hadits ini jumlahnya sangat sedikit, seperti hadits tentang shalat, zakat, haji, kadar zakat harta, dan sebagainya.[22]

b.      Hadits  Ahad

Hadits  ahad adalah Hadits  yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.

1)      Hadits  Masyhur

Hadits  Masyur adalah Hadits  yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada satu thabaqah tidak mencapai derajat mutawatir, seperti hadits tentang niat yang diriwayatkan oleh muttafaq ‘alaih. hadits ahad masyhur sendiri terbagi lagi menjadi:

a)      Masyhur dikalangan Muhadditsin dan lainnya.

b)      Masyhur dikalangan ahli ilmu tertentu, misal usul fiqh, akhlak, hukum dan sebagainya.

c)      Masyhur dikalangan orang umum,

2)      Hadits  ‘Aziz

 Hadits  ‘Aziz adalah hadits  yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang tersebut terdapat pada satu thabaqah[23] saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.

3)      Hadits  Gharib

Hadits Gharib adalah hadits  yang diiriwayatkan oleh seorang rawi yang menyendiri dalam meriwayatkan baik menyendiri orangnya, yakni tidak ada orang yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi, artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadits  tersebut.

Hadits  Gharib dibagi ke dalam dua macam jika ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi.

a)    Hadits  Gharib muthlaq, yaitu hadits itu terdapat penyendirian mutlak. Seperti hadits tentang malu merupakan salah satu cabang iman yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih. hadits tersebut diterima oleh Abu Hurairah dan dari Abu Hurairah hanya diterima oleh Abu Shalih kemudian diterima oleh Abdullah ibn Dinar, kemudian hanya diterima oleh Sulaiman Ibn Bilal, kemudian diterima oleh Abu Amir, kemudian diterima oleh Ubaidillah Ibn Said dan Abd Ibn Humaid, kemudian diterima oleh Muslim.

b)   Hadits Gharib nisby

Hadits Gharib nisby adalah hadits yang terdapat penyendirian dalam sifat atau keadaan tertentu seorang rawi.

(1)   Penyendirian tentang sifat keadilan, ke-dhabit-an rawi.

(2)   Penyendirian tentang kota atau tempat tinggal tertentu yaitu hadits yang diriwayatkan hanya oleh perawi dari kota atau daerah tertentu, misal Mekkah, Madinah, Kuffah, Basrah saja.

(3)   Penyendirian tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu.

(4)   Penyendirian dari segi matan yaitu matan hadits yang diriwayatkan itu berbeda dari periwayatan rawi-rawi lainnya.[24]

3.      Hadits Maudhu’ atau hadits palsu

Al Maudhu’ adalah isim maf’ul  dari kata wadha’a, yadha’u, wadh’an yang berarti meletakkan, membuat-buat, mengada-ada serta meninggalkan. Menurut istilah hadits maudhu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat, dan dusta secara paksa baik sengaja dibuat maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan dan tidak melakukannya.

Latar belakang munculnya hadits maudhu’ atau palsu ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam secara historisnya, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang non-Islam juga. Beberapa faktor pendorongnya yaitu:

a)      Pertentangan politik

b)      Usaha kaum Zindiq

c)      Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan

d)     Memengaruhi terhadap kaum awam dengan kuliah dan nasihat

e)      Perselisihan dalam fiqih dan ilmu kalam

f)       Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti yang dilakukan

g)      Menjilat penguasa

Patokan dasar untuk mengetahui hadits palsu:

a)      Atas dasar pengakuan para pembuat hadits palsu, seperti pengakuan Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam bahwa telah membuat hadits tentang fadhilah membaca Al Qur’an, surat demi surat dan sebagainya.

b)      Fasidul ma’na atau maknanya rusak. Ibnu Hajar menjelaskan rusaknya makna ini dititikberatkan pada kerusakan arti karena periwayatan hadits tidak harus bi al lafdzi, tetapi ada yang bi al ma’na, kecuali apabila lafadznya dari Rasul, dikatakan hadits palsu.

c)      Matan­-nya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan kedua pedoman yaitu Al Qur’an dan Hadits yang lebih kuat atau ijma’.

d)     Matan­-nya bertentangan dengan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil . misalnya hadits tentang anak hasil perzinaan tidak akan masuk surga hingga tujuh turunan, hal ini bertentangan dengan Al Qur’an surat Al An’am ayat 164.

e)      perawinya dikenal sebagai orang pendusta.

Ciri-ciri hadits maudhu’, diantaranya:

a)      ciri-ciri terdapat pada sanadnya

ciri terpentingnya adalah pembuat hadits mengakui pemalsuannya, tetapi petunjuk memalsukan haditsnya harus jelas. Petunjuk yang menjelaskan secara langsung bahwa hadits yang diteliti adalah palsu yaitu dengan melihat tingkah laku periwatnya. Misalnya dia memiliki hasrat tinggi terhadap keilmuan dan ambisi tinggi terhadap kepentingan ekonomi, politik dan lainnya sehingga untuk mencapai tujuannya dia mengada-ada penyambungan sanad hadits.

b)      kepalsuan pada Matannya

Hadits palsu diteliti dari matannya,, ciri utamanya yaitu antara lain matan-nya bertentangan dengan Al Qur’an, hadits mutawatir, hadits shahih, akal sehat, dan cenderung sangat berpihak kepada periwayatnya.[25]

4.      Hadits musytarak (antara maqbul dan mardud)

a.       Pembagian hadits dari segi orang yang disandarinya. Dari segi ini pembagian hadits terbagi kepada empat macam yaitu hadis Qudsy, hadis Marfu’, hadis Maqbul dan hadis maqtu’.

1)      Hadits qudsy

Hadits Qudsy adalah suatu hadits yang disampaikan kepada kita dari Nabi Muhammad disertai sanad dari dia sendiri kepada Tuhannya.

Perbedaan hadis qudsy dengan al Quran

Terdapat beberapa perbedaan yang banyak yang paling terkenal sebagai berikut:

a)  Bahwa al Quran adalah lafadz dan maknanya dari Allah Swt. Sedangkan hadis Qudsy maknanya dari Allah sedang lafadznya dari Nabi Muhammad.

b) Al Quran membacanya merupakan ibadah sedangkan hadis Qudsy tidak merupakan ibadah membacanya.

c)  Al Quran kedudukannya disyaratkan secara mutawatir, sedangkan hadis Qudsy tidak disyaratkan secara mutawatir.

Jumlah bilangan hadis Qudsy tidak banyak jika dibandingkan dengan hadis-hadis Nabawi. Jumlahnya sekitar dua ratus lebih.

 

Bentuk-bentuk periwayatannya

Bagi orang yang meriwayatkan hadis Qudsy ada dua macam bentuk, ia boleh meriwayatkan hadis pada salah satu ya g dikehendakinya, yaitu:

a)  Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan dari Tuhannya.

b) Allah berfirman dalam hadis yang diriwaytakna dari oleh Rasulullah SAW.

Kitab-kitab yang paling terkenal yaitu Al-Ittihafat as-Saniyah bil abadis al-Qudsyyah karya Abdur Rauf al-Munawy, belioau mengumpulkan sejumlah 272 hadis Qudsy.[26]

2)      Hadis marfu’

Menurut bahasa hadis marfu’ adalah isim maf’ul dari fi’il afa’, dinamakan demikiankarena dinisbatkan kepada orang yang mempunyai kedudukan tinggi, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sedangkan menurut istilah Ma udzifa ila an-Nabyyi saw min qoulin au fi’lin au taqririn au shifatin adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan atau kesepakatan atau sifat. Jadi hadis marfu’ yaitu sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan kepada Nabi Muhammad baik yang disandarkan itu berupa perkataan, perbuataan, kesepakatan, atau suatu sifat tertentu, sama saja apakah yang menyandarkan itu sahabat atau orang selainnya, baik bersambung atau terputus sanadnya, karena termasuk didalam marfu’, mausul, dan mursal, muttasil dan munqathi’, inilah yang terkenal tentang hadis marfu’, dan terdapat pula pendapat-pendapat lain tentang hakikat definisinya.

 

Macam-macam hadis marfu’:

a)      Marfu’ Qauly (perkataan). Contohnya apabila sahabat atau selainnya mengatakan: “Telah bersabda Rasulullah SAW. Seperti begini”.

b)      Marfu’ fi’ly (perbuatan). Contohnya apabila sahabat atau selainnya mengatakan: “Rasulullah telah berbuat seperti begini”.

c)      Marfu’ taqriry (kesepakatan). Contohnya apabila sahabat atau selainnya mengatakan: “telah dikerjakan suatu perbuatan dengan dihadiri Rasulullah seperti begini” dan tidak ada orang yang meriwayatkan suatu hadis lain yang menjelaskan bahwa beliau mengingkarinya.

d)     Marfu’ wasfy (sifat). Contohnya apabila sahabat atau selainnya mengatakan: “ Adalah Rasulullah sebaik-baik akhlak manusia”.

3)      Hadis mauquf

Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari kata al Waqfu. Seakan-akan rawi itu menghentikan hadis pada sisi sahabat. Dan tidak saling berurutansisa silsilah hadisnya. Sedangkan menurut istilah Ma udzifa ila ash-Shahabi min qoulin au fi’lin au taqrininn segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat baik berupa perkataan, atau perbuatan atau taqrir.

Jadi hadis mauquf adalah sesuatu yang disandarkan atau dinisbatkan kepada seseorang sahabat atau sejumlah sahabat baik yang disandarkan itu berupa perkataan atau perbuatan atau taqrir. Dan sama saja apakah sanadnya bersambung atau terputus.

Contoh-contoh:

Contoh mauquf qauly, perkataan rawi: “telah berkata Ali bin Abi Thalib ra. “ceritakanlha kepada para manusia tentang sesuatu yang mereka ketahui, apakah kamu menginginkan apabila Allah dan Rasulnya disutakan”.

Contoh mauquf fi’ly. perkataa Imam Bukhori: “ dan mengenai Ibnu Abbas maka ia adalah orang yang bertayamum.”

Contoh mauquf taqriri. Seperti perkataan sebagian Tabi’in: “berbuat begini dihadapan seorang sahabat dan ia tidsk meningkari kepadaku.”

4)      Hadis Maqtu’

Menurut bahasa isim maf’ul dari qothoa lawan dari kata washala. Sedangkan menurut istilah ma nusiba au usnida ila at-Tabi’I faman dunnabu min qoulin au fi’lin adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi’i atau yang lainnya baik berupa perkataan atau perbuatan. Jadi hadis maqtu’ yaitu segala sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan kepada tabi’I atau tabi’it atau tabi’in atau orang yang selainnya baik berupa perkataan atau perbuatan. Dan bahwa hadis maqtu’ bukanlah identik dengan hadis munqathi’, karena maqtu’ adalah merupakan salah satu sifat matan, sedang munqathi’adalah termasuk sifat sanad, dan artinya hadis maqthu’ itu adalah perkataan tabi’I atau selainnya, dan kadang0kadang sanadnya bersambung kepada tabi’I tersebut. Jadi berarti sanad hadis munqathi’ itu tidak bersambung, dan tidak berhubungan dengan matan hadis.

Contoh-contohnya:

a)  Contoh maqtu; Qauly. Perkataan al-Hasan al-Bashry tentang shalat dibelakang imam ahli bid’ah shalla wa ‘alaihi bid’atuhu.

b) Contoh maqtu; fi’ly. Perkataan Ibrahim bin Muhammad bin al-Muntasyir[27]

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Klasifikasi adalah penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan. Klasifikasi ayat Al Qur’an menjadi Makkiyah dan Madaniyah. Sementara Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas rawi, kuantitas rawi, hadits Maudhu’, hadits Musytarak.

2.      Ayat Makkiyah adalah ayat-ayat dalam surat-surat Al Qur’an yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.

3.      Ayat Madaniyah adalah ayat-ayat dalam surat-surat Al Qur’an yang diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah.

4.      Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas rawi, meliputi: hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.

5.      Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas rawi, meliputi: hadits mutawatir dan hadits ahad

6.      Hadits yang tergolong hadits palsu dapat diketahui dari ciri-ciri sanad-nya dan dari kepalsuan matan-nya.

7.      Hadits Musytarak yaitu hadits antara maqbul atau mardud.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Asrukin, Mochammad. ”Hadits: Sebuah Tinjauan Pustaka”, Februari, 20, 2020. 02.54 WIB. http://library.um.ac.id/images/stories/pustakawan/pdfasrukin/HADITS_Sebuah%20Tinjauan%20Pustaka.pdf.

Dimyati, Ayat dan Deni Ahmad Saebani. Teori Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016.

Eldeeb, Ibrahim. Be a Living Qur’an “Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-ayat AlQur’an dalam Kehidupan Sehari-hari. Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Hermawan, Acep. ‘Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.

Khaeruman, Badri. Ulum Al- Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014.

Prastowo, Andi. Manajemen Perpustakaan Sekolah Profesional. Jogjakarta: DIVA Press, 2012.

Suhadi. Ulumul Quran. Kudus: Nora Media Enterprise, 2011.


Thahhan, Mahmud. Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 1997.



[1] Andi Prastowo, Manajemen Perpustakaan Sekolah Profesional, (Jogjakarta: DIVA Press. 2012), 171.

[2] Ayat Dimyati dan Deni Ahmad Saebani, Teori Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016), 295

[3] Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), 115.

[4] Suhadi, Ulumul Quran, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), 54.

[5] Ibrahim Eldeeb, Be a living quran “Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-ayat AlQur’an dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), 32-33.

[6] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 67-68.

[7] Ibrahim Eldeeb, Be a living quran “Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-ayat AlQur’an dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), 32-33.

 

[8] Suhadi, Ulumul Quran, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), 54.

[9] Suhadi, Ulumul Quran, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), 55.

[10] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 67-68.

[11] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 68.

[12] Suhadi, Ulumul Quran, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), 56-57.

[13] Mochammad Asrukin. ”Hadits: Sebuah Tinjauan Pustaka”, Februari, 20, 2020. 02.54 WIB. http://library.um.ac.id/images/stories/pustakawan/pdfasrukin/HADITS_Sebuah%20Tinjauan%20Pustaka.pdf.

[14] Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), 119.

[15] Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis, 120.

[16] Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis, 121.

[17] Mahmud Thahhan, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 1997). 127.

[18] Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), 122.

[19] Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis, 123.

[20] Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis, 125-131.

[21] Ayat Dimyati dan Deni Ahmad Saebani, Teori Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016), 296.

[22] Ayat Dimyati dan Deni Ahmad Saebani, Teori Hadis, 301.

[23] Thabaqat adalah sekelompok orang yang berdekatan dalam usia dan isnad, atau berdekatan dalam isnad saja. Maksud berdekatan isnad adalah mereka memiliki guru yang sama, atau berdekatan guru-gurunya. Contohnya thabaqat pertama adalah para sahabat nabi.

[24] Badri Khaeruman, Ulum Al- Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), 100-106.

[25] Ayat Dimyati dan Deni Ahmad Saebani, Teori Hadis (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016), 66.

[26] Mahmud Thahhan, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 1997). 127-129.

[27] Mahmud Thahhan, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 1997). 129-134.